Bukan hanya menghindari pengulangan kesalahan di Jakarta, ibu kota negara yang kini disiapkan di Kaltim juga diharapkan dapat menciptakan struktur tatanan sosial yang seimbang. Bukan hanya modern.
Oleh
Nina Susilo
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur perlu memperhatikan kesalahan-kesalahan yang terjadi di Jakarta. Harapannya, ibu kota yang baru tidak hanya mengurangi beban Pulau Jawa, tetapi benar-benar membawa kemajuan dan kemakmuran yang merata.
Hal ini menjadi benang merah dalam konsultasi publik RUU tentang Ibu Kota Negara yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia secara daring dan luring, Selasa (21/12/2021) sore. Diskusi menghadirkan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Teguh Dartanto, Guru Besar Sosiologi UI Prof Paulus Wirutomo, ahli hukum administrasi negara FHUI Harsanto Nursadi, dan Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Velix Wanggai.
Dalam penjelasan Velix Wanggai, pemindahan ibu kota negara diharapkan dapat mempercepat perwujudan visi Indonesiasentris dan mendorong pemerataan pembangunan Jawa dan luar Jawa serta redistribusi sentra-sentra ekonomi.
Dari sisi substansi, RUU IKN mengatur desain pemerintahan otonomi khusus ibu kota negara yang akan dikelola badan otorita. Adapun kepala dan wakil kepala badan otorita ditunjuk presiden untuk masa jabatan lima tahun.
Secara prinsip, ibu kota negara dikelola sebagai sebuah kota dunia untuk semua yang dibangun menjadi kota yang berkelanjutan dan bisa menggerakkan ekonomi nasional. Adapun cakupan area IKN seluas 256.000 hektar dengan wilayah inti pusat pemerintahan 6.000 hektar. Penataan ruang IKN mengacu pada rencana tata ruang wilayah (RTRW) nasional, RTRW Pulau Kalimantan, dan rencana detail IKN.
Selain itu, dalam RUU IKN juga diatur proses pemindahan, tahapan, dan pelaksanaannya. Menurut rencana, pemindahan ibu kota negara akan dilaksanakan pada semester I tahun 2024.
Menanggapi RUU IKN, Harsanto Nursadi memaparkan, aturan ini perlu fokus pada bagaimana pemerintahan akan berlangsung, bukan sekadar mengatur prosedur pemindahan. Oleh karena itu, pasal-pasal harus mengatur hubungan pusat-daerah dan hubungan vertikal-horizontal.
Jangan sampai, ketidakjelasan kewenangan pusat dan daerah terjadi seperti di DKI Jakarta. Dicontohkan pula, pengelolaan ibu kota negara baru dan Kalimantan Timur diperkirakan memiliki anggaran cukup besar. Namun, untuk daerah-daerah sekitarnya, diharapkan tidak terjadi kesenjangan besar. Dengan demikian, perlu ada kebijakan khusus untuk memastikan hal ini tidak terjadi.
Selain itu, diingatkan pula pengaturan rinci mengenai badan otorita yang rencananya akan menjadi pengelola ibu kota negara yang baru. ”Apa IKN boleh memungut pajak dan retribusi daerah? Apa IKN tunduk pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang biasa (UU No 23/2014). Ini juga perlu diatur,” tutur Harsanto.
Dia menambahkan, bentuk badan otorita akan memudahkan eksekusi. Namun, perlu juga sosialisasi yang lebih luas ke masyarakat mengenai bentuk badan otorita sebagai pengelola IKN. Sebab, bisa saja masyarakat bertanya-tanya, misalnya mengenai mengapa IKN tidak memiliki DPRD.
Dari sisi sosiologi, perlu pengaturan perencanaan pembangunan sosial budaya, selain perencanaan ekonomi dan pembangunan fisik.
Berbasis masyarakat
Dari sisi sosiologi, Prof Paulus Wirutomo juga mengingatkan perlunya pengaturan perencanaan pembangunan sosial budaya, selain perencanaan ekonomi dan pembangunan fisik. Penyiapan kehidupan sosial dan budaya yang menyeluruh diperlukan untuk membangun masyarakat yang baik dengan struktur tatanan sosial yang seimbang.
