Tanpa Dokumen Penempatan, 53 Calon Pekerja Migran Asal NTB Segera Dipulangkan
Rencana keberangkatan calon pekerja migran Indonesia ke Timur Tengah tanpa disertai dokumen penempatan digagalkan. Sebanyak 60 calon pekerja migran ditemukan di Bekasi dan 53 orang di antaranya merupakan warga NTB.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Sebanyak 60 calon pekerja migran Indonesia tanpa dokumen penempatan ditemukan saat inspeksi mendadak di Bekasi Barat, Kota Bekasi, Jawa Barat. Dari seluruh calon pekerja migran yang diduga akan dipekerjakan di sejumlah negara di Timur Tengah itu, 53 orang adalah warga Nusa Tenggara Barat.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB I Gede Putu Aryadi di Mataram, Rabu (29/12/2021), mengatakan, hal itu diketahui berdasarkan surat dari Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan pada Selasa (28/12/2021).
Menurut Gede, dalam surat itu disebutkan, inspeksi mendadak (sidak) dilakukan pada Senin (20/12/2021) di sebuah rumah yang dijadikan penampungan calon pekerja migran Indonesia di Jalan Pawon, Kelurahan Bintara, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi.
”Saat sidak, ditemukan 60 calon pekerja migran yang tidak memiliki dokumen penempatan. Mereka rencananya ditempatkan atau dipekerjakan pada pemberi kerja perseorangan atau rumah tangga ke negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar, sebagai pekerja rumah tangga,” ujarnya.
Gede menjelaskan, dari 60 calon pekerja migran tersebut, sebagian besar berasal dari NTB, yakni 53 orang. Sisanya tiga orang dari Jawa Barat, satu orang dari Banten, dua dari Jawa Timur, dan satu dari Sulawesi Tenggara.
”Dari 53 orang asal NTB, hampir 50 persen dari Lombok Tengah. Lainnya dari Mataram, Lombok Utara, Lombok Timur, dan Lombok Barat,” katanya.
Menurut Gede, sejak 2015, negara-negara yang akan menjadi tujuan penempatan calon pekerja migran tersebut sudah tidak lagi menerima atau ditutup untuk sektor domestik sebagai pekerja rumah tangga.
Oleh karena itu, keberangkatan mereka harus dicegah. Jangan sampai justru terjadi kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Mereka akan dipulangkan ke daerah masing-masing. Kami sudah berkoordinasi dengan kabupaten dan kota asal para calon pekerja migran tersebut untuk membantu penjemputan dan pemulangan ke daerah asal masing-masing. (Gede Putu Aryadi)
Apalagi dari hasil pemeriksaan, mereka diketahui direkrut secara langsung oleh calo dengan imbalan uang saku Rp 5 juta hingga Rp 7 juta. Rencana penempatan itu juga bukan oleh perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI), melainkan perseorangan.
Selain itu, menurut Gede, sebagian besar calon pekerja migran tersebut belum mendapat paspor. Rencananya mereka akan mengurus paspor di kantor imigrasi terdekat.
Mereka diduga berangkat dari daerah masing-masing ke Jakarta dengan alasan melancong, lalu dikumpulkan untuk selanjutnya diberangkatkan ke negara tujuan.
Karantina
Menurut Gede, saat ini semua calon pekerja migran tersebut masih menjalani karantina sekaligus pemeriksaan di Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) Kementerian Sosial di Bambu Apus, Jakarta Timur.
”Setelah itu, mereka akan dipulangkan ke daerah masing-masing. Kami sudah berkoordinasi dengan kabupaten dan kota asal para calon pekerja migran tersebut untuk membantu penjemputan dan pemulangan ke daerah asal masing-masing,” katanya.
Para calon pekerja migran itu, tambah Gede, juga akan dibina agar mengikuti pemberangkatan secara prosedural. Tidak secara nonprosedural yang justru menjadi masalah dan membahayakan mereka, bahkan hingga meninggal.
Berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Mataram, pekerja migran nonprosedural mendominasi pekerja migran yang meninggal dalam dua tahun terakhir, 2020-2021. Jumlahnya mencapai 132 orang dari total 169 pekerja migran yang meninggal.
Kasus TPPO juga masih menjadi persoalan besar di NTB. Bahkan, provinsi itu berada di lima besar daerah dengan kasus TPPO tertinggi di Indonesia bersama Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan NTT.
Berdasarkan data Subdirektorat IV Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda NTB, sejak 2017 hingga pertengahan 2021, sudah ada 36 kasus TPPO yang ditangani. Dari total kasus itu, ada 39 korban dan 40 tersangka.
Kepala UPT BP2MI Mataram Abri Danar Prabawa mengatakan, 85 persen korban TPPO dunia berasal dari Asia. Dari seluruh korban di Asia, 88 persen berasal dari Indonesia dengan pekerjaan terbanyak sebagai pekerja domestik atau pekerja rumah tangga.
Menurut Abri, NTB saat ini menjadi provinsi keempat yang mengirimkan pekerja migran ke luar negeri. Oleh karena itu, pihaknya terus berupaya agar masyarakat bisa berangkat sesuai prosedur.
”Kita harus sampaikan, wajib prosedur. Masyarakat jangan melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri. Dari sisi perlindungan untuk itu (pekerja migran nonprosedural) juga sangat lemah,” kata Abri saat mengantar jenazah pekerja migran Indonesia asal Lombok Tengah yang meninggal dalam kecelakaan perahu di Johor, Malaysia.
Abri mengatakan, pemerintah memang akan tetap hadir, tetapi juga tetap ingin semua warga bekerja ke luar negeri sesuai prosedur serta memiliki keahlian.
Sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, ujar Abri, ada peran desa sehingga semua pihak harus mengoptimalkan peran desa tersebut. Dengan begitu, masyarakat hingga tingkat desa paham apa saja persyarakat menjadi pekerja migran Indonesia, negara mana saja yang boleh, dan lainnya.