Masyarakat Pilih Pendekatan Keadilan Restoratif untuk Tangani Kasus Tindak Pidana Ringan
Dari survei pandangan masyarakat terhadap hak memperoleh keadilan di Indonesia diketahui, 85,2 persen responden setuju tindak pidana ringan diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif.
JAKARTA, KOMPAS — Mayoritas responden survei nasional pandangan masyarakat atas hak memperoleh keadilan di Indonesia memilih pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan kasus tindak pidana ringan. Jika berhadapan dengan proses hukum, mayoritas responden juga lebih memilih jalur penyelesaian non-yudisial dibandingkan jalur yudisial.
Demikian, antara lain, hasil survei pandangan masyarakat terhadap hak memperoleh keadilan di Indonesia yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bekerja sama dengan Litbang Kompas. Hasil survei yang melibatkan 1.200 responden di 34 provinsi di Indonesia dengan waktu pelaksanaan lapangan mulai dari pekan keempat September hingga pekan kedua Oktober 2021 tersebut diluncurkan pada webinar dan diskusi publik, Rabu (8/12/2021).
Hasil survei dipaparkan oleh Pelaksana Tugas Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM Komnas HAM Mimin Dwi Hartono. Adapun bertindak sebagai penanggap adalah anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti; Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung (MA) Dwiarso Budi Santiarto; dan Asisten Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan dan Pemajuan HAM Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Rudy Syamsir.
Survei menunjukkan, 85,2 persen responden setuju apabila penanganan tindak pidana ringan diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif. Hanya 9,7 persen yang menyatakan tidak setuju serta 5,1 persen tidak tahu.
Baca juga: Keadilan Restoratif Berpeluang Perbaiki Sistem Peradilan Pidana
”Saya kira ini menjadi catatan penting untuk kita tindak lanjuti bahwa 85 persen setuju dengan pendekatan keadilan restoratif untuk tindak pidana ringan, di mana kita tahu di kepolisian, kejaksaan, dan juga MA sudah mempunyai peraturan,” kata Pelaksana Tugas Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM Komnas HAM Mimin Dwi Hartono.
Mayoritas responden (di atas 80 persen) yang memilih pendekatan keadilan restoratif dalam menangani kasus tindak pidana ringan ini terlihat di semua kategori, baik generasi (Z, Y, Z, dan baby boomers); tingkat pendidikan (dasar, menengah, tinggi); maupun sosial ekonomi (bawah, menengah bawah, menengah atas, dan atas).
Hal ini pun terjadi pada kategori wilayah (bagian barat Indonesia, bagian tengah Indonesia, bagian timur Indonesia) dan rural/urban (perdesaan dan perkotaan). ”(Hal) Ini semakin mengonfirmasi bahwa masyarakat memang membutuhkan adanya pendekatan (keadilan restoratif) ini dalam memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat,” ujar Mimin.
Baca juga : 302 Perkara Dihentikan Kejaksaan Berdasarkan Keadilan Restoratif
Terkait gambaran keadilan restoratif yang disampaikan kepada responden saat survei dilakukan, Mimin menuturkan, pihaknya mengacu pada peraturan Kepala Kepolisian Negara RI yang menyatakan bahwa pendekatan restoratif ini hanya berlaku untuk kasus pidana ringan. Contohnya adalah kasus-kasus dengan hukuman di bawah 5 tahun dan kerugian di bawah Rp 2,5 juta.
”Jadi, memang benar-benar untuk pidana ringan. Itu sudah kami jelaskan ketika melakukan wawancara, bahwa ini adalah koridor dari pidana ringan, yang sudah diatur dalam peraturan Kapolri, di antaranya. Kategorinya adalah hukuman di bawah 5 tahun dan besar kerugian di bawah Rp 2,5 juta. Bisa kasus pencurian, bisa kasus yang lain-lain,” kata Mimin.
Sehubungan dengan gambaran bentuk restoratif yang disampaikan kepada responden saat survei, Mimin mengatakan, pendekatan restoratif itu adalah pendekatan yang memulihkan hak-hak korban dan kemudian tercipta hubungan baik antara pelaku dan korban. ”Tentu koridor pendekatan restoratif ini, menurut Komnas HAM, hanya untuk tindak pidana ringan, tapi juga khusus,” katanya.
Mekanisme
Sebagai contoh, dalam kategori tindak pidana pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik, Komnas HAM mendorong penyelesaian melalui pendekatan keadilan restoratif. Selain itu juga untuk kasus-kasus ringan dan termasuk untuk kasus anak-anak. ”Kasus diversi, jadi mereka yang pelakunya anak-anak, itu memang ada mekanisme, kemudian itu ditempuh lewat jalur rehabilitasi melalui panti-panti sosial. Itu juga sebenarnya termasuk kategori pendekatan keadilan restoratif,” ujar Mimin.
Baca juga : Ditetapkan Tujuh Tersangka Kekerasan Siswi SD di Kota Malang, Polisi Buka Ruang Diversi
Selanjutnya, 73,1 persen responden menyatakan akan menempuh jalur penyelesaian non-yudisial (damai, adat, dan mediasi) jika berhadapan dengan proses hukum. Adapun 26,9 persen menyatakan akan menempuh jalur penyelesaian yudisial (polisi, jaksa, pengadilan).
