Keluarga Pekerja Migran yang Masih Berjuang Menghadapi Tekanan Ekonomi
Keluarga pekerja migran Indonesia masih berjuang menghadapi tekanan ekonomi setelah ditinggal tulang punggung keluarga. Selain itu, nestapa juga masih menyelimuti mereka karena ditinggalkan orang tercinta.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·5 menit baca
Nestapa masih menyelimuti Nurhayati (49) dan Muhammad Amin (56) tatkala mengingat kepergian anaknya ke Malaysia sekitar 11 tahun lalu yang bagi mereka masih menyisakan tanda tanya. Di samping itu, kini mereka terus berjuang menghadapi tekanan ekonomi.
Masih jelas di benak Nurhayati, warga Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, saat anaknya, Susanto, yang pada tahun 2008 lalu masih berusia 17 atau 18 tahun, berangkat bekerja ke Malaysia. Awalnya, Susanto bekerja di Sibu untuk kontrak kerja selama dua tahun. Namun, tidak sampai dua tahun kembali lagi ke Kalbar.
Sekitar tiga bulan kemudian ia kembali lagi ke Malaysia bekerja di daerah Bintulu melalui salah satu agen tenaga kerja. Di Bintulu ia bekerja di kilang penggergajian kayu. ”Pekerjaannya terkadang mengangkat kayu di sana,” ujarnya, Jumat (30/4/2021).
Ia berangkat ke Malaysia karena di Kalbar susah mencari kerja saat itu. Sementara Nurhayati dan suaminya, Muhammad Amin (56), bekerja serabutan. ”Terkadang saya kerja bangunan. Itu pun kalau ada. Kalau tidak ada, ya, tidak bekerja,” ujar Amin.
Pada 2010, Susanto hilang kontak dengan keluarga, padahal biasanya sering menghubungi keluarga. Selama tiga bulan, ia tidak bisa dihubungi. Ternyata saat keluarga menghubungi tempat ia bekerja, Susanto pindah tempat bekerja, diajak seseorang.
”Pihak kantin tempat dia bekerja sebelumnya juga tidak tahu ke mana anak saya pindah bekerja. Mereka bilang sudah sekitar tiga bulan pindah,” ujar Nurhayati.
Tak lama, pihak keluarga kemudian mendengar kabar dari agen bahwa Susanto meninggal pada usia 20 tahun. Informasi dari Malaysia, ia meninggal bunuh diri di asrama tempat ia bekerja sekitar pukul 09.00. Namun, pihak keluarga melihat ada kejanggalan.
”Yang tidak masuk akal, kakinya menyentuh lantai, tidak bergantung. Kemudian di bagian belakang tubuhnya lebam. Tidak masuk akal kalau dia bunuh diri. Kami melihat itu saat memandikan jenazahnya saat tiba di rumah,” ungkapnya.
Baca juga: Remitansi Terus Meningkat, tetapi Pengabaian Hak Masih Terjadi
Susanto juga ternyata sudah diotopsi di Malaysia. Sebenarnya Susanto mau dikebumikan di Malaysia. Namun, jenazahnya berhasil dipulangkan Konsulat Jenderal RI di Kuching sehingga bisa dimakamkan di Kalbar.
Sang kakak, Budianto (32), yang juga bekerja di Malaysia saat itu, tetapi di lokasi berbeda, berusaha menyusul. Namun, karena keterbatasan biaya, upayanya gagal. Sebab, gaji sang kakak lima bulan tidak dibayar majikan. Selain itu, pakaian sang kakak juga dicuri.
Tulang punggung
Susanto termasuk tulang punggung. Saat berangkat terakhir ke Malaysia, Susanto tidak sempat mengirim uang kepada keluarga. Pihak keluarga mau menuntut atas kematian putranya, tetapi tidak berdaya. Sebab, pihak keluarga mendengar kejadian seperti itu pernah juga menimpa PMI lain, tetapi keluarga PMI tidak berdaya jika ingin mengusut kasus seperti itu secara tuntas.
Saat ini, sang ayah, Amin, bekerja sebagai tulang bangunan. Namun, penghasilan tidak pasti karena bekerja serabutan. ”Apalagi, selama pandemi Covid-19 tidak ada tawaran bekerja setahun terakhir,” ujarnya.
Amin dan Nurhayati tinggal di rumah salah satu anaknya. Nurhayati bekerja menggarap lahan pertanian padi milik orang lain. Nurhayati mendapatkan upah berupa beras saat panen sekitar 50 kilogram yang diterimanya setahun sekali.
