Ribuan Jurus Hadapi Kekerasan terhadap Perempuan
Predator seksual kini semakin buas menerkam mangsanya. Semua terjadi saat pemahaman seksual masih rendah dan tidak ada payung hukum ideal menyikapi hal ini.
Inayah Wahid pernah kesal bukan main. Rencananya bertemu kawan lagi-lagi batal. Temannya dilarang keluar. ”Kata bapaknya, perempuan ngapain keluar malam-malam? Apalagi, kalau pakai baju kelihatan auratnya. Enggak boleh,” ujarnya sembari mengembuskan napas.
Tidak seharusnya perempuan keluar rumah. Sebab, semua yang ada dalam diri perempuan itu disebut aurat, termasuk suaranya. Jika perempuan diam, katanya, itu bukan meditasi, melainkan sedang menjaga aurat.
”Saya bisa bayangin surga pasti tempatnya sepi karena semua pendiam. Kalau yang berisik kayak saya udah pasti masuk neraka,” ucap Inayah yang mengenakan baju lengan panjang bermotif abstrak, celana jins, serta rambut dikuncir kecil di kedua sisi.
Sambil duduk, Inayah meluapkan kegeramannya karena perempuan dibatasi banyak hal, seperti yang dialami temannya. Namun, anak perempuan Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini heran karena ayahnya tak pernah menghalanginya keluar malam.
Bahkan, suatu malam, Gus Dur yang baru pulang kaget melihat Inayah di rumah. ”Ini jam berapa,” tanyanya. ”Jam 10 malam,” balas Inayah. ”Lho kok kamu sudah sampai rumah?” ayahnya menimpali. ”Lho, siapa bilang? Ini baru mau berangkat,” katanya. Tawa penonton pun pecah.
Baca juga : Utamakan Masa Depan Santri Korban Pemerkosaan Gurunya di Kota Bandung
Begitulah petikan monolog Inayah dalam acara Diversity Award 2021, Minggu (12/12/2021), di Jakarta. Penghargaan untuk karya jurnalistik yang menyuarakan isu keberagaman itu digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) dan didukung Norwegian Embassy Jakarta.
Lewat monolog, pegiat seni ini mengajak siapa pun berefleksi tentang posisi perempuan yang kerap disalahkan meski menjadi korban. Misalnya, ketika diperkosa, perempuan kerap dituding tidak mampu menjaga diri, keluar malam, dan lainnya.
Alasan klasik
Monolog Inayah siang itu juga seperti menggambarkan ironi perempuan yang kian rentan akhir-akhir ini. Di Bandung, Jabar, Herry Wirawan (36), guru di sekolah berasrama berbasis agama, melakukan kekerasan seksual kepada 13 murid perempuan.
Saat kejadian, korban yang berasal dari keluarga tak mampu itu masih berusia 13-16 tahun. Herry beraksi pada periode 2016-2021 dan berujung lahirnya sembilan bayi. Saat ini, pelaku sudah diseret ke meja hijau dan didakwa 20 tahun penjara. Ada juga opsi hukuman kebiri.
Di Depok, Jabar, MMS (52), seorang guru agama, ditangkap polisi atas dugaan kekerasan seksual kepada 10 murid perempuan berusia 10-15 tahun. Di Palembang, Sumatera Selatan, dua dosen berinisial AR (34) dan RG (36) dinonaktifkan karena kasus kekerasan seksual.
Berbagai kasus tersebut menunjukkan kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, termasuk institusi pendidikan. Pengasuh Pondok Pesantren Kebon Jambu Babakan Cirebon Nyai Awanilah Amva menilai, pelaku kekerasan seksual di lingkungan pendidikan acap kali menggunakan dalih ketaatan murid terhadap guru.
Ketaatan seharusnya membuahkan kebaikan, bukan untuk melukai orang lain.
”Misalnya, kalau santri tidak menuruti permintaan gurunya, dianggap tak taat. Terus, nanti (diancam) ilmunya tidak bermanfaat. Ini alasan klasik,” kata Awanilah yang mengasuh lebih dari 1.000 santri dan santriwati.
Itu sebabnya, pihaknya mengajak santri dan guru memahami keadilan jender untuk mencegah kekerasan seksual. Pemahaman semua orang harus menerima perlakuan adil dan tidak diskriminatif berdasarkan identitas jender itu, katanya, akan membangun pikiran kritis tentang ketaatan.
