Kurangi Perburuan Harta Karun, Sungai Musi Diusulkan Jadi Kawasan Cagar Budaya
Sungai Musi bisa diusulkan menjadi kawasan cagar budaya untuk melindunginya dari praktik perburuan harta karun oleh para penyelam. Namun, butuh kajian panjang untuk menentukan nilai penting dari keberadaan sungai.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sungai Musi di Sumatera Selatan bisa diusulkan menjadi kawasan cagar budaya untuk melindunginya dari praktik perburuan harta karun oleh para penyelam. Namun, untuk merealisasikan hal itu perlu ada kajian lebih lanjut untuk memastikan nilai penting dari Sungai Musi, termasuk menentukan titik mana yang bisa diusulkan untuk menjadi kawasan cagar budaya.
Hal ini disampaikan Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Kota Palembang Retno Purwanti, Rabu (3/11/2021). Wacana itu dilontarkan untuk mengantisipasi maraknya perburuan barang antik di sepanjang Sungai Musi. Retno mengatakan, dengan dijadikan sebagai cagar budaya, kawasan Sungai Musi akan lebih terlindungi sehingga aktivitas itu bisa dikurangi.
Namun, untuk merealisasikannya perlu kajian lebih dalam, termasuk di antaranya menentukan nilai penting di Sungai Musi. ”Ada tujuh jenis nilai penting yang perlu dipenuhi, antara lain nilai penting sejarah, pendidikan, budaya, agama, dan lainnya,” katanya.
Tidak hanya itu, harus ditentukan bagian mana dari Sungai Musi yang akan dijadikan kawasan cagar budaya, termasuk panjang dan lebarnya dan semua harus detail. Prosesnya juga membutuhkan waktu yang sangat panjang.
Yaang terpenting dari pelestarian Sungai Musi adalah kesadaran masyarakat dan peran aktif pemerintahnya untuk melindungi keberadaan Sungai Musi. ”Jika kesadaran itu sudah muncul, pasti akan ada jalan keluar,” katanya.
Dia mencontohkan tingginya kesadaran masyarakat Sangiran, Jawa Tengah, yang tetap menjaga situsnya agar tidak rusak. Alhasil, tidak ada konflik yang terjadi. Sebaliknya, ada kerja sama yang baik antara masyarakat dan pemerintahnya untuk sama-sama melindungi situs Warisan Budaya Dunia dari UNESCO itu.
Ketika ada masyarakat yang menemukan fosil, mereka tidak menjualnya ke luar, tetapi melaporkannya untuk dicatat. Jika dinilai memiliki nilai penting, pemerintah akan memberikan kompensasi sesuai harga yang telah ditetapkan. ”Jika ini diterapkan di Sungai Musi, mungkin tidak akan ada lagi temuan di Sungai Musi yang tidak tercatat atau bahkan dijual bebas tanpa diketahui asal-usulnya,” jelas Retno.
Ketua Komunitas Pecinta Antik Kreatif Sriwijaya Himeryudi menuturkan, melarang masyarakat untuk melakukan penyelaman bukanlah pilihan bijak karena aktivitas pencarian tinggalan masa lalu di Sungai Musi sudah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum Undang-Undang Cagar Budaya diterbitkan. ”Karena itu, perlu ada jalan tengah yang menguntungkan semua pihak,” ucapnya.
Dengan menetapkan kawasan Sungai Musi sebagai kawasan cagar budaya, tidak serta-merta menghentikan aktivitas penyelaman selama tidak ada pekerjaan alternatif bagi para pencari barang antik. ”Karena mereka menganggap ini sudah menjadi mata pencarian mereka sejak lama. Bahkan, ada beberapa dari penyelam yang sudah melakukan aktivitasnya sejak 30 tahun lalu,” kata Himeryudi.
Karena itu, perlu ada komunikasi antara pemerintah dan penyelam sehingga temuan yang berasal dari Sungai Musi tetap terjaga. Misalnya, pemerintah secara berkelanjutan melakukan sosialisasi kepada para penyelam mengenai hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. ”Sebenarnya para penyelam membuka diri. Hanya pemerintah saja yang tidak pernah mau datang,” kata Himeryudi.
Menurut Himeryudi, aktivitas masyarakat ini hanya terjadi di beberapa titik. Jika ada kolaborasi yang baik, bisa dijadikan potensi pariwisata. ”Jangan jadikan penyelam sebagai musuh, tetapi menjadi mitra,” ujarnya.
Kepala Dinas Kebudayaan Kota Palembang Agus Rizal menjelaskan, aktivitas penyelaman di Sungai Musi tanpa izin telah melanggar Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya. Pada Pasal 24 ada larangan penggalian, penyelaman, pengangkatan di darat dan di air pada benda diduga cagar budaya, terkecuali dengan izin pemerintah kota.
Namun, Agus mengakui belum ada sosialisasi mengenai perda ini karena terkendala pandemi. Ia pun berkomitmen akan menyosialisasikan ini kepada masyarakat agar praktik ini dapat diminimalisasi. ”Kami juga masih menggodok peraturan teknis melalui peraturan turunan dari perda tersebut,” katanya.
Kepala Seksi Permuseuman dan Cagar Budaya Dinas Kebudayaan Kota Palembang Nyimas Ulfa mengakui, sampai saat ini belum ada bagian dari Sungai Musi di Palembang yang dijadikan kawasan cagar budaya. ”Kami masih mempertimbangkan hal itu karena memang sungai ini masih menjadi jalur utama transportasi masyarakat,” katanya.
Sebagai langkah awal, ungkap Ulfa, akan dilakukan deleniasi dan zonasi untuk memastikan bagian mana dari Sungai Musi yang bisa diusulkan menjadi cagar budaya.