Untuk bisa bertahan hidup selama ini masih ada anak-anaknya yang bekerja. Anaknya ada yang bekerja di perusahaan pembuat tempat tidur di Kalbar. Ada juga yang bekerja sebagai buruh harian di dok kapal.
”Kalau ada kapal yang perlu dicat, anak saya mengecat dengan upah sekitar Rp 80.000 per hari,” ujar Nurhayati.
Anaknya juga ada yang bekerja membuka warung di depan rumah kecil-kecilan. Hal itu sedikit bisa membantu menopang ekonomi keluarga. Per hari terkadang bisa mendapatkan Rp 200.000 jika sedang banyak pembeli.
Nurhayati dan Amin juga saat ini masih diselimuti trauma. Mereka sudah tidak memperbolehkan anak-anaknya bekerja ke luar negeri khususnya ke Malaysia karena pengalaman pahit yang pernah menimpa salah satu anaknya tersebut.
Azam (25), salah satu keluarga PMI asal Kabupaten Sambas, menuturkan, pada tahun 2020 mereka kehilangan salah satu anggota keluarganya bernama Samsudi. Samsudi meninggal karena sakit demam saat bekerja di Malaysia.
”Sebelum demam ia jatuh dari tangga. Di Malaysia ia bekerja di kilang pembuatan batako. Kemungkinan karena kelelahan bekerja,” ungkapnya.
Sejak dari kampung ia sudah mulai sakit. Namun, karena tuntuan ekonomi, ia tetap berangkat bekerja ke Malaysia. Sebab, keseharian keluarganya banyak yang menjadi pekerja bangunan dengan penghasilan tidak menentu.
”Keluarga yang lain ada juga yang bertani. Sebagian ada menggarap lahan sendiri sebagian menggarap lahan orang lain dengan penghasilan terkadang tidak tetap. Itu pun kalau ada orang yang ingin memakai jasa tenaga kerja baru dapat pekerjaan,” ujarnya.
Almarhum Samsudi meninggalkan ibunya. Selain itu, selama bekerja, dia juga sering mengirim uang kepada keluarga karena ia termasuk tumpuan hidup keluarga. Setelah meninggalnya Samsudi, kalau dahulu ada bantuan dari dia untuk keluarga, sekarang tidak ada lagi bantuan. Kini, saudara-saudaranya yang merawat ibunya.
Sekarang ekonomi semakin susah dibanding tahun-tahun sebelum Covid-19. Bekerja ke Malaysia juga sekarang sulit karena tidak bisa ke Malaysia. Tawaran proyek bangunan juga tidak menentu.
”Terkadang tidak kebagian pekerjaan karena sudah didahului orang lain sebab banyak yang memerlukan pekerjaan,” kata Azam.
Azam juga biasa bekerja ke Malaysia, tetapi saat ini tidak bisa sehinga tidak ada pilihan lain. Jika tidak ada pekerjaan, ia harus bertahan hidup dengan menggarap lahan di kampung. Kebetulan sawah baru saja panen. Hasil panen dijual dan ada juga untuk konsumsi di rumah. Panen tahun ini lumayan menolong perekonomian.
Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Kabupaten Sambas Sunardi menuturkan, PMI rata-rata tulang punggung keluarga yang menjadi tumpuan pengharapan. Selama ini, khusus di Sambas, sebagian besar PMI non-prosedural.
”Karena PMI banyak yang tidak resmi, ketika mereka ada masalah, sulit memperjuangkan hak-hak mereka. Ketika mereka meninggal, paling dipulangkan. Kemudian, ada santunan RM 1.000-RM 2.000 dari pihak pengguna di Malaysia,” ungkap Sunardi.
Rata-rata para PMI pergi sendiri ke Malaysia. Ada juga yang diajak keluarga. Kesulitan saat ini terkait sertifikasi. Sertifikasi menunjukkan keahlian calon tenaga kerja. Jika sertifikasi dimiliki, mereka bisa bekerja sesuai keahlian sehingga lebih layak.
Selama ini, karena tidak memiliki sertifikasi, mereka rata-rata bekerja serabutan. Mereka masuk ke perusahan sawit, sekaligus menjadi pemanen, pemelihara kebun dan sopir mobil sehinga tidak memiliki standar. Sementara untuk mengurus sertifikasi, tenaga kerja harus ke Samarinda, Kalimantan Timur, atau di Serang, Jawa Barat.