DPRD Sumbar Minta Aktivitas Koperasi Minyak Atsiri Mentawai Dihentikan Sementara
Komisi I DPRD Sumatera Barat meminta pembukaan lahan dan penebangan pohon oleh Koperasi Minyak Atsiri Mentawai dihentikan sementara hingga konflik antara koperasi dan masyarakat selesai.
PADANG, KOMPAS — Komisi I DPRD Sumatera Barat meminta aktivitas Koperasi Minyak Atsiri Mentawai dihentikan sementara hingga konflik antara koperasi dan masyarakat selesai. Sementara itu, masyarakat dan Koalisi Penyelamat Hutan Masa Depan Mentawai meminta pembukaan lahan dan penebangan pohon oleh koperasi di Desa Silabu dihentikan karena melanggar hak masyarakat.
Ketua Komisi I DPRD Sumbar Syamsul Bahri di Padang, Jumat (7/1/2022), mengatakan, koperasi tersebut memang sudah punya izin. Namun, karena ada penolakan dari 150 masyarakat Desa Silabu, Kecamatan Pagai Utara, dan timbul konflik, koperasi diminta menghentikan sementara aktivitasnya.
”Dinas Kehutanan Sumbar mohon disampaikan ke koperasi untuk sementara tidak beraktivitas dulu sebelum pada keputusan yang jelas,” kata Syamsul, dalam audiensi antara masyarakat, Koalisi Penyelamat Hutan Masa Depan Mentawai, dan Dinas Kehutanan Sumbar di kantor DPRD Sumbar, Jumat.
Dalam audiensi itu, perwakilan masyarakat dan koalisi menyampaikan penolakan mereka. Sementara dinas kehutanan memberikan penjelasan. Komisi I DPRD Sumbar memutuskan kembali mengadakan rapat dengar pendapat dengan seluruh pemangku kebijakan yang berkaitan dengan penerbitan izin kegiatan koperasi di Desa Silabu, termasuk perwakilan koperasi, pada Jumat depan.
Baca juga : Ratusan Warga di Mentawai Tolak Pembukaan Lahan oleh Koperasi Minyak Atsiri
Konflik antara masyarakat dan koperasi memanas sejak koperasi mulai membuka lahan dan menebang pohon di lahan masyarakat pada Oktober 2021. Koperasi melakukan aktivitas itu seusai mendapatkan izin pemanfaatan kayu kegiatan nonkehutanan (PKKNK) pada lahan seluas 1.500 hektar oleh Dinas Kehutanan Sumbar.
Riswan Amdensi Sakerebau (26), warga Desa Silabu yang menolak, mengatakan, keluarganya tidak pernah menyerahkan lahan dan mengizinkan pembukaan lahan dan penebangan pohon oleh koperasi. Ia juga mengaku, koperasi tidak pernah memberi tahu dan melibatkan keluarganya dalam kegiatan koperasi. ”Ada perampasan hak milik kami,” kata Riswan dalam audiensi.
Riswan menduga, koperasi menyalahgunakan dokumen warga saat pendaftaran untuk mengurus izin usaha perkebunan dan izin PKKNK. Ayah Riswan dan beberapa warga lainnya memang mendaftar sebagai anggota koperasi pada 2018. Namun, waktu itu, warga diajak bergabung untuk membuat kebun tanaman penghasil minyak asiri di kebun masing-masing, bukan dengan membuka lahan baru.
”Kalau tidak gabung koperasi, hasil serai wangi tidak bisa dijual ke mana-mana. Jadi, gabung dulu, dapat bibit, hasilnya dijual ke koperasi. Ayah saya sudah buat 500 lubang pada 2018, tapi sampai sekarang bibit tidak dikasih. Nah, sekarang, justru ada upaya membuka lahan dan mengambil kayu di hutan ulayat kami,” ujar Riswan.
Dilanjutkan Riswan, di lahan ulayatnya tumbuh pohon meranti dan berbagai jenis pohon lainnya. Bagi masyarakat Mentawai, kayu adalah sumber kehidupan, mulai dari kebutuhan membuat sampan, rumah, ekonomi, hingga peti mati. Ganti rugi dari koperasi sangat murah, hanya Rp 35.000 per meter kubik, itu pun dipotong Rp 10.000 untuk dana sosial.
”Kayu punya nilai sangat tinggi. Biar kami sendiri yang kelola. Tidak perlu diambil koperasi,” katanya.
Anggota Koalisi Penyelamat Hutan Masa Depan Mentawai Warik mengatakan, ada kejanggalan dalam penerbitan izin-izin yang diperoleh Koperasi Minyak Atsiri Mentawai. Izin PKKNK, misalnya, salah satu syaratnya adalah surat rekomendasi lahan bebas konflik. Namun, dalam surat itu, tidak ada persetujuan pemilik lahan, cuma ada persetujuan kepala desa, kepala dusun, camat, dan manajemen koperasi.
Kejanggalan lainnya adalah terbitnya izin usaha perkebunan dari Pemkab Mentawai. Menurut Warik, izin lokasi yang diperoleh koperasi tidak serta-merta memberikan hak atas lahan. Tanpa adanya hak atas lahan, tiba-tiba koperasi memperoleh izin usaha perkebunan. Bahkan, koperasi punya konsesi di atas tanah sudah bersertifikat tanpa sepengetahuan pemilik tanah.
”Kami menduga ini bukan soal membuat kebun, melainkan soal kayu di atas lahannya. Izin PKKNK jadi senjata untuk menggerogoti hak-hak masyarakat di Desa Silabu. Dengan punya izin PKKNK, mereka merasa punya hak menguasai kayu masyarakat,” kata Warik.
