Harum Harga Serai Wangi Mengecoh Petani Jambi
Budidaya serai wangi yang sempat harum kini terbengkalai. Penyebabnya karena harga jual minyak asiri serai wangi di tingkat petani jatuh. Pemerintah perlu mengawal pengembangan hilirnya.
Terpikat iming-iming harga, Roni Sinaga bertanam serai wangi (Cymbopogon nardus). Mimpinya sederhana, sejahtera hidup dari budidaya tanaman itu, tiga tahun lalu. Tak disangka-sangka, hasilnya jeblok, membuyarkan mimpinya.
Roni terbuai ucapan temannya, pedagang pengepul di wilayah Tebo, Provinsi Jambi. Ia terpikat turut menanam serai wangi setelah temannya itu mengajaknya. Harapannya, panen melimpah dan minyak asiri yang dihasilkannya bernilai jual tinggi.
Semangatnya membuncah untuk menanam karena janji minyak serai wangi yang nanti dihasilkan akan ditampung temannya untuk dikirim ke Medan. Dari Medan, minyak serai wangi diekspor ke Singapura, China, hingga Timur Tengah.
Kala itu, si teman pedagang itu bersedia membeli seharga Rp 250.000 per kilogram. Tentu saja tawaran itu menggiurkan. Daun serai yang tumbuh di hamparan 1 hektar bisa menghasilkan panen rata-rata 20 ton. Setelah disuling 6 jam, dihasilkan 200 kilogram minyak asiri. Dengan harga jual tadi, hasilnya akan bernilai Rp 50 juta.
Baca Juga: Semerbak Mewangi Rumah Asiri
Roni pun membulatkan tekad. Setelah tanaman serai wanginya tumbuh besar, ia membangun instalasi penyulingan. Instalasi itu menyambungkan ketel besar untuk memasak daun serai. Uap pemasakan lalu mengalir ke dalam bak berisi air. Perubahan suhu air dan uap panas memunculkan minyak yang beraroma wangi. Minyak itulah yang dipasok ke pedagang.
Budidaya serai wangi sampai saat itu masih sangat potensial. Seusai dipanen daunnya, lanjut Roni, tanaman terus menghasilkan daun-daun baru untuk dipanen tiga bulan berikutnya. Begitu seterusnya. ”Membudidayakannya terbilang mudah. Tanah ini sangat subur sehingga tidak memerlukan pemupukan khusus. Juga tidak perlu menyiangi tanaman semak di lahan,” katanya, Sabtu (28/8/2021).
Panen pertama tahun 2018 disambut sukacita. Roni pun mengajak para petani lain turut menanam serai wangi. Mengetahui hasil yang diperoleh, petani lain tertarik. Harga bibit kala itu masih Rp 1.700 per biji. Mereka yang tak cukup modal pun dibantu Roni dengan pengadaan bibit. Dalam waktu singkat, terbangun kerja sama di antara petani sehingga budidaya itu menyebar di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Hampir 100 hektar luasnya.
Baca Juga: Pasar Aromaterapi Tradisional Kian Harum
Dengan hasil panen melimpah, pasokan ke tempat penyulingan dibuat terjadwal. Roni berperan sebagai penampung pertama. ”Semua hasil panen mereka ditampung di sini agar produksi penyulingan tetap lancar,” katanya.
Tatkala produksi minyak asiri mulai melimpah, ia mengontak pengepul. Namun, ia kaget mengetahui harga minyak serai wangi dalam sekejap jatuh. Dari semula Rp 250.000 per kilogram turun terus hingga hanya Rp 60.000 per kilogram. ”Dengan harga serendah ini, petani sudah pasti tekor,” keluhnya.
Para petani mencoba bertahan sampai harga kembali naik. Ditunggu 6 bulan lamanya harga tak kunjung beranjak naik. Satu per satu petani mulai mengganti tanaman serai wangi dengan palawija. Roni masih membiarkan lahan itu bersemak hingga akhirnya usaha penyulingan berhenti beroperasi setahun terakhir.
