Toleransi pada Masyarakat Sumsel Telah Mengakar sejak Dulu
Toleransi sudah mengakar pada warga Palembang sejak dulu ketika Kedatuan Sriwijaya berdiri. Sikap itu dipelihara hingga kini sehingga konflik berbau SARA jarang terjadi di Palembang.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Toleransi telah menjadi akar kehidupan warga Palembang sejak dulu, sejak Kedatuan Sriwijaya berdiri. Sikap itu terbawa hingga kini pada masyarakat Palembang yang telah terbiasa dengan keragaman. Oleh karena itu, di Sumatera Selatan jarang terjadi konflik yang berbau SARA.
Hal ini mengemuka saat Koordinator Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sriwijaya Syarifuddin menjadi pembicara di kelas daring Etnisitas yang bertemakan ”Multikultur di Palembang Mozaik Etnik dari Sumatera Selatan”, Kamis (3/11/2021). Hadir dalam pertemuan tersebut Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (USU) dan mahasiswa pascasarjana Ilmu Sejarah USU.
Syarifuddin menjelaskan, toleransi di ”Bumi Sriwijaya” telah terbentuk sejak dulu karena Kota Palembang sudah menjadi kota dagang. Banyak pedagang dari Arab, India, dan China datang ke Sriwijaya untuk berdagang sejumlah komoditas.
Dari aktivitas itu, terjadilah pembauran antara para pedagang dan masyarakat lokal yang membuahkan sikap toleransi. Lambat laun, pembauran ini bukan sekadar soal berdagang, melainkan juga terjadi proses kawin-mawin yang pada akhirnya terbentuklah akulturasi budaya.
”Para pedagang itu tidak membawa serta istri atau keluarganya sehingga mereka melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal,” ucap Syarifuddin.
Tidak hanya sektor niaga, dalam bidang pendidikan, ujar Syarifuddin Sriwijaya juga menjadi kiblat pendidikan agama Buddha dan pengajaran bahasa Sanskerta. Bahkan, ada kegiatan pengiriman/pertukaran pelajar dari Sriwijaya ke Nalanda, India.
Dari sisi hubungan internasional, ungkap Syarifuddin, Sriwijaya juga membina hubungan baik dengan negara lain. Salah satunya dengan kekhalifahan Bani Umayyah di Jazirah Arab. Hal itu tertulis dalam sumber sejarah yang mencatat adanya surat yang dikirimkan Raja Sriwijaya kepada penguasa Dinasti Umayyah pada abad ke 7-9 Masehi. Surat pertama berisikan tentang keberadaan Raja Sriwijaya.
Sriwijaya juga menjadi kiblat pendidikan agama Buddha dan pengajaran bahasa Sanskerta.
Kemudian Raja Sriwijaya kembali mengirimkan surat yang berisikan tentang permintaan agar penguasa Umayyah mengirimkan mubalig sebagai penasehat raja. Pada zaman itu diperkirakan sudah banyak pedagang Muslim yang berdagang di Sriwijaya.
Saat itu, ujar Syarifuddin, selain Buddha sebagai agama utama dalam Kedatuan Sriwijaya, masyarakat juga menganut beberapa agama lain, seperti Hindu dan Islam. Hal ini juga terlihat dari sejumlah bangunan berupa candi yang bercorak Hindu, seperti Candi Bumi Ayu di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir.
Bahkan, ucap Syarifuddin, masyarakat di kawasan uluan, masih menganut agama kepercayaan. ”Pengaruh Islam baru masuk ke kawasan uluan pada awal abad ke 20,” ucapnya.
Dari keberagaman ini terbentuk sejumlah kebudayaan baru, seperti berbaso Palembang, kain, bangunan, dan makanan. Oleh karena masyarakat Palembang sudah terbiasa dengan keberagaman, konflik yang berkaitan dengan SARA pun sangat jarang terjadi.
Sebelumnya, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Sumatera Selatan Farida Wargadalem mengatakan, sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya sudah mengedepankan sikap keterbukaan terhadap pendatang. Hal ini mengakar hingga kini. Keterbukaan itu kian terasa di Palembang yang memang menjadi lokasi pertemuan antara warga di uluan dan warga asing dari beberapa negara.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengatakan, ada sekitar sembilan suku besar di Sumatera Selatan. Mereka berada di daerah aliran sungai besar Batanghari Sembilan. Dari suku tersebut muncul juga setidaknya sembilan bahasa. Namun, perbedaan ini tidak menjadi halangan untuk tetap bersatu, melainkan menjadi kekayaan budaya yang harus tetap dilestarikan.