Mitigasi atau Selamanya Aceh Dirongrong Bencana
Selain deforestasi, banyak daerah aliran sungai di Aceh dalam keadaan rusak. Data dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Krueng Aceh, sebanyak 20 DAS di Aceh harus segera dipulihkan.

Warga menerobos banjir di pusat perdagangan di kota Lhoksukon, Kabupaten, Aceh Utara, Aceh, Senin (3/1/2022).
Banjir luapan yang terjadi di Provinsi Aceh pada awal tahun adalah akumulasi dampak dari tata kelola lingkungan yang buruk. Mitigasi harus dilakukan menyeluruh. Jika tidak, selamanya Aceh dalam ancaman bencana.
Warga Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur, Langsa, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, dan Bener Meriah membuka awal tahun dengan duka. Bencana alam banjir luapan dan bandang menerjang permukiman. Ribuan warga harus mengungsi.
Banjir paling parah melanda Aceh Utara dan Aceh Timur. Dua kabupaten bertetangga itu sejak 1 Desember 2022 direndam banjir. Hingga Kamis (6/1/2022), sebagian desa masih tergenang.
Bagi warga Aceh Utara dan Aceh Timur banjir telah dianggap bencana biasa. Secara mental mereka tegar, tetapi secara ekonomi bencana memicu kemiskinan.
Seperti dialami Usman (50), petani di Desa Lhok Seuntang, Aceh Timur, dan Junaidi (45), pedagang buah di pasar Lhoksukon, Aceh Utara.
Baca juga: Banjir di Aceh Meluas, Ribuan Orang Mengungsi
Usman rugi Rp 2 juta karena benih pagi yang telah disemai mati direndam banjir. Sementara Junaidi rugi Rp 20 juta sebab buah-buahan busuk dan kiosnya rusak. Ironinya mereka telah mengalami hal serupa berulang kali. Jatuh, lalu bangkit, dan mungkin esok jatuh lagi.
Banjir menjadi bencana alam yang paling sering terjadi di Aceh. Berdasarkan buku peta risiko bencana, separuh dari provinsi itu rawan banjir.
Kawasan memiliki risiko tinggi berada di pesisir timur-utara, seperti Aceh Utara, Aceh Timur, Langsa, dan Aceh Tamiang. Sementara pesisir barat-selatan di antarnya Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Selatan.

Warga menerobos banjir di Desa Cot U Sibak, Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, Kamis (7/12/2017).
Data dari Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), bencana banjir luapan, bandang, dan longsor atau disebut bencana hidrometeorologi mendominasi bencana di Aceh. Pada 2018, bencana hidrometeorologi terjadi sebanyak 127 kali, 2019 sebanyak 126 kali, dan 2020 sebanyak 170 kali.
Nilai kerugian dari bencana hidrometeorologi tidak kecil. Pada 2018, kerugian akibat bencana hidrometeorologi Rp 655,8 miliar, tahun 2019 sebesar Rp 69,4 miliar, dan 2020 sebesar 157,9 miliar.
Nilai kerugian itu dihitung dari kerusakan harta benda milik warga dan kerusakan infrastruktur publik. Sebenarnya jika dihitung potensi pendapatan warga yang hilang, nilai kerugiannya jauh lebih besar.
Banjir pada awal tahun 2022 tergolong parah. Ketinggian air di permukiman warga mencapai 1,5 meter. Ribuan rumah tergenang sehingga 42.562 jiwa mengungsi. Anak-anak tidak bisa sekolah dan aktivitas perdagangan lumpuh.
Baca juga: Utara-Timur Aceh Dikepung Banjir
Gubernur Aceh Nova Iriansyah merespons bencana banjir dengan menyampaikan keprihatinan dan mengirimkan bantuan mi instan, beras, telur, dan kebutuhan darurat lainnya.
Di Aceh, banjir besar kerap datang saat akhir tahun atau musim hujan. Lantas, apakah hujan menjadi satu-satu pemicu banjir?
Dosen Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar, menuturkan, banjir di Aceh adalah akumulasi dari dampak pengelolaan lingkungan yang buruk.
”Hutan rusak, daerah aliran sungai kritis, dan infrastruktur tidak memadai. Jadi, hujan bukan pemicu tunggal banjir,” ujar Zulfikar.
Zulfikar mengatakan, deforestasi atau kehilangan tutupan hutan di hulu membuat daya serap air tanah lemah. Dalam waktu yang lama pada kawasan yang gundul, genangan air hujan membentuk kawah-kawah. Saat tanah kian jenuh air akan tumpah ke dataran lebih rendah menyapu semua yang ada. Banjir bandang pun tidak terhindarkan.
Semakin lebat hutan semakin banyak pula air diserap. Mikroorganisme memakan daun-daun jatuh kemudian membentuk ruas-ruas dalam tanah sebagai lubang resapan air alami. Sementara akar pohon membuat ikatan tanah lebih kokoh.

