Kekurangan Dana, Benda Diduga Cagar Budaya di Sumsel Banyak yang Telantar
Ratusan benda diduga cagar budaya di Sumatera Selatan terancam tidak terlindungi lantaran kurangnya dana. Padahal, keberadaan benda-benda tersebut sangat potensial untuk dijadikan obyek pariwisata.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Ratusan benda diduga cagar budaya di Sumatera Selatan terancam tidak terlindungi lantaran kurangnya dana perawatan. Padahal, keberadaan benda-benda tersebut sangat potensial untuk dijadikan obyek pariwisata.
Hal ini mengemuka dalam pertemuan antara pihak terkait dan anggota Komisi X DPR di Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (17/12/2021).
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Selatan Aufa Syahrizal mengatakan, setelah melakukan kajian di beberapa daerah di Sumatera Selatan sejak satu tahun terakhir, banyak benda diduga cagar budaya tidak terlindungi.
Obyek tersebut seperti bangunan bersejarah, arca, dan megalit. ”Memang yang paling banyak megalit yang tersebar di kawasan Lahat, Pagar Alam, Empat Lawang, Penukal Abab Lematang Ilir, dan Muara Enim. Obyek tersebut tersebar di beberapa titik, bahkan di dalam kawasan hutan,” katanya.
Dari hasil penelusuran tim ahli cagar budaya (TACB) Sumatera Selatan ditemukan banyak situs diduga cagar budaya yang ”berserakan” tanpa perawatan. Jika situasi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin benda tersebut akan hilang atau bahkan rusak karena ulah manusia.
Padahal, perlindungan benda diduga cagar budaya merupakan hal yang perlu dilakukan. Apalagi di Sumsel yang memiliki kekayaan sejarah yang melimpah. Aufa mengakui selama ini dana dari pemerintah pusat untuk pelestarian benda cagar budaya di Sumatera Selatan sangat minim.
”Kami melakukan kajian di lapangan juga harus memperhitungkan dana yang tersedia. Bahkan, kami harus merogoh kantong pribadi. Yang penting ada hasilnya dulu,” ujarnya.
Oleh karena itu, Aufa berharap agar ada tambahan dana dari pemerintah pusat untuk pelestarian cagar budaya di Sumsel. ”Karena memang potensi benda cagar budaya di Sumsel cukup besar. Untuk warisan budaya tak benda saja ada 46 obyek, kalau yang benda jumlahnya bisa ratusan,” ujarnya.
Kami melakukan kajian di lapangan juga harus memperhitungkan dana yang tersedia. Bahkan, kami harus merogoh kantong pribadi. Yang penting ada hasilnya dulu. (Aufa Syahrizal)
Ironisnya, banyak warga yang tidak tahu jika benda yang mereka temukan memiliki potensi untuk dijadikan cagar budaya. Akhirnya mereka merusak benda tersebut. Obyek benda bersejarah pun hilang.
Hanya saja, lanjut Aufa, pemerintah daerah tidak memiliki dana untuk melakukan perawatan. ”Dana APBD, baik provinsi maupun kabupaten/kota terbatas. Kami juga melakukan penelitian di lapangan terkadang memakai dana sendiri,” kata Aufa yang juga menjadi Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi Sumatera Selatan.
Tim pun tidak bisa berbuat banyak karena memang fungsi dari TACB hanya mengeluarkan rekomendasi terhadap sebuah benda atau situs diduga cagar budaya berdasarkan hasil kajian di lapangan. ”Keputusan termasuk alokasi dana semua tergantung dari pemerintah daerah masing-masing,” kata Aufa.
Sebelumnya, Staf Khusus Bidang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Bupati Lahat, Maryoto, mengatakan, secara keseluruhan, jumlah arca megalit di Lahat mencapai 1.002 buah. Tinggalan itu tersebar di 66 situs di 52 desa. Jumlah tersebut kemungkinan besar bertambah karena masih banyak tinggalan yang belum ditemukan. Bahkan, ada sejumlah megalit baru ditemukan dua minggu lalu.
Ragam bentuknya sangat kaya, kata Maryoto, mencapai 15 jenis. Sebagai perbandingan, secara keseluruhan ada lebih kurang 21 ragam jenis megalit di Indonesia. ”Jadi, julukan ’Negeri Seribu Megalit’ untuk Lahat tidak hanya klaim belaka,” kata Maryoto.
Temuan ini membuat Lahat menjadi daerah dengan jumlah megalit terbanyak di area Pasemah. Sebagai perbandingan, Kota Pagar Alam hanya memiliki 15 situs dan Empat Lawang 9 situs. Ke depan, upaya perlindungan bakal terus dilakukan, termasuk membentuk tim ahli cagar budaya.
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih mengakui, kondisi keuangan daerah tentu tidak cukup untuk mendanai perawatan atau perlindungan dari seluruh benda diduga cagar budaya di Sumsel.
Memang tahun ini Kementerian Pariwisata memiliki anggaran sekitar Rp 3,9 triliun serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi memiliki anggaran Rp 72 triliun. Namun, ada sektor-sektor tertentu yang harus dibiayai. ”Tentu kementerian sudah memilah sesuai dengan prioritasnya,”ucapnya.
Karena itu, ujar Abdul, pemerintah daerah harus pintar-pintar mengelola dana yang ada agar dapat digunakan untuk menunjang pelestarian benda cagar budaya. Termasuk bekerja sama dengan pihak luar dalam mengembangkan obyek cagar budaya yang sudah ada untuk pengembangan wisata sejarah.