Apabila ibu kota negara yang baru bervisi sebagai kota modern berstandar internasional, keindonesiaan dan penguatan nilai-nilai lokal juga menjadi penting. Jangan sampai tarikan nilai global lebih kuat dan mengulang kekacauan di Jakarta.
Ketika nilai-nilai lokal tidak dikembangkan secara alamiah dan cenderung mengikuti tarikan internasional, seperti di Jakarta, budaya dan nilai lokal terpinggirkan. Masyarakat asli mungkin dilindungi dari kepunahan, tetapi hanya dalam batas konservasi atau pengawetan, bukan dimajukan setara dengan budaya-budaya modern.
Paulus juga menyebutkan kemungkinan adanya akulturasi, adanya budaya yang dominan dari pendatang, sedangkan budaya asli menjadi subordinasi. Hal ini juga bisa mengakibatkan masyarakat lokal yang menjadi aparatur sipil negara (ASN) hanya di tingkat bawah.
”Masyarakat asli hanya menunggu tetesan kemakmuran dan mengulang masalah Jakarta,” kata Paulus.
Selain itu, nilai sosial budaya seperti masyarakat inklusif dan berkeadilan semestinya juga disertakan, tidak melulu mengidamkan nilai smart, green, beautiful, dan sustainable dalam ibu kota negara baru. Tanpa nilai-nilai inklusif dan berkeadilan, menurut Paulus, isu ketidakadilan akan muncul, seperti penguasaan tanah yang dominan dan mulai disuarakan masyarakat setempat.
Untuk itu, didorong terjadi asimilasi, percampuran budaya yang harmonis. Dalam asimilasi, tidak ada budaya yang menang dan kalah, tetapi ada sinergi antara kekuatan ekonomi sosial budaya yang modern dan masyarakat asli.
Untuk itu, Paulus mengusulkan adanya pembangunan berbasis masyarakat (community based development), bukan sekadar smart city yang mengandalkan berbagai instrumen digitalisasi. Pembangunan ini mengembangkan potensi kearifan lokal dan teknologi yang sudah ada secara lokal, kebudayaan setempat, mengembangkan hak-hak tanah secara adat dengan baik, serta mengelola dinamika sosial.
Dengan pembangunan berbasis masyarakat, pemerintah otorita bisa mendorong masyarakat setempat memiliki literasi digital sehingga tak mudah termakan kabar bohong, bisa mendorong musyawarah, serta memiliki sistem peringatan dini berdasar dinamika di masyarakat.
”Jangan mengulang kesalahan yang terjadi di Jakarta. Ekonomi Jakarta sudah sangat anarkistis dan bisa merusak ekosistem sosial. Di ibu kota negara baru seharusnya ini bisa diatur secara struktural,” tuturnya.
Rantai pasok
Sementara itu, dari sisi ekonomi, Teguh menganalisis, pemindahan ibu kota tidak akan membawa dampak pada Jakarta dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka menengah atau panjang, bisa saja Jakarta menjadi seperti Kaifeng, yang pernah menjadi ibu kota China seribu tahun lalu dan kini ranking pembangunan kota tersebut di urutan ke-129 setelah kota-kota lain.
Ibu kota negara yang baru pun perlu didesain dan didukung konektivitas yang baik. Dengan demikian, harapan percepatan pemerataan pembangunan di wilayah luar Jawa betul-betul bisa terwujud.
Ibu kota negara yang baru pun perlu didesain dan didukung konektivitas yang baik. Dengan demikian, harapan percepatan pemerataan pembangunan di wilayah luar Jawa betul-betul bisa terwujud.
Di sisi lain, Provinsi Kaltim dan daerah sekitarnya harus menyiapkan diri. Produktivitas tenaga kerja dan inovasi harus dikuatkan. Rantai pasok untuk mendukung IKN juga perlu disiapkan. Dengan demikian, masyarakat setempat tidak hanya menjadi penonton, tetapi ikut dalam pembangunan.
”Jangan sampai hanya jadi pembangunan di Kaltim, bukan pembangunan Kaltim,” tambah Teguh.