Serunya Para Pamong Praja ”Nyantrik” di Museum Anak Bajang
Di Museum Anak Bajang, para pegawai negeri sipil muda diajak belajar untuk bisa memahami, menerima, dan peka terhadap perbedaan di tengah masyarakat. Melalui kebudayaan, mereka mencoba mendalami nilai-nilai keberagaman.
Dalam Pelatihan Teknis Sosiokultural yang digelar Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, 6-12 Desember 2021, para pegawai negeri sipil muda merasakan pengalaman unik nyantrik alias belajar selama dua hari di Museum Anak Bajang di lereng Gunung Merapi. Di sana, mereka berbagi pengalaman tentang perasaan keberagaman, menyaksikan potret mini keberagaman, sekaligus praktik langsung membangun kemajemukan lewat kebudayaan.
Pada hari ketiga dan keempat pelatihan, sebanyak 70 peserta diajak ke Museum Anak Bajang di Kompleks Omah Petroek, Karangklethak, Dusun Wonorejo, Desa Hargobinangun, Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Selama dua hari, mereka menjalani ekskursi kemajemukan dari perspektif keagamaan dan kebudayaan.
Dalam ekskursi kemajemukan dari perspektif keagamaan, Rabu (8/12/2021), seluruh peserta dibagi dalam enam kelompok. Dengan dipandu enam orang edukator, setiap kelompok berkunjung ke Kompleks Sanggar Pamujan Museum Anak Bajang secara bergantian.
Kompleks Sanggar Pamujan merupakan tempat panepen atau menyepi dan berdoa. Kompleks ini meliputi enam tempat beribadah di Indonesia, yaitu Pura Hindu, Panepen Mbok Turah, Candi Slamet, Langgar Tombo Ati, Kelenteng, dan Kapel Saint Petrock.
Keberadaan setiap tempat ibadah ini memiliki cerita sendiri-sendiri. Pura Hindu dibangun oleh komunitas seniman dan budayawan dari Bali di bawah koordinasi perupa Putu Sutawijaya. Di pura ini terdapat patung Ganesha dan Durga yang merupakan hadiah dari sanggar tari dan kelompok di Bali.
Di DIY, Pura Hindu Museum Anak Bajang merupakan satu-satunya yang berada di lereng gunung. Hal itu menjadi semacam nostalgia akan peradaban Hindu, yang sebagian tempat pemujaannya di masa lalu juga berada di lereng gunung.
Adapun Panepen Mbok Turah dimaknai sebagai cikal bakal atau danyang semua. Turah berarti lebih tetapi tidak berlebihan; cukup tetapi turah (sisa) sedikit. Patung Mbok Turah merupakan figurasi interpretatif dari mitos masyarakat sekitar Merapi.
Dalam mitos itu diceritakan ada sosok perempuan dari Gunung Merapi, yaitu Nyai Ageng Sekar Niti, yang menyamar sebagai orang sederhana untuk menolong penduduk desa di lereng Merapi. Sosok Nyai Ageng Sekar Niti digambarkan sebagai tempat orang berkeluh kesah tentang apa pun.
Berikutnya, peserta diajak melihat Candi Slamet di depan bagian bawah patung Mbok Turah. Candi yang dibuat secara manual oleh seniman ini memiliki relief bergambar simbol-simbol agama.
Ada relief Gus Dur naik barongsai sebagai simbol Islam yang bersahabat, relief seorang empu candi dermawan, dan relief seorang pengajar agama Katolik di lereng Merapi dengan salah satu pesan bahwa semua harus belajar bahasa Jawa. Di belakang candi ini diletakkan satu perangkat gamelan bernama ”Kyai Joko” yang secara filosofis bermakna tentrem, karena menabuh gamelan dapat menghadirkan rasa damai.
Salah satu tempat ibadah yang sangat favorit menjadi tempat berfoto ria adalah Langgar Tombo Ati. Di teras langgar ini duduk ”Gus Dur” yang sedang tertawa.
Patung karya seniman Wilman Syahnur itu benar-benar mengobati siapa pun yang kangen dengan sosok ulama sekaligus presiden pejuang pluralisme tersebut. Di sinilah, siapa pun bisa duduk berfoto bersama patung Gus Dur alias Abdurrahman Wahid.
Baca juga : Sajadah Beludru Gus Dur
Di Langgar Tombo Ati, peserta pelatihan bisa melihat sajadah milik Gus Dur yang dibingkai kaca. Beberapa tahun lalu, Ibu Sinta Nuriyah, istri Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, menyerahkan sajadah itu kepada Romo Sindhunata, pengelola Omah Petroek. Sajadah itu dulu dipakai Gus Dur ketika berada di Masjid Ciganjur, baik ketika sedang memberikan tausiah maupun shalat.
