Jaksa Agung mengingatkan penegak hukum agar tidak gamang ataupun ragu dalam menentukan perkara yang dapat dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Fredi Antanto langsung bersujud syukur sewaktu mendapatkan kepastian dirinya bebas. Ancaman tuntutan hukuman pidana penjara empat tahun yang dapat menjeratnya tak berlanjut demi keadilan restoratif.
Sesaat keputusan pencabutan tuntutan dibacakan Kepala Pengadilan Negeri Bungo, rompi tahanan yang melapisi pakaiannya dilepas. Ia langsung bersujud di lantai. ”Bersyukur akhirnya bisa lepas (dari tuntutan),” katanya, Jumat (7/1/2022).
Fredi terjerat kasus penadahan. Ia membeli sebuah telepon seluler seharga Rp 1 juta. Belakangan baru diketahui telepon itu merupakan barang curian. Jika kasusnya berlanjut, Fredi diancam hukuman penjara maksimal 4 tahun karena melanggar KUHPidana Pasal 840. Selain ancaman hukuman penjara, disebutkan dalam pasal itu, ada pula pidana denda paling banyak Rp 900.000.
Namun, atas kebijakan mengenai keadilan restoratif yang dikeluarkan Jaksa Agung ST Burhanuddin, perkara yang menyangkutnya dinyatakan selesai dengan mekanisme damai antara tersangka dan korban. Si pemilik telepon dihadirkan pada kesempatan itu. Di hadapan para saksi, ia memberikan maaf untuk Fredi. Selanjutnya, Fredi menerima surat ketetapan penghentian (SKP) penuntutan.
Burhanuddin yang hadir menyaksikan penyelesaian perkara itu tetap mengingatkan Fredi agar berhati-hati. Tidak mengulangi lagi perbuatan serupa di kemudian hari meskipun Fredi mengaku membeli telepon itu dari salah seorang rekannya.
Pada saat bersamaan, pencabutan penuntutan hukum diberikan pula kepada Susanto, warga Kabupaten Merangin. Ia terjerat perkara pidana pencurian besi rongsokan milik sebuah perusahaan. Jika kasusnya berlanjut, Susanto terancam KUHPidana Pasal 362 tentang Pencurian.
Susanto adalah karyawan di perusahaan yang bergerak pada usaha bengkel karoseri. Satu hari ia mengambil besi rongsokan mobil di bengkel itu. Ia menjualnya dengan hasil Rp 1,6 juta. Uang itu digunakan untuk melunasi utang-utangnya dan juga untuk membeli bahan bakar minyak untuk motornya.
Penyelesaian damai
Menurut Burhanuddin, kedua perkara dapat diselesaikan damai tanpa perlu berlanjut pada penuntutan. Kebijakan itu sesuai dengan perhatian Presiden bahwa hukum jangan tajam ke bawah, tumpul ke atas. Jangan sampai itu menjadi stigma negatif yang melekat pada intitusi penegakan hukum.
Ia pun menginstruksikan seluruh jajaran kejaksaan untuk tidak gamang ataupun ragu dalam menentukan perkara yang dapat dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif. Para jaksa diminta bersikap profesional dan akuntabel. Selain itu juga mampu memberikan pemahaman masif kepada masyarakat perihal perkara yang bisa atau tidak dihentikan penuntutannya.
”Dengan demikian, masyarakat mendapatkan pengetahuan dan pemahaman apakah perkara tersebut masuk ke dalam kualifikasi restorative justice atau tidak,” katanya.
Para jaksa diminta bersikap profesional dan akuntabel.
Memang, lanjutnya, tidak semua kasus akan berlaku sama. Ada sejumlah kriteria untuk menerapkan keadilan restoratif. Pertama, para tersangka belum pernah terjerat tindak pidana. Perbuatan yang diperkarakan juga tidak menyangkut ancaman hukuman lebih dari lima tahun.
Selain itu, nilai kerugian yang dialami korban tidak lebih dari Rp 2,5 juta. Korban dan keluarganya merespons positif keinginan para tersangka untuk meminta maaf dan berdamai.
Selain kepentingan korban, jaksa juga mempertimbangkan kepentingan tersangka yang masih memiliki masa depan yang panjang dan lebih baik lagi ke depannya. Pertimbangan terakhir adalah sisi efektivitas penanganan perkara.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jambi Lexy Fatharany menjelaskan, sepanjang 2021, jajaran kejaksaan di wilayah Jambi telah menghentikan proses perkara sesuai kebijakan keadilan restoratif. Perkara yang dihentikan kebanyakan masuk kategori kasus ringan. Seputar penadahan barang curian atau penggelapan. Untuk tahun 2022, sebanyak dua kasus, yakni yang dialami Fredi dan Susanto.
Jika diteruskan ke tahap penuntutan, menurut Lexy, penanganannya cenderung tidak memberi manfaat. Akan lebih baik jika diselesaikan melalui proses perdamaian. ”Penyelesaiannya mengedepankan hati nurani,” katanya.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jambi Helmi mengapresiasi keadilan restoratif yang tertuang lewat Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Menurut dia, penegakan hukum jangan semata mewujudkan kepastian hukum melalui peradilan, ataupun pembalasan dalam bentuk hukuman kurungan, tetapi dapat memenuhi rasa keadilan dan kemanfaatan. ”Sudah selayaknya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum diwujudkan berimbang,” katanya.
Namun, ia pun melihat tantangan pelanggaran hukum meningkat di masyarakat jika tidak didukung upaya pencegahan yang memadai. Hal itu dapat menimbulkan kerawanan baru di masyarakat dalam hal kejahatan-kejahatan ringan.
Agar jangan sampai terjadi penyalahgunaan atas nama kebijakan itu, penegak hukum selayaknya berlaku tegas pula. Masyarakat juga harus turut mendukung dengan memberi ruang kepada kejaksaan untuk menegakkan hukum pada kasus-kasus tindak pidana ringan, tidak berulang, dan tidak merugikan kepentingan umum.
”Karena bagaimanapun baiknya maksud Jaksa Agung, peluang terjadinya penyalahgunaan bisa saja terjadi. Apalagi jika ada diskriminasi untuk kasus-kasus serupa karena kepentingan tertentu,” katanya.
Ia berharap penerapan kebijakan penghentian penyidikan berdasarkan keadilan restoratif dapat betul-betul menghadirkan hukum yang adil dan penuh manfaat.