Potensi Hujan Ekstrem Masih Mengintai Palembang
Potensi hujan ekstrem masih mengintai Kota Palembang sampai tujuh hari ke depan. Risiko banjir pun sangat besar. Banjir di Palembang sebagai bukti pemerintah salah dalam menerapkan pola pembangunan.
PALEMBANG, KOMPAS — Potensi hujan ekstrem masih mengintai Kota Palembang, Sumatera Selatan, hingga tujuh hari ke depan. Pemerintah segera melakukan antisipasi dengan menyiapkan tambahan pompa dan melakukan normalisasi saluran drainase yang sempat tersumbat ketika banjir besar melanda Palembang pada Sabtu (25/12/2021).
Kepala Stasiun Klimatologi Palembang Wan Dayantolis, Senin (27/12/2021), menjelaskan, potensi hujan ekstrem di Palembang masih ada hingga 2 Januari 2022. Dikatakan ekstrem jika intensitas hujan sudah berada di atas 50 milimeter (mm) per hari.
Pada Sabtu (25/12/2021), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat hujan di Palembang mencapai 159,7 mm per hari. Intensitas hujan ini merupakan yang tertinggi di Sumsel pada periode Desember dan nomor tiga tertinggi pada periode Januari-Desember dalam 31 tahun terakhir.
”Sebenarnya hujan merata di seluruh wilayah Sumsel. Namun, pada Sabtu lalu, hanya Palembang yang curah hujannya di atas 100 mm,” kata Wan. Bencana banjir tersebut pun sempat melumpuhkan aktivitas warga, termasuk menyebabkan dua korban jiwa.
Pemicunya adalah fenomena La Nina dan belokan angin yang menghasilkan penumpukan massa udara sehingga membentuk awan hujan. Situasi ini diperkirakan masih terjadi dalam beberapa bulan ke depan karena masa puncak musim hujan di wilayah Sumsel akan terjadi pada Febuari-Maret 2022.
Untuk menanggulangi dampak bencana, ujar Wan, informasi mengenai cuaca ekstrem akan diberitahukan secara berjenjang dengan tingkat akurasi 80-90 persen. Khusus untuk cuaca ekstrem, informasi ke pihak terkait akan dilakukan bertahap, yakni satu minggu sebelum kejadian, dilanjutkan tiga hari sebelum kejadian, dan yang paling dekat tiga jam sebelum cuaca ekstrem berlangsung. ”Hal inilah yang kami lakukan pada Sabtu lalu,” katanya.
Baca juga: Intensitas Hujan Tertinggi Selama 31 Tahun, Banjir Rendam Palembang
Wakil Wali Kota Palembang Fitrianti Agustinda menginstruksikan agar semua pihak segera mengambil langkah ketika mendapatkan informasi cuaca ekstrem dari BMKG. Ini agar banjir besar seperti yang terjadi pada Sabtu lalu tidak lagi terulang. Menurut dia, banjir besar kemarin merupakan akumulasi dari curah hujan tinggi, pasangnya Sungai Musi, dan tidak optimalnya saluran drainase.
Diketahui, pasangnya Sungai Musi disebabkan oleh limpahan air dari tiga sungai besar, yakni Sungai Komering, Sungai Kramasan, dan Sungai Ogan yang akhirnya mengalir ke Palembang. ”Belum lagi air laut juga mengalami pasang,” katanya.
Selain itu, ungkap Fitrianti, setidaknya ada 200 saluran drainase yang tidak optimal akibat pembangunan di atas drainase dan tumpukan sampah. ”Hal ini harus diantisipasi, terutama di kawasan yang rawan,” ujarnya.
Dia menyadari masih ada kebiasaan warga Palembang membuang sampah langsung ke sungai. Hal ini juga disebabkan oleh kurangnya tempat sampah di bantaran sungai. Kebiasaan ini harus dikikis sehingga risiko banjir bisa diminimalkan.
Baca juga: Mayoritas Wilayah di Palembang Berisiko Terdampak Banjir Rob
Terkait masih adanya potensi cuaca ekstrem dalam tujuh hari ke depan, ujar Fitrianti, pihaknya segera menyiagakan semua delapan pompa permanen dan tujuh pompa portabel. ”Kami juga meminta bantuan dari Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera (BBWSS) VIII yang akan mendapatkan tambahan pompa pada akhir Desember,” katanya.
Setiap pompa permanen itu akan dijaga oleh 10 personel tim gabungan agar ketika hujan lebat mengguyur pompa dapat segera dioperasikan. Sebenarnya, pada Sabtu lalu, semua pompa sudah difungsikan. Namun, pompa tak dapat optimal mengatasinya.
Pompa tidak optimal
Kepala BBWSS VIII Maryadi Utama mengatakan, akibat tidak optimalnya drainase membuat volume air menyusut. Hal inilah yang membuat pompa tidak bisa bekerja menyerap air. Dia mencontohkan, dari enam pompa yang ada di kawasan Sungai Bendung, hanya dua pompa yang bisa beroperasi. Hal ini disebabkan debit air yang masuk ke saluran intake kecil.
