Tahun 1960, jalan Trans-Kalimantan kali pertama dibangun dengan mimpi besar membangun ibu kota di Pulau Borneo. Kini, 61 tahun kemudian, konektivitas mulai terbangun, tapi masih ada pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan
Oleh
DIONOSIUS REYNALDO TRIWIBOWO/EMANUEL EDI SAPUTRA/JUMARTO YULIANUS/SUCIPTO/BRIGITA MARIA LUKITA)
·6 menit baca
Jaelani (45), seorang sopir travel, menggerutu saat mobil sedan miliknya menembus jalan berlumpur di Bukit Rawi, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Jalan berlumpur itu membuat pantat sedan Jaelani hampir terperosok ke rawa di sebelah kanan jalan.
Jalan nasional itu berlumpur dan berlubang di mana-mana sejak banjir setiap tahun menerjang. Bahkan, pada November 2021, Jalan Trans-Kalimantan bagian utara itu terputus tak bisa dilalui karena ketinggian banjir hingga 155 sentimeter.
”Gak mau jalan, nanti gak dapat uang. Mau kerja, jalannya kayak begini,” gerutunya diakhiri helaan napas. Kompas menemuinya saat sedang beristirahat di pinggir jalan seusai melewati jalan berlumpur pada Jumat (10/12/2021).
Jalur Bukit Rawi yang jaraknya 22 kilometer dari Kota Palangkaraya merupakan salah satu titik jalur yang rusak di Trans-Kalimantan di bagian utara. Kerusakan sudah terlihat sekitar 500 meter dari Jembatan Sei Lais.
Jalur ini penting karena menghubungkan enam kabupaten di Kalteng. Jalan itu jauh berbeda dengan Jalan Trans-Kalimantan di Kalteng bagian selatan dan di Kalimantan Barat yang sudah tergolong baik.
Di Kalbar, Trans-Kalimantan membentang dari Pontianak melintasi sebagian Kabupaten Kubu Raya, Sanggau, dan Ketapang. Trans-Kalimantan tersebut merupakan koridor lintas selatan yang telah beraspal sejak 2008. Kini kondisi jalan nasional itu masih baik.
Kondisi serupa terlihat di Trans-Kalimantan lintas utara Kalsel sampai ke perbatasan Kaltim. Tak terlihat ada aspal mengelupas. Jembatan Sei Salim di Kecamatan Mataraman, Kabupaten Banjar, yang putus diterjang banjir pada Januari 2021 juga sudah diperbaiki.
Jalan tak mulus justru terlihat di lintas selatan Kalsel. Antara Kabupaten Tanah Laut dan Tanah Bumbu masih dijumpai aspal yang mengelupas dan berlubang-lubang di sejumlah titik.
Adapun jalur Kalimantan Selatan menuju Balikpapan, Kalimantan Timur, sudah beraspal sejak lama. Bahkan, trayek bus Balikpapan-Kalimantan Selatan dan sebaliknya sudah tersedia. Pemerintah juga telah membangun tol sejauh 97,4 km yang menghubungkan Balikpapan dan Samarinda.
Dongkrak ekonomi
Kondisi jalan Trans-Kalimantan berdampak pada ekonomi masyarakat. Di jalur yang mulus, jejaring ekonomi masyarakat menengah ke bawah tumbuh.
Johanes Iwan (42), warga Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, mengatakan, sebelum tahun 2008, jarak tempuh dari Simpang Ampar (Kabupaten Sanggau) menuju Balai Berkuak, ibu kota Kecamatan Simpang Hulu, berjarak 80 km butuh waktu tiga hari tiga malam. ”Untuk menempuh Trans-Kalimantan harus berbekal peralatan masak sebab pasti bermalam di jalan kala itu,” kata Iwan.
Sejak jalan Trans-Kalimantan selesai diaspal, waktu tempuh menjadi satu setengah jam. Biaya angkut menjadi murah. Masyarakat juga bisa menikmati harga barang tertentu lebih mudah. Misalnya, harga semen, sebelum jalan diaspal, mencapai Rp 100.000 per zak, kini hanya sekitar Rp 60.000 per zak.
Habibi (45), sopir mobil yang mengangkut ikan dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, menuturkan, dari Banjarmasin ke Pontianak kini hanya tiga hari tiga malam. Sebelum Trans-Kalimantan diaspal, angkutan ekspedisi bisa berminggu-minggu baru tiba di Pontianak.
Sebaliknya, di daerah yang jalurnya masih rusak, kehidupan warga jadi tak mudah. Pengemudi truk-truk besar, misalnya, mengadu nyawa di Tanjung Karitak, Kalteng, karena salah satu ruas jalan yang rusak berada di daerah tanjakan.
Untuk menempuh Trans-Kalimantan harus berbekal peralatan masak sebab pasti bermalam di jalan kala itu.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kalsel YM Sri Kusminingsih mengatakan, masih ada kerusakan jalan di sejumlah titik yang menghambat kelancaran arus transportasi. ”Kami berharap ruas jalan yang rusak bisa segera diperbaiki sebab jalan Trans-Kalimantan adalah urat nadi perekonomian dan jalur penting untuk menuju ibu kota baru,” ujarnya.
Rencana dibangunnya ibu kota baru juga membuat pelaku usaha di Kalsel sangat antusias. Mereka akan lebih antusias lagi jika Trans-Kalimantan mulus.