Survei menunjukkan, pilihan menempuh jalur non-yudisial apabila berhadapan dengan proses hukum ini terutama terlihat pada tingkat pendidikan rendah dan kelas sosial bawah. ”Semakin rendah kategori sosial ekonomi dan semakin rendah tingkat pendidikan, mereka setuju dengan pendekatan non-yudisial,” katanya.
Baca juga : DPR Dorong Penyelesaian Non-yudisial
Dilihat berdasarkan kategori wilayah, mayoritas daerah memilih jalur non-yudisial, terutama di bagian barat Indonesia dan bagian tengah Indonesia serta wilayah perdesaan. Fakta menarik yang juga ditemukan dalam survei adalah mayoritas responden (57,8 persen) yang pernah mengadukan pelanggaran tetap memilih jalur non-yudisial. Sementara 73,9 persen responden yang tidak pernah mengadukan pelanggaran juga memilih jalur non-yudisial.
”Kami sampaikan, survei kali ini tidak sampai pada tahapan untuk mencari jawaban why dan how. Tidak sampai ke situ. Jadi, masih pada tahapan apanya, apa yang mereka pilih. Jadi, tidak sampai misalnya kenapa masyarakat memilih pendekatan non-yudisial. Tidak sampai ke situ pertanyaannya,” ujar Mimin.
Anggota Kompolnas, Poengky Indarti, menuturkan, keadilan restoratif di Indonesia serupa dengan musyawarah untuk mencapai mufakat yang merupakan budaya bangsa dalam menyelesaikan permasalahan. Di luar negeri, keadilan restoratif juga disukai karena prosesnya lebih cepat, lebih mudah, murah, efektif, dan sifatnya win-win solution.
Amanat konstitusi
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 30 Ayat (4) menyebutkan, Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum. ”Jadi, konstitusi sudah memberikan amanah kepada polisi untuk lebih mengedepankan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat ketimbang penegakan hukum. Sehingga, penegakan hukum yang sifatnya represif itu menjadi upaya terakhir atau the last resort,” ujar Poengky.
Konstitusi sudah memberikan amanah kepada polisi untuk lebih mengedepankan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat ketimbang penegakan hukum. Sehingga, penegakan hukum yang sifatnya represif itu menjadi upaya terakhir atau the last resort.
Kompolnas melihat Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo dalam visi-misinya pun mengedepankan keadilan restoratif. ”Ini juga kita catat dalam 100 hari pertama Pak Listyo memimpin Polri. Pada bulan Mei ada 1.864 kasus yang diselesaikan melalui cara restorative justice, baik di Mabes Polri maupun di seluruh daerah,” katanya.
Kapolri juga menandatangani Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Ada juga kebijakan terkait 1.062 kepolisian sektor (polsek) yang lebih difokuskan untuk pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas) ketimbang penegakan hukum.
Baca juga : Patroli Polisi, untuk Warga atau Layar Kaca?
”Sehingga, 1.062 polsek tadi tidak diberikan kewenangan untuk penegakan hukum, melainkan lebih fokus untuk pelayanan, pengayoman, dan perlindungan masyarakat. Jadi, upaya preventif preemtif itu lebih dikedepankan,” kata Poengky.
Menurut dia, perlu ada pengubahan mindset (pola pikir) anggota Polri dan masyarakat yang lebih banyak menganggap Polri identik dengan penegakan hukum. ”Memang ada mindset yang perlu diubah. Dan, kita juga menyadari bahwa di kepolisian sendiri terkadang mindset anggota adalah mereka sebagai polisi adalah sebagai penegak hukum. Padahal, sebetulnya amanat dari UU tidak sekadar penegak hukum. Jadi, penegakan hukum adalah upaya terakhir,” katanya.
Poengky menuturkan, pihaknya berkali-kali juga menyampaikan kepada kepolisian bahwa keadilan restoratif tidak boleh dipaksakan. ”Artinya, itu harus permintaan kedua belah pihak. Jadi, jangan sampai misalnya polisi memaksakan, katakan, (agar) si korban untuk bisa menerima permohonan maaf dari pelaku dengan menerima imbalan dan sebagainya. Kemudian, mohon maaf ini, polisinya misalnya juga berharap dapat imbalan, itu enggak boleh. Jadi, restorative justice benar-benar murni dari kedua belah pihak,” katanya.
Keadilan restoratif tidak boleh dipaksakan. Artinya, itu harus permintaan kedua belah pihak.
Terkait keadilan restoratif, Kepala Badan Pengawasan MA Dwiarso Budi Santiarto mengatakan, badan peradilan umum juga sudah mengeluarkan surat keputusan direktorat jenderal. ”Dan, dalam waktu yang dekat ini akan ditingkatkan lagi oleh Mahkamah Agung melalui perma yang mengatur lebih detail mengenai restorative justice ini. Sehingga diharapkan suatu perkara atau masalah bisa diselesaikan secara cepat dan memuaskan pihak-pihak yang terkait,” ujarnya.