Lebih dari 100 seniman mengikuti pameran seni rupa di sebuah perguruan tinggi Islam di Yogyakarta. Karya-karya mereka menyajikan refleksi menarik ihwal keberagaman yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·6 menit baca
Lebih dari 100 seniman mengikuti pameran seni rupa di sebuah perguruan tinggi Islam di Daerah Istimewa Yogyakarta. Karya-karya mereka menyajikan refleksi menarik ihwal keberagaman yang ada dalam masyarakat Indonesia. Melalui pameran ini, beragam perbedaan dimunculkan dan dirayakan tanpa harus menimbulkan keributan.
Lukisan itu menampilkan gambar seorang lelaki yang mengenakan pakaian serba putih. Tangan kanannya yang memegang kuas terangkat ke atas, seolah sedang mengekspresikan tindakan perlawanan. Di atas gambar laki-laki itu, terdapat tulisan “Jihart” dengan warna merah menyala.
Meski wajahnya tertutup masker, kita bisa dengan mudah menebak siapa identitas tokoh di dalam lukisan karya Sigit Santoso itu. Tangan teracung dan permainan kata “Jihart” yang terdapat di lukisan tersebut juga makin menguatkan asosiasi pada sang tokoh.
Diberi judul “In the Name of Art”, karya tersebut seolah mengajak kita merenungkan fenomena ajakan jihad yang kerap digaungkan pihak-pihak tertentu. Apakah seruan jihad itu murni untuk kepentingan agama atau justru ditumpangi kepentingan lain? Lalu, siapa yang sebenarnya diuntungkan dari seruan semacam itu?
Lukisan karya Sigit Santoso itu merupakan salah satu karya yang ditampilkan dalam pameran seni rupa bertajuk “Bersama dalam Beda, Berbeda dalam Sama” di Gedung Prof Dr Amin Abdullah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pameran yang berlangsung pada 15-22 Desember 2021 itu diikuti 106 seniman yang berasal dari sejumlah kota.
Kurator Pameran “Bersama dalam Beda, Berbeda dalam Sama”, Kuss Indarto, mengatakan, pameran ini berawal dari ajakan Rektor UIN Sunan Kalijaga, Al Makin, untuk menggelar acara kesenian di kampus itu. Berawal dari ajakan itu, sejumlah seniman Yogyakarta kemudian mengikuti acara melukis bersama di kampus tersebut pada Oktober 2020.
“Rektor UIN ini tampaknya suka seni dan sense of art-nya tinggi sehingga kemudian mengundang untuk bikin acara di UIN. Diawali dengan melukis bersama tahun lalu, kemudian disambung dengan bikin pameran ini,” ujar Kuss saat ditemui dalam pembukaan pameran “Bersama dalam Beda, Berbeda dalam Sama”, Rabu (15/12/2021).
Setelah rencana pameran disetujui, Kuss bersama dua kurator pendamping, yakni Bambang Heras dan Agus Tomin, bergerilya mengundang seniman untuk berpartisipasi. Sebagian karya yang ditampilkan dalam pameran ini memang bukan karya baru, tetapi masih memiliki relevansi dengan tema sehingga akhirnya dihadirkan.
Al Makin mengatakan, pameran “Bersama dalam Beda, Berbeda dalam Sama” merupakan pameran seni rupa yang pertama kali digelar di UIN Sunan Kalijaga. Setelah pameran ini, UIN Sunan Kalijaga berencana menggelar berbagai acara seni karena kampus itu berkomitmen untuk menjadi rumah bagi seni dan budaya.
“UIN Sunan Kalijaga adalah rumah bagi seni dan budaya. Para seniman, kampus ini adalah rumah Anda yang nyaman. Mari para seniman berpameran di sini, manggung di sini, bereksperimen di sini tanpa ragu,” tutur Al Makin saat memberi sambutan dalam pembukaan pameran.
Di sisi lain, penyelenggaraan pameran tersebut juga menunjukkan komitmen UIN Sunan Kalijaga untuk ikut menjaga keberagaman dalam masyarakat Indonesia. “UIN Sunan Kalijaga akan tetap menjadi rumah seni, rumah keragaman, rumah semua iman, rumah bagi banyak organisasi, banyak adat, bermacam-macam tradisi, bermacam-macam cara orang berdoa, bermacam-macam cara orang berbahasa. Mari kita buat semuanya nyaman di UIN Sunan Kalijaga,” ungkap Al Makin.
