Beri Perhatian pada Akses Keadilan dan Pemulihan Korban Kekerasan Seksual
Dimulainya proses legislasi dari Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dinilai sebagai sebuah kemajuan. Namun, penyempurnaan substansi RUU tersebut masih perlu dilakukan.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang dimulai Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat sejak 30 Agustus 2021 membangkitkan harapan baru bagi para korban/penyintas kekerasan seksual. Meski kembali ke tahapan awal, langkah DPR tersebut mendapat apresiasi, terutama dari Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan dan kalangan organisasi masyarakat sipil.
Dimulainya proses legislasi dari Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tersebut dinilai sebagai sebuah kemajuan setelah beberapa waktu lalu proses RUU tersebut tidak ada kemajuan berarti. Walaupun demikian, sejumlah harapan tetap dilayangkan kepada DPR agar RUU yang baru masuk tahap awal pembahasan itu memberi perhatian pada akses dan pemulihan korban kekerasan seksual.
”Kemajuan langkah ini tentunya diharapkan dapat segera menuju tahapan selanjutnya, yaitu penetapan RUU tentang kekerasan seksual ini sebagai RUU Inisiatif DPR,” ujar Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani dalam keterangan pers bersama dua komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi dan Mariana Amiruddin, pada 10 September 2021.
Rapat pleno Baleg DPR yang digelar terbuka juga diapreasiasi. Harapannya perumusan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengutamakan dialog dan keterbukaan sehingga mendapatkan masukan yang konstruktif dalam memastikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual baik dalam lingkup substansi, struktur, dan kultur hukumnya.
Pada saat tahap awal, proses RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut dari draf yang baru yang disusun oleh tim tenaga ahli terdapat sejumlah perubahan dibandingkan UU yang sebelumnya yang pernah diajukan pada periode DPR lalu. Sejumlah perubahan terjadi, baik usulan judul maupun jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual yang akan diatur.
Pada RUU yang baru judul yang diusulkan adalah ”RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual” tidak lagi menggunakan kata ”penghapusan” sebagaimana RUU sebelumnya yang berjudul ”RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”.
Jenis tindak pidana dalam RUU PKS pun berubah, tinggal lima jenis tindak pidana, yakni Pelecehan Seksual (Pasal 2), Pemaksaan Memakai Alat Kontrasepsi (Pasal 3), Pemaksaan Hubungan Seksual (Pasal 4), Eksploitasi Seksual (Pasal 5), dan tindak pidana kekerasan seksual yang disertai dengan perbuatan pidana lain (Pasal 6).
Pada draf lama, ada sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Setelah mencermati RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Komnas Perempuan memberikan masukan untuk penyempurnaan lanjut, terutama dalam menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang selama ini dialami korban kekerasan seksual dalam mengakses keadilan dan pemulihan.
Penyempurnaan tersebut antara lain terkait rumusan tindak pidana kekerasan seksual sebagai norma tindak pidana atau pemberatan. RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengatur lima tindak pidana kekerasan seksual. Selain itu, RUU ini juga mengatur tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual.
Empat dari lima tindak pidana kekerasan seksual itu disebutkan nama tindak pidananya, tetapi satu tindak pidana, yaitu di Pasal 6, tidak disebutkan dengan nama tertentu dan berdasarkan rumusannya merujuk pada tindak pidana Penyiksaan Seksual.
”Berdasarkan norma tindak pidana yang telah dirumuskan dalam draf, perlu dielaborasi lebih lanjut tindak pidana kekerasan seksual lainnya yang belum tercakup dalam draf. Hal ini akan menjadi dasar dalam menentukan tindak pidana kekerasan seksual lainnya yang belum tercakup sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri (isolated crime) atau sebagai pemberatan,” ujar Siti Aminah.
Sementara itu, empat tindak pidana kekerasan seksual yang sebelumnya ada di RUU sebelumnya tidak diakomodasi, yakni (1) Pemaksaan Aborsi, (2) Pemaksaan Pelacuran, (3) Pemaksaan Perkawinan, dan (4) Perbudakan Seksual.
Baca juga: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual: Baleg Bahas Draf Baru
Ditinjau kembali
Komnas Perempuan berharap, keempat tindak pidana kekerasan seksual ditinjau kembali mengingat keempat jenis kekerasan seksual itu nyata terjadi sebagaimana tercatat dalam pendokumentasian Komnas Perempuan. ”Fakta atas empat kekerasan tersebut tidak berbanding lurus dengan pelindungan terhadap korban, salah satunya karena ketiadaan hukum pidana yang mengaturnya,” ujar Siti Aminah.
RUU yang sedang disusun oleh Baleg DPR saat ini diharapkan menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang dialami korban. Penyempurnaan tersebut antara lain mengintegrasikan tindak pidana pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, dan perbudakan seksual dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual; merumuskan kekerasan seksual berbasis gender siber (KSBGS); dan menguatkan aturan tentang pencegahan dengan memetakan para pihak dan peran yang dimandatkan.