Baca juga : Harum Harga Serai Wangi Mengecoh Petani Jambi
Ditambahkan Warik, DPRD Kepulauan Mentawai yang memediasi kasus ini sebelumnya juga sudah mengeluarkan rekomendasi, salah satunya mengeluarkan lahan 150 masyarakat yang menolak dari izin PKKNK koperasi seluas 1.500 hektar. Walakin, rekomendasi itu tidak dijalankan koperasi.
Anggota koalisi sekaligus Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai Rifai mengatakan, koperasi telah merampas hak masyarakat. Izin PKKNK tidak serta-merta mengizinkan pemilik izin memasuki tanah orang lain, apalagi sampai membuka lahan dan menebang pohon.
”Izin PKKNK jadi senjata bagi koperasi memasuki dan mengambil kayu di atas tanah orang lain,” kata Rifai.
Rifai meminta dinas kehutanan menonaktifkan izin PKKNK koperasi sampai semua persoalan ini dituntaskan. ”Koperasi sudah menyalahgunakan PKKNK untuk kepentingan mereka yang bertentangan dengan hukum,” ujarnya. Ditambahkannya, bupati diminta pula mengevaluasi izin usaha perkebunan yang telah diterbitkan karena belum ada pelepasan hak.
Ketua Koalisi Penyelamat Hutan Masa Depan Mentawai Heronimus Eko Pintalius Zebua menambahkan, polemik ini telah memicu gesekan di tengah masyarakat yang setuju dan menolak kegiatan koperasi. Hal tersebut membuat hubungan sosial di Desa Silabu memanas dan bisa memicu konflik lebih luas dan berkepanjangan.
”Hutan bagi masyarakat Mentawai adalah sumber kehidupan dan masa depan kami. Izin-izin yang diberikan ke koperasi menyalahi aturan dan merampas hak masyarakat,” kata Eko, yang juga Ketua Forum Mahasiswa Mentawai (Formma) Sumbar.
Sementara itu, Kepala Bidang Perencanaan Pemanfaatan Hutan Dinas Kehutanan Sumbar Faridil Afrasy mengatakan, Senin depan, pihaknya melakukan pertemuan dengan koperasi mengumpulkan informasi. Sebelumnya, dinas sudah bertemu dengan perwakilan koalisi. Dinas akan mempelajari dulu persoalan ini.
Faridil menjelaskan, pengurusan izin PKKNK oleh koperasi sudah sesuai prosedur. Izin PKKNK juga tidak bisa dicabut begitu saja karena sudah melalui proses panjang. ”Kami terbitkan izin PKKNK karena sudah ada izin usaha perkebunan dari bupati,” kata Faridil.
Ditambahkannya, sebenarnya, tidak ada wewenang dinas kehutanan perihal perkebunan ini karena lokasinya di areal penggunaan lain (APL). Namun, karena ada kayu hutan di lokasi itu, ada potensi pendapatan negara di sana sehingga mesti ada izin PKKNK.
Ditemui sebelumnya, Bupati Kepulauan Mentawai Yudas Sabaggalet mengatakan, ia sudah berkoordinasi dengan Kepala Dinas Kehutanan Sumbar Yozarwardi terkait penolakan warga ini. Namun, Yudas menegaskan, pemkab tidak pernah memberikan izin pemanfaatan kayu (IPK), tetapi hanya IUP tanaman penghasil minyak atsiri.
”Saya tidak tahu bagaimana teman-teman di provinsi menerjemahkannya. Izin yang kami berikan bukan IPK, melainkan untuk kebun atsiri. Itu kan (koperasi yang dikelola) mantan bupati (Kepulauan Mentawai). Izin perkebunan atsiri itu betul untuk ekonomi kerakyatan,” kata Yudas, Kamis (2/12/2021).
Adapun Manajer Koperasi Minyak Atsiri Mentawai Tarminta, Sabtu (4/12/2021), mengatakan, koperasi sudah mengurus semua perizinan sesuai prosedur yang berlaku. Ia membantah adanya upaya penyalahgunaan identitas masyarakat. Koperasi juga tidak pernah mengambil alih lahan masyarakat.
Tarminta menjelaskan, koperasi sebenarnya tidak bermaksud mengurus kayu-kayu tersebut, tetapi hanya IUP untuk kebun serai wangi, nilam, masohi, kayu putih, dan kayu manis Sri Lanka. Namun, karena di areal IUP ada kayu produktif yang bisa memberikan pendapatan kepada negara, Dinas Kehutanan Sumbar menyarankan koperasi mengurus izin PKKNK.
”Keluarlah izin itu oleh Dishut Provinsi. Jadi, semua sudah ada izinnya,” katanya.
Menurut Tarminta, perkebunan itu sebenarnya dibangun oleh semua anggota koperasi. Pengurusan IUP berdasarkan dokumen para anggota koperasi. Tidak ada istilah penyerahan lahan pada koperasi, yang ada hanya istilah persetujuan anggota koperasi untuk membangun perkebunan.
”Kalau ada yang bilang tidak pernah ada penyerahan, memang tidak ada penyerahan. Tidak mengenal istilah penyerahan karena yang membangun perkebunan itu sesungguhnya adalah anggota Koperasi Minyak Atsiri Mentawai. Maka, seluruh data anggota menjadi dokumen untuk pengurusan IUP ketika koperasi sudah berdiri,” ujarnya.
Tarminta turut membantah koperasi hanya ingin memanen kayu. Menurut dia, harga kompensasi kayu untuk masyarakat Rp 35.000 per meter kubik. Adapun harga Rp 1 juta-1,5 juta adalah harga kayu usai diolah oleh perusahaan kontraktor, sudah termasuk biaya modal dan pajak. Keuntungan koperasi atas pengolahan kayu juga akan dinikmati anggota koperasi.