Utamakan Masa Depan Santri Korban Pemerkosaan Gurunya di Kota Bandung
Pemerkosaan yang dilakukan guru terhadap 12 muridnya di Madani Boarding School begitu menyesakan dada. Mitigasi mencegah hal yang sama terulang lagi harus segera disusun seksama.
Pemerkosaan yang dilakukan guru terhadap muridnya di lingkungan Madani Boarding School, Kota Bandung, Jabar, memukul rasa kemanusiaan banyak pihak. Hukuman maksimal harus ditegakkan. Masa depan korban butuh perhatian. Mitigasi mesti dilakukan mencegah hal serupa terjadi lagi.
Kamis (9/12/2021), bangunan berkelir biru muda dengan pagar dilabur cat kuning-biru itu sunyi. Berada di Perumahan Yayasan Margasatwa, Cibiru, hanya mendung yang menemani sore itu. Muram itu mirip wajah sebagian warga yang tinggal di sekitar gedung yang kini tidak terawat itu.
Kelakuan HW (36), pemimpin sekaligus guru di sana membuat warga muak. HW didakwa memerkosa 12 anak didiknya dalam kurun 2016-2021. Dari aksinya, empat orang di antaranya melahirkan sembilan bayi. Korban yang saat kejadian masih berusia 13-16 tahun kini trauma berat.
HW diancam pidana dengan Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak. Ada pemberatan hukuman karena dia adalah tenaga pendidik sehingga ancamannya menjadi 20 tahun penjara. Opsi hukuman lain, seperti kebiri, masih dipertimbangkan.
”Saya pikir dia alim, ternyata iblis,” umpat Kokom (52), warga setempat.
Dia mengklaim tidak geram sendirian. Saat HW dibawa ke lokasi untuk reka kejadian sekitar Juni 2021, banyak warga mengeluarkan umpatan. Mereka merasa ditipu.
Kokom tidak terlalu mengenal HW dan murid di sekolah yang didirikan tahun 2019. HW dan para santri tidak banyak berinteraksi dengan warga. Mereka memilih berkegiatan di dalam sekolah.
Kegiatan di sekolah juga sulit diamati dari luar. Bangunan ini dipagari tembok setinggi dua meter. Akibatnya, aktvitas di lantai satu hampir tidak terlihat. Hanya beberapa kelas di lantai dua saja yang bisa tampak dari luar. Satu-satunya akses keluar masuk hanya pintu gerbang yang kerap tertutup.
”Bahkan, saya tidak pernah lihat HW ikut shalat di masjid yang ada di depan sekolah,” ujarnya. Masjid Al-Arif yang ditunjuk Kokom hanya berjarak kurang dari 50 meter dari sekolah.
Diana (28), warga lainnya, juga sulit meredakan pertanyaan saat melihat beberapa santri membawa anak bayi dalam kegiatan pos pelayanan terpadu (posyandu) awal 2021.
”Saya bingung, ibunya ke mana, ya, kok anak-anak yang bawa ke posyandu. Tapi waktu ditanya, mereka saling tatap-tatapan dulu. Ada jeda. Setelah itu, baru mereka sebut ini anak dari salah seorang keluarga pengurus,” ujar Diana.
Baca Juga: Perkosa 12 Siswa, Guru Pesantren di Bandung Terancam 20 Tahun Penjara
Ironi
Data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebutkan, pada tahun 2020, dari 2.389 kasus yang diterima, sebanyak 53 persen adalah kasus kekerasan seksual yang terjadi tidak hanya di ruang personal, tetapi juga di ruang publik seperti di lembaga pendidikan.
Salah satu kelompok yang menggelar Peringatan 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan + adalah Yayasan Sapa, lembaga pendampingan antikekerasan di Bandung. Ketua Pengurus Yayasan Sapa Sri Mulyati mengatakan, hukuman pada pelaku harus diberikan maksimal.
Akan tetapi, dia meminta semua pihak tidak terjebak pada hukuman bagi pelaku saja. Ada masa depan korban yang juga harus diperhatikan.
”Yang sering luput dari kasus seperti ini adalah pendampingan terhadap korban. Bagaimana memberikan layanan psikologis dan kesehatan. Ingat, mereka masih anak-anak,” ujarnya, Kamis.
Oleh sebab itu, pemeriksaan kesehatan reproduksi korban juga tak boleh dilewatkan. Selain itu, pemerintah perlu melakukan sejumlah pemeriksaan kesehatan, salah satunya tes HIV. ”Mengingat pelaku melakukannya (pemerkosaan) dengan banyak korban. Hal seperti ini juga tidak boleh diabaikan,” ucapnya.
Mitigasi juga harus diperkuat. Menurut dia, kekerasan seksual oleh tenaga pendidik terhadap siswa sudah berulang kali terjadi. Di lingkungan pendidikan pesantren, orangtua mempunyai keterbatasan dalam memantau anaknya setiap saat.