”Santri akan berpikir, ketaatan yang seharusnya seperti apa? Yang pasti bukan seperti itu (kekerasan seksual),” ucapnya. Ketaatan, katanya, seharusnya membuahkan kebaikan, bukan untuk melukai orang lain.
Singa dan daging
Perempuan ulama Nyai Masriyah Amva juga pernah mengadili seorang guru yang hampir melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan di sebuah pesantren. Pria itu berniat berbuat bejat dengan dalih hasratnya tinggi, sedangkan istrinya lelah karena harus mencari uang, masak, dan mengurus anak.
Nyai Masriyah tidak menyalahkan sang istri, tetapi justru memarahi si suami. ”Seharusnya para lelaki yang tinggi nafsunya (seksual) hendaklah berpuasa. Jangan memaksa perempuan,” ujarnya.
Islam, lanjutnya, telah mengajarkan bagaimana penghormatan laki-laki terhadap perempuan. ”Pria idaman itu adalah yang paling baik akhlaknya terhadap perempuan,” katanya lantang mengutip pesan Rasulullah.
Baca juga : Perkosa 12 Siswa, Guru Pesantren di Bandung Terancam 20 Tahun Penjara
Peraih SK Trimurti Award 2014, penghargaan untuk pejuang hak asasi manusia, ini menyampaikan hal itu dalam Peringatan 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan itu digelar bertajuk ”Orange the World Express Your Orange: Panggung Perempuan” di Ponpes Kebon Jambu, Jumat (10/12).
Faqihuddin Abdul Kodir, aktivis jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), menilai, kekerasan seksual tidak lepas dari relasi kuasa, entah itu ilmu atau jabatan. Pemilik kuasa merasa berhak berbuat apa saja, termasuk memerkosa.
Laki-laki diibaratkan singa, sedangkan perempuan hanyalah daging. ”Jadi, kalau ada kekerasan seksual, salahnya daging karena dekat-dekat dengan singa. Mengapa laki-laki jadi singa dan perempuan itu daging? Laki-laki dan perempuan kan sama-sama manusia,” ucapnya.
Seharusnya, katanya, karena punya libido tinggi bak singa, gerak laki-laki dibatasi. Istilahnya mengurung singa, bukan malah mengekang perempuan. Pembatasan itu bisa berupa pengawasan masyarakat hingga aturan hukum.
Faktanya, menurut Ketua Majelis Musyawarah KUPI Nyai Badriyah Fayumi, korban kekerasan seksual selalu dipersalahkan di berbagai jenjang. Sejak berhadapan dengan pelaku, korban tidak berdaya. Di mata keluarga, korban dianggap aib.
”Lalu, ketika peristiwa dilaporkan, aparat justru menyalahkan perilaku dan pakaian korban,” ucap Nyai Badriyah dalam pernyataan sikap Jaringan KUPI dan Jaringan Masyarakat Peduli Darurat Kekerasan Seksual. Jaringan tersebut didukung sekitar 300 organisasi, pesantren, lembaga, dan komunitas di Indonesia.
Jaringan tersebut mengajak pemuka agama, tokoh masyarakat, hingga media mewujudkan sistem pendukung pencegahan kekerasan seksual. Terkhusus kepada DPR dan pemerintah agar segera memenuhi amanat konstitusi dengan menyusun sistem perlindungan hukum yang memberikan keadilan kepada korban hingga mencegah kekerasan berulang.
Sayangnya, perlindungan hukum itu belum terwujud sepenuhnya. Sebab, Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU TPKS gagal disetujui menjadi RUU inisiatif DPR. ”RUU TPKS ini memang belum menjamin kasus kekerasan seksual hilang. Tetapi, setidaknya berkurang dan semua lembaga tahu apa tugasnya,” kata Faqihuddin.
Tidak kalah penting, lanjutnya, pendekatan kultural. Seperti acara tadarus subuh yang digelar Faqihuddin terkait dengan perempuan dan Islam, pengajian tentang pentingnya perempuan oleh Nyai Awanilah, doa bersama untuk keselamatan bangsa dari kekerasan seksual oleh KUPI hingga monolog Inayah.
”Salah satu indikator adanya sistem pendukung pencegahan kekerasan seksual secara sosial adalah ketika siulan godaan kepada perempuan atau cat calling tidak lagi dianggap bukti kenjantan, tetapi sebagai pelecehan seksual,” kata penulis buku Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah! ini.
Baca juga : Alasan Penundaan Persetujuan RUU TPKS di Paripurna DPR Tak Dapat Diterima