Malaysia Dahului Daftarkan ke UNESCO, Kekayaan Songket Sumsel Didata
Pemerintah menginventarisasi ragam dan perajin songket di Palembang, Sumsel. Langkah ini diambil setelah UNESCO menetapkan songket Malaysia sebagai warisan budaya tak benda.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pemerintah pusat dan daerah bakal menginventarisasi ragam dan perajin songket di wilayah tersebut. Langkah ini diambil setelah Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan songket Malaysia sebagai warisan budaya tak benda. Penetapan ini dinilai merugikan karena budaya menggunakan songket sudah ada, bahkan sejak era Kedatuan Sriwijaya.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Selatan Cahyo Sulistyaningsih, Selasa (21/12/2021), mengatakan, setelah UNESCO menetapkan songket Malaysia sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) dunia, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi segera melakukan pemetaan dan pengumpulan data di sejumlah provinsi penghasil songket, termasuk Sumsel.
Data itu nantinya akan digunakan untuk mendukung upaya pemerintah mengusulkan songket Indonesia sebagai WBTB di UNESCO walau memang pengusulannya tidak akan dalam waktu dekat.
Menurut Cahyo, upaya mendata kekayaan songket sebenarnya sudah dilakukan sejak lama. Proses itu berbuah pada ditetapkannya songket Palembang sebagai WBTB nasional pada 2013. Kemudian pada 2018, pihak Balitbang Kemendikbud datang ke Palembang untuk mendata keragaman songket di Sumsel.
Namun, pemerintah belum bisa mengajukan hasil kajian tersebut lantaran Indonesia dilarang mengajukan kekayaan budaya yang berkaitan dengan kain tenun setelah pada 2015 UNESCO menilai ada pelanggaran hak asasi manusia dalam penggunaan kain tenun di salah satu daerah penghasil kain tenun. Pemerintah daerah tersebut mengeluarkan peraturan daerah yang mewajibkan warganya menggunakan kain tenun itu.
Karena larangan itu, pengajuan usulan kain tenun ke UNESCO baru bisa dilakukan pada 2021. ”Hanya saja, untuk masuk ke dalam daftar tunggu UNESCO, dibutuhkan waktu paling tidak dua tahun,” kata Cahyo.
Sebenarnya pada 2020, pemerintah Indonesia dan Malaysia bersepakat untuk mengajukan songket sebagai shareheritage, karena songket tidak hanya dimiliki oleh satu negara, tetapi beberapa negara berumpun Melayu lainnya, seperti Singapura dan Brunei Darussalam.
Hanya saja, dokumen dari Malaysia sudah siap sehingga mereka lebih dulu mengajukan. Akhirnya, UNESCO menetapkan songket Malaysia sebagai WBTB dalam pertemuan Intergovernmental Committee for Safeguarding Cultural Heritage di Paris, Perancis, Rabu (15/12/2021). ”Ya bisa dibilang kita kecolongan. Tetapi, semoga ini menjadi pelajaran berharga untuk ke depan,” kata Cahyo.
Sumsel memiliki beberapa sentra perajin songket. Selain di Palembang, budaya tenun songket telah ada di beberapa daerah lain, seperti Ogan Komering Ilir dan Ogan Ilir. Bahkan, budaya merajut songket sudah ada sejak lama dan telah berlangsung secara turun-temurun.
Kedatuan Sriwijaya
Budayawan Palembang, Ali Hanafiah, mengatakan, budaya menenun songket sudah berlangsung sejak lama, bahkan diduga sejak zaman Kedatuan Sriwijaya. Budaya menenun ini bermula dari proses perdagangan sutra yang berasal dari Siam dan China serta benang emas dari China dan India. ”Adapun untuk motif berasal dari hasil kreasi warga Palembang sendiri,” katanya.
Seperti asal namanya, songket berasal dari serapan bahasa Melayu, yakni sungkit, yang artinya mengait atau mencungkil. Di Sumsel, songket dikenakan untuk sejumlah acara, seperti upacara kematian, akikah, dan perkawinan.
Sumsel setidaknya memiliki sekitar 50 motif songket, di antaranya jando berais (dikenakan oleh perempuan yang berstatus janda), bungo cino (bangsawan keturunan China), limar mentok (tentang perkawinan sultan di Mentok), dan nago besaung (erat kaitannya dengan kepercayaan keturunan China di Palembang). Namun, kekayaan ini tidak dibarengi dengan literatur yang memadai. ”Semua harus dibuktikan dengan dukungan kajian ilmiah. Ini yang masih kurang,” kata Ali.
Ali tidak mempermasalahkan jika UNESCO menetapkan songket Malaysia sebagai warisan budaya tak benda. Mungkin karena Malaysia sudah lebih siap. Menurut dia, keunikan motif songket milik Indonesia dan Malaysia tentu berbeda. “Semua memiliki ciri khas tersendiri dan setiap orang memiliki perspektif berbeda,” ujarnya.
Arkeolog dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan, Retno Purwanti, mengatakan, cikal bakal songket di Sumsel diduga sudah ada pada masa Kedatuan Sriwijaya pada abad ke-8 hingga ke-9 Masehi. Hal ini dibuktikan dengan peninggalan arca di Candi Bumi Ayu di Sumsel, Candi Mendut di Jawa Tengah, dan Candi Gumpung di Jambi yang dalam reliefnya terdapat motif songket.
Tidak hanya itu, di beberapa makam para sultan dari Kesultanan Palembang Darussalam yang berkuasa pada abad ke-17 hingga ke-19 Masehi juga tertera motif hias seperti songket. Meski begitu, Retno berharap warga Palembang tidak jemawa mengklaim bahwa songket hanya milik Palembang.
Masih ada daerah lain yang juga memiliki kain tenun songket, seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh, Bali, dan Ternate. Bahkan, mungkin songket juga ada di China dan India. ”Memang Palembang memiliki paling banyak motif songket. Itulah alasan songket Palembang lebih dikenal,” kata Retno.
Dia pun berharap warga Palembang tidak perlu gusar dengan penetapan songket Malaysia sebagai WBTB UNESCO. Retno mengingatkan, Indonesia masih mengajukan kain tenun sebagai WBTB ke UNESCO dan songket termasuk di antaranya. Sampai saat ini, kajian terhadap kain tenun masih terus diperbaiki.
Lagi pula, jika dilihat dari syarat UNESCO yang mengharuskan sebuah warisan budaya bisa menjangkau seluruh kalangan masyarakat, kain tenun songket Palembang terbilang sangat mahal dan hanya bisa dijangkau masyarakat menengah ke atas.
Menurut dia, masih banyak hasil karya budaya lain yang berpotensi untuk diusulkan. Retno yang juga menjabat ketua Tim Ahli Cagar Budaya Palembang menyebutkan sangat wajar jika ada kemiripan budaya antara Indonesia dan Malaysia. Alasannya, banyak orang Indonesia tinggal di sana dengan membawa serta budayanya.
”Indonesia masih memiliki kekayaan budaya yang berlimpah dan belum tentu Malaysia memilikinya. Oleh sebab itu, tidak perlu gusar,” ujar Retno.