Oleh karena itu, dia mendorong pesantren memiliki layanan pengaduan kekerasan terhadap perempuan dan anak berbasis komunitas. Selain itu, diperlukan kurikulum tentang pemahaman kekerasan seksual.
Menurut Sri, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga harus terus mendampingi korban. Hal ini untuk menjamin kompensasi yang diterima korban atas kejadian tersebut.
”Masa depan korban terancam hancur, apalagi kalau tidak melanjutkan pendidikan. Belum lagi stigma dari masyarakat. LPSK yang menghitung kompensasinya. Kalau pelaku tidak bisa memenuhi, ini menjadi tanggung jawab negara,” katanya.
Dengan beragam kasus kekerasan yang hampir setiap hari terjadi, pihaknya mendorong agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera dibahas dan disahkan. Hal ini untuk menjamin hak-hak korban terpenuhi.
Kasus kekerasan seksual ada di depan mata. Tetapi, payung hukum saat ini belum bisa mengakomodasi semua kasus di lapangan. Mau sampai kapan kita melihat korban terus berjatuhan. (Sri Mulyati)
”Kasus kekerasan seksual ada di depan mata. Tetapi, payung hukum saat ini belum bisa mengakomodasi semua kasus di lapangan. Mau sampai kapan kita melihat korban terus berjatuhan,” ucapnya.
Wakil Ketua LPSK Livia Istania Iskandar mengatakan, telah memberikan perlindungan kepada 29 orang yang menjadi pelapor, saksi dan atau korban, dan saksi saat memberikan keterangan dalam persidangan. Persidangan ini digelar di Pengadilan Negeri Kota Bandung sejak 17 November hingga sekarang.
”Kami berharap putusan majelis hakim bisa memberikan hukuman yang setimpal pada pelaku, dan memberikan keadilan kepada korban, termasuk kemungkinan mendapatkan restitusi atau ganti rugi,” ujarnya.
Baca Juga : Polres Sleman Tangkap Bapak Pemerkosa Dua Anak Kandungnya
Komitmen ini dibutuhkan karena LPSK menemukan kondisi ada anak yang ditolak sekolah karena menjadi korban perkosaan. Menurut Livia, kondisi ini memprihatinkan karena korban sudah seharusnya didukung agar tidak lebih terpuruk.
”Temuan ini sudah kami sampaikan ke Gubernur Jabar untuk dilakukan upaya yang tepat. Stigma tentunya berdampak buruk kepada korban, dan itu yang harus senantiasa dihindari,” ujarnya.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil atau biasa disapa Emil memastikan para korban mendapatkan perlindungan dan pendampingan. Melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Jabar, anak-anak tersebut akan mendapatkan pemulihan trauma dan persiapan pola pendidikan baru yang sesuai hak tumbuh kembang mereka.
Di samping pemulihan korban, Emil juga meminta forum institusi pendidikan dan forum pesantren untuk saling mengingatkan apabila ada praktik pendidikan di luar kewajaran. Selain itu, pelaku kejahatan harus dihukum seberat-beratnya karena merupakan tindakan biadab.
Kepala Kejaksaan Tinggi Jabar Asep Nana Mulyana menyatakan, terus mengkaji lebih jauh kasus kekerasan seksual HW yang memanfaatkan posisi pelaku sebagai tenaga pendidik ini. ”Ini termasuk kejahatan kemanusiaan. Dia menyalahgunakan kedudukan dan posisinya selaku guru yang seharusnya mengedepankan integritas dan moralitasnya. Kami akan melakukan tuntutan semaksimal mungkin kepada terhadap pelaku,” ujarnya.
Ditutup
Kini, Madani Boarding School telah ditutup. Dari papan informasi yang berdiri tegak di depan sekolah, sekolah ini masuk ke dalam Yayasan Pendidikan dan Sosial Manarul Huda dan memiliki akta notaris dari SK Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia RI Nomor AHU-0001410.AH.01.04 Tahun 2016.
Kepala Kementerian Agama (Kemenag) Kota Bandung Tedi Ahmad Junaedi memaparkan, telah berkoordinasi dengan Kantor Kemenag Jabar untuk meninjau ulang lembaga operasional tempat HW tersebut. ”Kami telah memastikan proses pencabutan izinnya. Pihak yang berwenang mencabut izin itu adalah Kemenag RI,” ujarnya.
Selain pembekuan lembaga, Tedi juga tengah menangani proses keberlanjutan pendidikan para siswa yang terdata. Meskipun yang menjadi korban itu 12 orang, Kemenag Kota Bandung memilih memindahkan seluruh siswa yang berjumlah 35 orang.
Meskipun sekolah ditutup dan HW dipenjara akibat perbuatannya, luka trauma korban masih membekas. Masa depan tidak akan mudah bagi mereka. Pendampingan bagi mereka harus jadi prioritas disamping hukuman maksimal dan mitigasi mencegah hal ini terulang lagi.
Baca Juga: Beri Perhatian pada Akses Keadilan dan Pemulihan Korban Kekerasan Seksual