Kondisi ini menyebabkan banjir di sejumlah kawasan, seperti di Kawasan Pusri, Sapta Marga, dan sekitarnya. Sebagai antisipasi jangka pendek, pada akhir Desember ini ada tiga pompa portabel berkapasitas 250 liter per detik dan 22 pompa portabel berkapasitas 50 liter per detik. Pompa tersebut akan disiagakan untuk mengantisipasi banjir di beberapa kawasan rawan di Palembang.
Pendangkalan juga menjadi penyebab banjir. Maryadi menyebut, ada beberapa anak sungai di Palembang yang dangkal akibat sedimentasi. ”Ada beberapa anak sungai yang awalnya memiliki kedalaman 6 meter, sekarang hanya tinggal 1 meter,” katanya.
Topografi ibu kota Sumsel itu merupakan dataran rendah berkarakteristik lahan rawa.
Oleh sebab itu, ke depan, program normalisasi sungai akan dilanjutkan. Ini seperti di kawasan aliran Sungai Sekanak-Lambidaro yang tidak banjir. Itu terjadi karena adanya normalisasi sungai yang sudah dilakukan sejak awal 2021 dan dilanjutkan pada 2022. ”Untuk tahun 2022, ada sekitar 1,2 kilometer jalur Sungai Sekanak-Lambidaro yang akan dinormalisasi,” kata Maryadi.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Palembang Ahmad Bastari Yusak menjelaskan, pada dasarnya, potensi banjir di Palembang memang tinggi. Alasannya, topografi ibu kota Sumsel itu merupakan dataran rendah berkarakteristik lahan rawa.
Bahkan, lanjut Ahmad, dari 18 kecamatan yang ada di Palembang, 11 kecamatan di antaranya berada di bawah muka air pasang tinggi Sungai Musi. Kecamatan itu adalah Gandus, Ilir Barat 1, Ilir Barat 2, Sako, Sematang Borang, Kalidoni, Kemuning, Seberang Ulu, Kertapati, Jakabaring, dan Plaju.
Walau Palembang tidak berbatasan langsung dengan laut, saat muka air laut naik, air sungai juga akan naik. Apalagi, jarak antara muara laut dan sungai di Palembang hanya sekitar 90 kilometer. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Kementerian Lingkungan Hidup dan Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2010-2011 yang menyatakan potensi banjir rob juga tinggi.
Rekomendasi dari penelitian tersebut menyatakan, Palembang membutuhkan setidaknya 77 kolam retensi, tetapi baru terealisasi 46 kolam retensi. Kondisi ini disebabkan sulitnya mendapatkan lahan karena harga tanah yang sudah melambung tinggi.
Salah urus
Direktur Perkumpulan Lingkar Hijau Anwar Sadat mengatakan, bencana ekologis berupa banjir di Palembang, Sabtu lalu, adalah dampak dari salah urus serta pembiaran kejahatan lingkungan dan tata ruang yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Palembang.
Banjir di Palembang, kemarin, sebenarnya telah bisa diprediksi sejak lama. Hasil riset yang dilakukan dan dipublikasikan oleh Kompas dalam Jurnalisme Data pada 24 Agustus 2021 menyebutkan, Palembang merupakan salah satu dari tujuh kota di Indonesia yang memiliki kerentanan tinggi atas krisis iklim. Hal ini berupa naiknya permukaan air laut dan masuk ke daratan yang menyebabkan beberapa wilayah ibu kota provinsi hilang dan tenggelam.
Namun, hasil riset itu tidak dijadikan bahan evaluasi dalam menerapkan kebijakan, sebaliknya pembangunan kota kian serampangan. Bahkan, Anwar mengatakan, pemerintah berencana melakukan pemutihan terhadap kejahatan-kejahatan industri properti terhadap lingkungan dan tata ruang dengan merevisi rencana tata ruang wilayah (RTRW), termasuk melanjutkan sejumlah proyek perusakan rawa dan ruang terbuka hijau (RTH). ”Rencana itu sudah masuk dalam pembahasan di DPRD Kota Palembang,” katanya.
Berdasarkan analisis peta dengan menggunakan peta tata ruang Kota Palembang 2012-2032 dan pencitraan jarak jauh serta pengecekan lapangan, Perkumpulan Lingkar Hijau mencatat, setidaknya terdapat 207 kasus kejahatan tata ruang terhadap RTRW Kota Palembang 2012-2032 yang terjadi dalam delapan tahun terakhir.
Baca juga: Cuaca Dunia Semakin Ekstrem
Kejahatan itu berbentuk alih fungsi RTH dan rawa konservasi ataupun rawa budidaya yang diduga akan dijadikan kawasan industri properti/perumahan, hotel, showroom mobil, peternakan, dan industri lainnya. Itu tersebar di 13 kecamatan dan 25 kelurahan di Palembang. Adapun luas alih fungsi lahan RTH dan rawa yang terjadi pada 2014-2021 dari analisis tersebut seluas 404,19 hektar.
Melihat situasi ini, menurut Anwar, penegakan hukum pidana dan administrasi terhadap pelaku kejahatan lingkungan harus diterapkan secara tegas dan transparan. Dengan begitu, bencana tenggelamnya Kota Palembang akibat kerusakan lingkungan hidup yang diperparah oleh krisis iklim dapat dicegah.