Di lokasi penyulingan, tampak ketel besar telah berkarat di antara semak. Bak penampungan yang dibangun bersama mimpi sejahteranya telah ditumbuhi rumput liar.
Kemandekan meluas
Kondisi tersebut tak hanya dialami petani di Tebo. Budidaya serai wangi yang coba dikembangkan di wilayah Sarolangun juga mandek. Menurut Siahaan dari Humas PT Agronusa Alam Sejahtera, kelompok petani dampingan perusahaan itu sempat dibantu bibit dan mesin suling. Pengembangan asiri diharapkan bisa menambah kesejahteraan petani di sana.
”Namun, setelah diolah, hasilnya tak sesuai dengan yang diharapkan,” ujarnya. Akhirnya, sejak awal 2020 hingga kini, tanaman tak pernah lagi dipanen dan diolah menjadi asiri.
Baca Juga: Riset Nilam Unsyiah Sudah Hasilkan Delapan Produk
Minyak serai wangi sebenarnya komoditas asiri yang memiliki prospek besar di antara asiri lainnya. Selain tanaman itu menghasilkan citronella oil yang bisa dimanfaatkan untuk bermacam kebutuhan, mulai rumah tangga hingga kosmetik, serai wangi juga disebut-sebut sebagai vegetasi yang berperan penting untuk konservasi. Tanaman itu berpotensi mencegah terjadinya erosi tanah dan optimal merehabilitasi lahan kritis.
Dalam jurnal Agrokreatif, November 2020, disebutkan, integrasi budidaya dan industri pengolahan serai wangi berdampak positif bagi upaya reklamasi lahan dan sekaligus pemberdayaan ekonomi masyarakat desa. Hal itu dibuktikan tiga peneliti di Universitas Jambi, yakni Mursalin dari Program Studi Teknik Pertanian, Eva Achmad dari Program Studi Kehutanan, dan Ardi Novra dari Program Studi Peternakan.
Dari pengembangan dan riset di wilayah Muaro Jambi, para peneliti menyimpulkan tanaman serai wangi merupakan agen bioreklamasi yang bernilai ekonomi tinggi. Jika dikelola, budidaya ini dapat memberi manfaat dan keuntungan finansial asalkan dikelola terpadu pada budidaya, penyulingan, produksi trichokompos (kompos mengandung bakteri tertentu), dan penggemukan ternak.
Selain menghasilkan asiri, pengolahan ampas daun serai masuk dalam alur produksi yang menghasilkan nilai manfaat dan ekonomis berupa pupuk dan pakan ternak.
Baca Juga: Diplomasi Ekonomi Menembus Sekat Pandemi
Pengamat ekonomi dari Universitas Batanghari, Pantun Bukit, mengatakan, salah satu persoalan di daerah adalah lemahnya memetakan komoditas-komoditas itu dan mengawalnya untuk berkembang. Di Jambi, pemda masih terpaku pada komoditas unggulan, seperti sawit dan karet, sedangkan komoditas penghasil asiri belum dilirik untuk dikembangkan.
Padahal, budidayanya cukup menyebar mulai dari Kabupaten Muaro Jambi, Sarolangun, Tebo, Batanghari, hingga Merangin berupa serai wangi dan nilam. Pengembangannya dilaksanakan petani kecil dan pengolahannya dapat dilakukan dalam skala rumah tangga.
Satuan kerja teknis di pemerintah daerah, lanjutnya, perlu mulai mengangkat potensi itu. Salah satunya dengan menopang pengembangan industri pengolahannya sehingga petani tidak tergantung pada fluktuasi harga di luar.
Baca Juga: Aroma untuk Terapi Diri
Selain itu, akses pasar perlu dibuka seluas-luasnya. Banyak usaha lokal sebenarnya membutuhkan asiri, mulai dari jasa perhotelan, salon dan spa, hingga jasa psikologi dan kesehatan. Harapannya, lahan serai wangi tidak lagi dibiarkan terbengkalai dan mengecoh para petani seperti Roni.