Banjir di Aceh Timur, 4 Januari 2022.
Di saat kehilangan tutupan hutan, mikroorganisme mati karena tidak tersedia makanan. Tanah kehilangan daya menyerap air. Semua air hujan dengan cepat mengalir ke sungai membawa tanah dan bebatuan. Sedimentasi membuat sungai dangkal akibatnya sungai gampang meluap ke permukiman.
Kerusakan hutan sudah pasti memicu banjir. Makanya, mitigasi harus menyeluruh, pulihkan hutan, normalisasi sungai, dan bangun infrastruktur. (Teuku Muhammd Zulfikar)
Data dari Yayasan Hutan Alam Aceh sejak 2017-2019, Aceh kehilangan tutupan hutan seluas 48.031 hektar, separuh dari luas DKI Jakarta, 66.150 hektar.
Kabupaten Aceh Utara dan Aceh Timur merupakan daerah dengan kerusakan hutan terbesar. Sejak 2017-2019, Aceh Utara kehilangan tutupan hutan seluas 6.050 hektar dan Aceh Timur 3.957 hektar.
”Kerusakan hutan sudah pasti memicu banjir. Makanya, mitigasi harus menyeluruh, pulihkan hutan, normalisasi sungai, dan bangun infrastruktur,” kata Zulfikar.
Baca juga: Bencana Alam, Ancaman Ekonomi dan Pangan
Kabupaten Bener Meriah yang berada di hulu Aceh Utara juga mengalami kerusakan hutan pada periode itu seluas 2.300 hektar. Sementara Gayo Lues, hulu Aceh Timur, kehilangan hutan seluas 3.441 hektar.
”Lahan-lahan di sekitar sungai telah berubah menjadi perkebunan sawit,” kata Zulfikar.
Sebenarnya Pemerintah Provinsi Aceh telah mengetahui penyebab banjir. Hal itu dinyatakan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh 2012-2032. Di sana disebutkan sumber kerentanan bencana banjir berasal dari pembalakan liar di kawasan daerah aliran sungai (DAS), pendangkalan sungai, rusak saluran drainase, dan terjadinya perubahan fungsi lahan.
Namun, upaya untuk mencegah pembalakan liar, memulihkan hutan, dan memperbaiki sungai berjalan lambat. ”Seharusnya setiap tahun pemerintah laporkan ke publik sejauh mana progres perbaikan. Jangan hanya bicara saat bencana,” kata Zulfikar.

Kondisi Daerah Aliran Sungai Alas dalam keadaan hancur, Minggu (3/2/2019). Kerusakan DAS memicu bencana alam di Aceh Tenggara.
Selain deforestasi, banyak DAS di Aceh dalam keadaan rusak. Data dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Krueng Aceh, sebanyak 20 DAS dan sedikitnya 251.696 hektar DAS di Aceh harus segera dipulihkan.
Beberapa DAS tersebut berada di Aceh Utara, seperti DAS Keureuto, Jambo Aye, dan Pasee. Sementara di Aceh Timur adalah DAS Peureulak dan Bayeun. Sungai-sungai itulah yang selama ini meluap ke permukiman warga.
Wakil Bupati Aceh Utara Fauzi Yusuf mengatakan, DAS yang rusak mendesak dipulihkan. Dia berharap intervensi Pemprov Aceh dan pemerintah pusat sebab butuh anggaran besar untuk normalisasi sungai dan membangun tanggul penahan air.
Pemkab, Pemprov Aceh, dan pemerintah pusat harus segera menyusun rencana mitigasi banjir di Aceh. Banjir jangan dianggap bencana biasa.
”Saya mengajak warga untuk menjaga hutan agar lingkungan tetap lestari,” kata Fauzi.
Sebelumnya Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Krueng Aceh Eko Nurwijayanto menuturkan, pihaknya berusaha memulihkan DAS dengan menanam pohon, tetapi luasan yang rusak lebih masif daripada kemampuan menanam.

Data kerusakan hutan Aceh.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Ahmad Shalihin mengkritik Pemprov Aceh karena tidak memiliki rencana induk mitigasi banjir.
Menurut Shalihin, pemerintah hanya responsif saat terjadi bencana, tetapi upaya mitigasi sangat lemah. ”Pemkab, Pemprov Aceh, dan pemerintah pusat harus segera menyusun rencana mitigasi banjir di Aceh. Banjir jangan dianggap bencana biasa,” ujar Shalihin.
Jika mitigasi tidak diperkuat, selamanya Aceh dalam ancaman bencana banjir.
Baca juga: Kajian Walhi Aceh, Kerugian karena Bencana Rp 1,3 Triliun