Langgar ini juga bercerita tentang Mbah Kentung, figur seorang yang menabuh kentongan ketika waktu shalat tiba. Selain sajadah Gus Dur, langgar ini juga memiliki koleksi kitab dari daun lontar hibah dari keluarga Gus Dur.
Di belakang langgar, berdiri Kelenteng Bio Tjioe Bah Petroek. Kelenteng kecil ini, antara lain, berisi patung Buddha dari berbagai tempat, seperti Manado, Solo, dan Semarang.
Ada pula patung Dewi Welas Asih, Dewi Kwan Im berwarna putih polos yang didatangkan dari Kelenteng Tien Kok Sie Pasar Gedhe Solo. Di dalam kelenteng terdapat tulisan bahasa China, di sebelah kanan bertuliskan, ”Sebelum kamu masuk tempat ini, apakah kamu sudah berbuat baik?”. Sementara itu, di sebelah kiri juga terdapat aksara China yang berbunyi, ”Kalau kamu sudah di dalam liang kubur, tembaga pun (keping uang) tidak bisa kamu lihat”.
Baca juga : Dewi Kwan Im Putih di Lereng Merapi
Setelah melangkah ke sisi selatan kelenteng, para PNS tiba di Kapel Saint Petrock, tempat ibadah umat Katolik. Nama kapel ini diambil dari seorang yang dipandang suci dalam Gereja Katolik di Wales, Britania Raya. Lahir dari keluarga bangsawan yang kaya sekitar abad ke-5, Petrock memilih jalan hidup sederhana sebagai lambang pertobatan.
Petrock sangat mencintai binatang, sebuah sikap suka berbagi untuk mencapai keharmonisan hubungan manusia dengan alam. Di kompleks Kapel Saint Petrock terdapat patung Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus, penuntun jalan bahwa menjadi suci tidak perlu melalui pekerjaan-pekerjaan besar, tetapi dengan melakoni hidup sehari-hari dengan kesungguhan sepenuh hati.
Selain mengunjungi tempat-tempat ibadah, para PNS juga diajak berkunjung ke Omah Jakob untuk mengenal paham ”Indonesia mini” yang diperjuangkan tokoh pers almarhum Jakob Oetama saat mengelola harian Kompas. Kompas menjadi potret Indonesia mini, siapa pun dari agama dan kepercayaan apa pun bisa bekerja di sana. Semuanya diperlakukan setara.
Moderator menjelaskan, secara keseluruhan, Kompleks Sanggar Pamujan menggambarkan figur Anak Bajang sebagai orang biasa yang buruk rupa dan tidak diperhatikan masyarakat. Meskipun demikian, sebagai liyan, manusia yang terpinggirkan berupa sosok Anak Bajang itu tidak pernah berhenti dan melupakan kegiatannya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa di semua bangunan yang ada di Kompleks Sanggar Pamujan.
Melalui meditasi, refleksi, kontemplasi, dan penyadaran diri, figur Anak Bajang mencoba meraih kesempurnaan hidup dalam tingkatan Manunggaling Kawula Gusti. Laku lain yang dikerjakan oleh Anak Bajang untuk mencapai kesempurnaan hidup adalah berbuat baik kepada sesama manusia tanpa memperhatikan suku, agama, kedudukan, pangkat, jabatan, dan kekayaan.
Gamang
Tak dimungkiri, ketika memasuki sejumlah tempat ibadah itu, ada beberapa peserta yang sempat canggung untuk singgah. Meski ada kegamangan, tetapi dalam proses inilah fakta tentang keberagaman bisa dilihat langsung oleh mereka.
”Museum Anak Bajang adalah representasi dari kemajemukan budaya yang berasimilasi dengan agama,” kata Sulaiman, peserta dari Politeknik Negeri Samarinda.
Setelah melihat potret mini keberagaman agama dan kepercayaan, para peserta kemudian berdiskusi tentang dialog lintas agama. Dosen Universitas Gadjah Mada, Tular Sudarmadi, dan Agus Suwignyo selaku moderator membagi peserta dalam dua kelompok dengan didampingi masing-masing dua tokoh agama.
Kelompok pertama dibimbing pemimpin Omah Petroek, Romo Sindhunata, dan Wakil Direktur Akademik Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Zuly Qodir. Sementara kelompok kedua didampingi rohaniwan Katolik, Romo V Kirjito Pr, bersama Syaviq Muqoffi, pengasuh Program Tahfidz Al Quran Pondok Pesantren Al Amin Pabuaran, Purwokerto.
Di setiap kelompok, para PNS diberi kebebasan cerita apa pun tentang hambatan-hambatan mereka dalam menyikapi perbedaan. ”Sebagai ASN sudah seharusnya kita bersikap netral dan obyektif dalam menyikapi perbedaan, karena kita adalah representasi dari negara Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika,” tambah Sulaiman.
Kalau kita mau omong perbedaan, tidak ada selesainya. Sekarang yang terpenting bagaimana kita mau bersama di tengah tantangan bangsa yang semakin banyak.