Sudut pandang
Sesuai semangat yang diusung, pameran “Bersama dalam Beda, Berbeda dalam Sama” diikuti oleh para seniman dari beragam latar belakang, baik dari segi suku, agama, gender, maupun latar belakang lainnya. Di sisi lain, karya yang ditampilkan juga beragam, tidak hanya lukisan tapi juga ada patung, seni instalasi, karya fotografi, dan mural.
Dari sisi tema, sebagian besar karya dalam pameran ini memang membicarakan soal keberagaman, tetapi sudut pandang yang tampil juga berbeda-beda. Beberapa seniman memilih membicarakan keberagaman dengan menampilkan figur tokoh-tokoh yang dianggap berjasa menjaga kebinekaan Indonesia.
Nabila Dewi Gayatri dan Ilham Khoiri, misalnya, memilih menampilkan lukisan tentang sosok KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Nabila melukis Gus Dur dengan kostum dan rambut yang mirip tokoh Semar dalam pewayangan. Dalam lukisan berjudul “Sang Pamomong” itu, Gus Dur dikelilingi oleh tokoh dan tempat ibadah berbagai macam agama. Sementara itu, Ilham melukis wajah Gus Dur dengan senyumnya yang khas dan dikelilingi oleh kerumunan kaligrafi tulisan Arab.
Sosok lain yang juga tampil dalam beberapa karya adalah Presiden Joko Widodo. Perupa Rismanto membuat lukisan yang menggambarkan Presiden Jokowi bersama KH Maimun Zubair dan Habib Luthfi bin Yahya sedang naik kereta api yang mengangkut berbagai macam barang. Lukisan yang diberi judul “Merangkul Nusantara” itu tampaknya ingin menggambarkan bagaimana tiga tokoh tersebut berupaya merangkul berbagai kelompok yang berbeda di Nusantara untuk memastikan bangsa Indonesia tetap berada dalam satu “gerbong” yang sama.
Di sisi lain, sejumlah seniman memilih cara yang lebih kompleks sekaligus jitu untuk mengajak kita merenung ihwal keberagaman. Salah satu karya terbaik dalam pameran ini adalah foto karya Agus Leonardus yang diberi judul “Sholat Dzuhur”. Foto itu menampilkan seorang perempuan yang tengah menjalankan salat di dekat patung-patung rohani umat Katolik dan Kristen.
Menurut Kuss Indarto, perempuan dalam foto itu adalah karyawati toko yang menjual patung-patung rohani untuk umat Katolik dan Kristen. “Peristiwa dalam foto ini adalah fakta, bukan settingan. Jadi, karyawati itu muslim dan dia biasa salat di sela-sela patung itu. Menurut saya, ini adalah salah satu karya yang kuat,” ujar dia.
Jika diperhatikan secara detail, perempuan dalam foto tersebut terlihat menunaikan salat secara khusyuk dan sama sekali tak terganggu dengan keberadaan patung-patung umat agama lain di dekatnya. Sikap ini adalah contoh penghormatan terhadap keberagaman yang paripurna karena pemeluk suatu agama bisa menerima dan tak merasa terganggu dengan simbol-simbol agama lain yang hadir begitu dekat.
Karya lain yang membetot perhatian adalah instalasi karya Anis Affandi yang berjudul “Messages in The Bottles”. Dalam karya ini, Anis menampilkan botol-botol yang di dalamnya terdapat tulisan kaligrafi ayat-ayat Al Quran serta ajaran dari ulama. Di salah satu botol, Anis menuliskan Surat Al Fatihah yang terdiri dari tujuh ayat, sementara di botol lain terdapat kaligrafi Surat Al Baqarah ayat 255 atau biasa disebut Ayat Kursi.
Yang menarik, beberapa botol yang digunakan Anis itu ternyata bekas botol minuman keras. Di salah satu botol dengan merek Absolut Vodka, Anis menuliskan terjemahan dari sebuah ayat Al Quran yang berbunyi “Bagimu Agamamu, Bagiku Agamaku”. Sementara itu, di botol dengan merek Jack Daniel’s, terdapat kutipan ajaran seorang ulama besar yang berbunyi “Tiada suatu nafas berhembus darimu, kecuali di situ takdir Tuhan berlaku padamu”.
Bagi sebagian orang, instalasi karya Anis itu mungkin akan dianggap provokatif atau tidak pantas. Namun, karya tersebut sesungguhnya menyajikan refleksi menarik ihwal keberagaman dan keberagamaan karena mempertemukan ajaran keagamaan dengan hal-hal yang dianggap tercela dan dosa.