Datangnya banjir besar di India dan China tak lama setelah banjir di Eropa memperkuat pesan bahwa harus ada perubahan signifikan untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana serupa di masa mendatang.
Oleh
Pascal S Bin Saju, Luki Aulia, Fransisca Romana Ninik
·4 menit baca
NEW DELHI, SABTU — Banjir yang menelan ratusan korban jiwa di China, India, dan Jerman telah mengirim sinyal kuat bahwa perubahan iklim membuat cuaca semakin ekstrem di seluruh dunia. Sementara di kawasan Amerika Utara, gelombang panas menyebabkan kebakaran hutan parah.
Regu penyelamat India, Sabtu (24/7/2021), berjuang keras mengevakuasi korban banjir dan tanah longsor di beberapa negara bagian. Petugas telah mengevakuasi 129 korban tewas, tetapi puluhan orang lainnya belum ditemukan.
Proses evakuasi berjalan tertatih-tatih karena terhambat hamparan lumpur tebal dan puing-puing bangunan serta batu dan pohon tumbang. Mereka mencari para korban di antara rumah-rumah yang masih terendam banjir dan tertimbun tanah longsor yang dipicu hujan deras sejak Kamis.
Negara Bagian Maharashtra terdampak paling parah. Sejak awal pekan ini Maharashtra terus diguyur hujan yang menurut para ahli paling lebat dalam empat dekade terakhir. Di Taliye, sekitar 180 kilometer tenggara Mumbai, ibu kota keuangan India sekaligus ibu kota Maharashtra, dilaporkan jumlah korban tewas terus bertambah.
Sebagian wilayah pantai barat India juga dilanda hujan deras dengan intensitas tinggi hingga 594 milimeter dalam beberapa hari ini. ”Orang-orang hampir kehilangan segalanya,” kata Menteri Kesehatan Negara Bagian Goa Vishwajit Rane.
Dia mengatakan, di wilayah Goa belum pernah terjadi hujan lebat seperti dalam setengah abad terakhir. Akibatnya, lebih dari 1.000 rumah rusak karena terendam banjir.
Terjebak
Jumlah korban tewas akibat banjir besar di kota Zhengzhou, Provinsi Henan, China, bertambah menjadi 58 orang, seperti dilaporkan televisi setempat, Sabtu, mengutip Li Changxun, Wakil Direktur Departemen Manajemen Darurat Provinsi Henan. Sedikitnya empat jenazah lagi ditemukan setelah terowongan kereta bawah tanah dikeringkan.
Seorang pria berhasil diselamatkan setelah tiga hari terjebak di garasi bawah tanah. Tim penyelamat menggunakan alat berat dan perahu karet untuk mengevakuasi penduduk dari wilayah yang masih tergenang banjir.
Banjir akibat hujan deras selama beberapa hari mengubah jalanan seperti sungai dengan arus deras. Media lokal The Paper melaporkan, langit pada Sabtu terlihat cerah, tetapi sebagian kota Zhengzhou dan kota lain, seperti Hebi, Xinxiang, dan Anyang, masih terendam banjir.
Kantor berita Xinhua memperkirakan kerugian ekonomi akibat banjir di Provinsi Henan mencapai 2 miliar dollar AS. Lebih dari 3.800 rumah rusak dan 920.000 orang mengungsi dari rumah mereka.
Para ahli iklim memperingatkan, bencana banjir di Zhengzhou menjadi cermin rapuhnya tata kota China di tengah dampak perubahan iklim. Kebanyakan kota besar di China masih mengandalkan tanggul sebagai pertahanan dari banjir. Pencegahan bencana serupa memerlukan perubahan mendasar dalam perancangan kota di masa mendatang.
Percepat penanganan
Kanselir Jerman Angela Merkel menekankan perlunya mempercepat penanganan dampak perubahan iklim. Banjir besar yang melanda wilayah Jerman bagian barat pekan lalu telah memakan korban 177 jiwa. Menurut Merkel, Jerman dan negara-negara lain belum cukup berbuat untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam kesepakatan iklim Paris untuk membatasi pemanasan global pada 1,5 derajat celsius.
”Kita tidak bisa berpura-pura belum melakukan apa-apa, tetapi benar bahwa itu belum cukup untuk mencapai tujuan. Bukan Jerman saja, melainkan banyak negara di dunia. Itulah sebabnya kita perlu meningkatkan tempo,” ujar Merkel saat mengunjungi korban bencana di Negara Bagian Rhineland-Palatinate.
Wilayah ini yang terburuk dilanda banjir dengan korban tewas mencapai 128 orang. Warga yang selamat mempertanyakan sistem peringatan dini yang tidak berjalan seperti seharusnya. Sirene di beberapa kota berhenti saat listrik padam. Di lokasi lain, sirene sama sekali tidak berbunyi. Sukarelawan penyelamat harus mengetuk pintu rumah warga satu per satu untuk memberi tahu apa yang harus dilakukan.
Datangnya banjir besar di India dan China tak lama setelah banjir di Jerman dan Belgia memperkuat pesan bahwa harus ada perubahan signifikan untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana serupa di masa mendatang. ”Pemerintah pertama-tama harus menyadari bahwa infrastruktur yang dibangun di masa lalu atau sekarang rentan terhadap cuaca ekstrem,” kata Eduardo Araral, profesor rekanan dan salah satu direktur pada Institute of Water Policy pada Lee Kuan Yew School of Public Policy, Singapura.
Di Eropa, perubahan iklim kemungkinan meningkatkan jumlah badai besar yang bergerak lebih lambat dan menetap lebih lama di sebuah wilayah, menyebabkan banjir seperti di Jerman, berdasarkan studi di jurnal Geophysical Research Letters.
Kontras dengan yang terjadi di Oregon, Amerika Serikat, yang hingga Jumat (23/7/2021) masih dilanda kebakaran hutan. Kebakaran ini merupakan yang terparah dan berisiko mengancam kawasan permukiman di California.
Sedikitnya 70 rumah atau kabin di tengah hutan terbakar. Warga yang tinggal di 2.000 rumah lain sudah diminta segera mengungsi. Masih ada 5.000 rumah yang dikhawatirkan terjebak di tengah kobaran api.
Kebakaran hutan di wilayah barat AS ini sulit dikendalikan karena musim kemarau yang sangat kering dan gelombang panas yang terjadi akhir-akhir ini akibat perubahan iklim. Wilayah barat menjadi lebih panas dan kering dalam 30 tahun terakhir. (AP/AFP/REUTERS)