Menurut Sindhunata, di antara penganut satu agama saja sudah terjadi begitu banyak perbedaan, apalagi antarpenganut agama yang berbeda. ”Kalau kita mau omong perbedaan, tidak ada selesainya. Sekarang yang terpenting bagaimana kita mau bersama di tengah tantangan bangsa yang semakin banyak,” ucapnya.
Di acara itu, mereka bisa bercerita bebas dan saling bercanda. Mereka berdialog apa adanya dan dengan bebas saling mengutarakan permasalahan.
Perbedaan itu sungguh-sungguh nyata dan menjadi masalah, bahkan di dalam agama yang serumpun pun muncul. Ketika masalah-masalah kemanusiaan yang nyata ada di depan mata, banyak orang justru sibuk mempersoalkan masalah perbedaan agama ataupun keyakinan.
Baca juga : Museum Anak Bajang, Ruang Belajar Kearifan Hidup dari yang Dianggap Hina
Praktik kebudayaan
Di hari kedua, para PNS menjalani ekskursi kemajemukan dari perspektif kebudayaan. Jika biasanya mereka menikmati kebudayaan secara pasif dengan menonton aktivitas-aktivitas kebudayaan, kini mereka praktik langsung sebagai pelaku.
Selama dua jam, enam kelompok berlatih sejumlah aktivitas, seperti memainkan gamelan, menari, melukis payung dan caping, menganyam janur, hingga membuat gunungan dari bahan sayur-sayuran. Ketika dijalankan langsung, laku-laku kebudayaan itu tidak mudah seperti yang dibayangkan.
Bermain gamelan secara padu rupanya tidak semudah seperti yang dibayangkan. Siapa pun mesti patuh dengan tempo agar muncul harmoni. Begitu pula saat menari, menyinkronkan gerak bersama ternyata tidak gampang.
”Biasanya nonton di foto atau Youtube, belum pernah bikin seperti ini. Ternyata setelah mencoba rumit juga. Meski rumit, kami senang, ternyata yang tampak biasa dan sepele itu tidak mudah saat dijalankan,” ujar salah seorang peserta lainnya.
Setelah berlatih selama dua jam, semua peserta kemudian bergabung membentuk kirab yang menampilkan masing-masing aktivitas dan kerajinan yang telah mereka latih sebelumnya. Arak-arakan kirab bergerak menuju ke kampung penduduk untuk menyerahkan sedekah bumi berupa gunungan sayur-sayuran.
Di kampung, ibu kepala dusun sudah siap menyambut. Payung-payung kertas dan caping yang telah dihias satu per satu diberikan kepada anak-anak kampung, kemudian gunungan sayuran diletakkan di tengah-tengah halaman untuk diberikan kepada semua warga. Ibu-ibu kampung pun berdatangan. Mereka menerima sedekah bumi dari para pamong praja.
Kepala Museum Anak Bajang Rhoma Dwi Aria Yuliantri mengatakan, ketika menyiapkan kirab sedekah bumi dan menjalankan aktivitas kebudayaan, para peserta sudah tidak tersekat-sekat lagi dengan agama dan suku masing-masing. ”Kita datang ke masyarakat, bukan masyarakat yang diundang ke museum. Ini sebagai tanda bahwa aparatur sipil negara melayani masyarakat, bukan dilayani masyarakat,” terangnya.
Yang terpenting dari proses ini, menurut Rhoma, para PNS benar-benar menjalani aktivitas kebudayaan dari belajar memainkan gamelan, menari, melukis payung dan caping, menganyam janur, hingga membuat gunungan. Selama ini kebudayaan hanya dipertontonkan dan tidak dihayati, tetapi kini mereka mengalaminya sendiri.
Menurut Kepala Pusdiklat Pegawai Kemendikbudristek Amurwani Dwi Lestariningsih, seluruh proses ekskursi kemajemukan, baik dari perspektif keagamaan maupun kebudayaan, di Museum Anak Bajang selaras dengan kompetensi yang ingin dicapai dalam pelatihan teknis Sosiokultural Kemendikbudristek. Dari kegiatan ini, para peserta diharapkan mampu memahami, menerima, dan peka terhadap perbedaan individu/kelompok masyarakat.
Selain itu, mereka juga diajak untuk bisa terbuka dan mau belajar tentang kemajemukan. Dengan demikian, para pamong praja ini semakin mampu bekerja sama dengan individu yang berbeda latar belakang dengannya.
Baca juga : Festival Anak Bajang Ajak Publik Berpengharapan
Proses para PNS nyantrik di Museum Anak Bajang diharapkan betul-betul menjawab keprihatinan nasional. Bagi suatu negara, termasuk Indonesia, partai politik boleh berganti-ganti, tetapi birokrasi harus selalu kuat dan tidak boleh diseret ke mana-mana. Oleh karena itu, netralisme ASN sangat penting untuk pelayanan masyarakat.