Bupati Tabalong, Kalsel, Anang Syakhfiani mengatakan, jika ibu kota negara di Kaltim diresmikan pada 2024, mereka masih punya waktu untuk menyiapkan diri menjadi daerah penyangga ibu kota. ”Kami ingin betul-betul menjadi daerah yang produktif dan bukan sebagai penonton, melainkan sebagai pemain,” kata Anang.
Masalah perbatasan
Tak hanya warga di Trans-Kalimantan yang butuh diperhatikan konektivitasnya, warga di perbatasan negara pun butuh perhatian. Warga di wilayah Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, sejak 76 tahun Indonesia merdeka masih tak terkoneksi akses darat dengan wilayah Indonesia lain.
Selama itu pula, warga di dataran tinggi Krayan bergantung pada pasokan kebutuhan pokok dan penting dari Sarawak, Malaysia. Warga kerap berseloroh tentang kondisi itu, ”Garuda di dadaku, macan (simbol Malaysia) di perutku.”
Selain itu, warga Dayak Lundayeh di sana yang sebagian besar bertani menjual beras adan dan garam gunung khas Krayan ke Malaysia. Sebab, wilayah itu hanya tersambung jalur darat ke Negeri Jiran tersebut. Namun, hal itu sulit dilakukan karena Malaysia mengunci negaranya akibat penyebaran Covid-19.
Nasib lebih baik dirasakan warga perbatasan di sisi barat. Di Dusun Badat Baru, Desa Suruh Tembawang, sekitar 59 km dari ibu kota Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, warga sudah bisa menjangkau Entikong hanya dalam waktu tiga jam. Sebelum jalan paralel ada, mereka harus menghabiskan 3 jam untuk menuju pusat desa dan dilanjutkan 10 jam ke Entikong.
Garuda di dadaku, macan (simbol Malaysia) di perutku.
Pembangunan berlanjut
Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Hedy Rahadian mengatakan, pembangunan Trans-Kalimantan terus berlanjut dengan penuntasan ruas jalan Merbau-Tebas sepanjang 90,8 km di Kalbar. Ruas ini tersambung dengan jalan nasional Temajuk-Merbau, Tebas-Singkawang, dan Sambas-Tebas.
Adapun penyelesaian ruas jalan yang belum tersambung di Provinsi Kalimantan Tengah memiliki total panjang 179,25 km, dengan alokasi anggaran tahun 2022-2024 sebesar Rp 393,94 miliar.
Selain menyelesaikan Trans-Kalimantan, pemerintah berencana membangun jalan bebas hambatan di Pulau Kalimantan sepanjang 3.111,72 km. Adapun ruas tol yang telah selesai dan beroperasi adalah Tol Balikpapan-Samarinda sepanjang 97,26 km.
Pembangunan jalan tol yang masuk dalam tahap perencanaan, di antaranya adalah Jalan Tol Samarinda-Bontang sepanjang 94 km. Selain itu, jalan tol akses ibu kota negara (IKN) baru sepanjang 77,14 km, sebagai dukungan konektivitas terhadap IKN yang direncanakan beroperasi pada periode 2020-2024. Saat ini, pengembangan jalan tol akses IKN masih dalam tahap studi kajian awal.
Pihaknya kini masih mengkaji sejauh mana keuangan negara memungkinkan untuk melanjutkan proyek Tol Trans-Kalimantan. Apabila pembangunan tidak selesai hingga berakhirnya periode pemerintahan Presiden Joko Widodo pada 2024, diharapkan bisa dilanjutkan pada periode berikutnya setelah tahun 2024.
Adapun di perbatasan. Di Kalimantan timur dan Kalimantan Utara, jalan perbatasan diupayakan tembus sampai ke pos lintas batas negara (PLBN), dengan usulan sumber pembiayaan dari APBN dan pinjaman dari Bank Pembangunan Asia (ADB).
Pihaknya juga sedang mencari sumber pembiayaan untuk menembus isolasi desa terakhir yang belum tersentuh jalan, yakni Desa Tanjung Lokang yang terisolasi di wilayah perbatasan, Kalimantan Timur. Pembukaan akses jalan itu direncanakan sepanjang 120 km, dan kini sudah terealisasi sekitar 40 km.
”Kami ingin menembus itu agar menjadi jalur logistik. Sebab, ada beberapa desa yang betul-betul bergantung pada Malaysia, dan ini kurang sehat. Tujuannya, masyarakat di perbatasan betul-betul merasa menjadi warga Indonesia,” kata Hedy.
Dosen Politik Pembangunan Universitas Palangka Raya (UPR), Paulus, berharap, pembangunan konektivitas di Kalimantan, terutama IKN, nanti harus melibatkan masyarakat adat dan menghindari wilayah adat, apalagi wilayah konservasi.
”Pembangunan jalan tidak boleh hanya dinikmati oleh elite pusat sampai elite kampung saja, pembangunan harus dirasakan semua. Pembangunan harus mendengarkan suara masyarakat,” kata Paulus.
Bukan perkara mudah membangun konektivitas di Pulau Kalimantan, tetapi mau tak mau hal itu harus dilakukan. Apalagi kini Kalimantan menyandang gelar sebagai pulau tempat calon ibu kota negara baru.