Selain itu, perlu juga menegaskan kembali perlindungan hak korban dalam bagian tersendiri; perumusan ketentuan delegatif UU ke dalam peraturan pelaksanaannya, serta penegasan peran lembaga nasional HAM dan lembaga independen lainnya terkait pelaksanaan RUU tersebut.
RUU yang baru dinilai sebagai langkah maju karena hak-hak korban juga tersebar di berbagai pasal, seperti hak restitusi, pedampingan korban, permohonan pembatasan gerak dan hak tertentu dari pelaku.
RUU yang baru dinilai sebagai langkah maju karena hak-hak korban juga tersebar di berbagai pasal, seperti hak restitusi, pedampingan korban, permohonan pembatasan gerak dan hak tertentu dari pelaku. ”Namun, alangkah lebih baiknya jika dipertegas dalam satu bab tersendiri dan kepada siapa kewajiban pemenuhannya,” kata Siti Aminah.
Adapun untuk pendampingan sebaiknya tidak membatasi pada unit pelaksana teknis perlindungan perempuan dan anak (UPT PPA) karena akan membatasi pada korban perempuan dan anak. Bisa saja dibuat umum, yaitu lembaga pelayanan/pendampingan, yang di dalamnya bisa ditangani lembaga layanan negara atau lembaga layanan berbasis masyarakat yang mendampingi korban.
Untuk koordinasi antara sistem peradilan pidana dan sistem pemulihan korban (kesehatan, psikologis, psikososial) bisa dikoordinasikan oleh pemerintah daerah dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (tingkat pusat).
Sementara itu, Koalisi Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) menyampaikan, meskipun mengapresiasi langkah konkret dan upaya Baleg dalam memperjuangkan pengesahan RUU PKS, sejumlah pertanyaan tetap disampaikan. Misalnya, soal perubahan judul yang dinilai memengaruhi substansi pasal-pasal di RUU tersebut dan justru menunjukkan kurangnya komitmen negara dalam penanganan kasus kekerasan seksual beserta kompleksitasnya secara komprehensif.
Naila, selaku perwakilan KOMPAKS, menilai, dengan terminologi ”penghapusan”, RUU PKS memuat elemen-elemen penting penanganan kekerasan seksual secara komprehensif yang bertujuan menghapus kekerasan seksual, sementara RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi Baleg sesuai dengan namanya lebih menitikberatkan pada penindakan tindak pidana sehingga mengabaikan unsur kepentingan korban, seperti pemulihan, perlindungan, dan akses terhadap keadilan secara umum.
”Proses pembahasan ini adalah sebuah kemajuan yang baik, tetapi perubahan judul dan penghapusan elemen-elemen kunci RUU PKS adalah kemunduran bagi pemenuhan dan perlindungan hak-hak korban kekerasan seksual,” ujar Naila, yang berharap Baleg DPR untuk menyesuaikan materi RUU PKS dengan kebutuhan korban.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta bahkan memberikan sejumlah catatan penting terhadap RUU PKS versi Baleg DPR, antara lain hilangnya asas dan tujuan pembentukan undang-undang membuat arah penghapusan kekerasan seksual menjadi tidak jelas; dihapusnya tindak pidana perbudakan seksual; dihapusnya tindak pidana pemaksaan perkawinan. Hilangnya ketentuan mengenai pemaksaan aborsi; dan tidak adanya tindak pidana pemaksaan pelacuran.
Selain itu, pengubahan nomenklatur tindak pidana pemerkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual telah mereduksi pemaknaan atas tindakan pemerkosaan itu sendiri; tidak dimuatnya tindak pidana kekerasan berbasis gender online (KBGO); menyamakan unsur kekerasan seksual terhadap korban dewasa dan anak; tidak diaturnya pidana berupa tindakan bagi pelaku; dan tidak adanya perlindungan khusus bagi korban dengan disabilitas.
Baca juga: DPR Diminta Tetap Pertahankan Sembilan Jenis Kekerasan Seksual
Hal lain yang tidak diakomodasi adalah hilangnya pengaturan yang mewajibkan pemerintah dalam pemenuhan hak korban adalah bukti nyata negara lari dari tanggung jawab; tidak diaturnya hak-hak korban, keluarga korban, saksi dan ahli membuat mereka berada dalam posisi rentan ketika menjalani proses penegakan hukum; tidak adanya kewajiban Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) untuk melindungi dan memenuhi hak-hak korban; tidak dimuatnya larangan aparat penegak hukum melakukan tindakan diskriminatif dalam proses penegakan hukum tindak kekerasan seksual sama halnya mengamini status quo yang tidak berpihak pada korban, serta menghilangkan peran paralegal sebagai pendamping korban kekerasan seksual.