Krusial, Posko Pengaduan Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan diminta menyiapkan wadah pengaduan korban kekerasan seksual dan memberi pendampingan kepada korban. Jumlah kasus yaang tinggi membuat RUU TPKS mendesak disahkan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Lembaga pendidikan diminta menyiapkan wadah pengaduan korban kekerasan seksual di lingkungannya sekaligus memberikan pendampingan kepada korban. Langkah itu krusial untuk mengantisipasi peningkatan angka kekerasan seksual di dunia pendidikan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi antara Komisi VIII DPR dan instansi terkait di Sumatera Selatan, Jumat (17/12/2021). Dalam pertemuan tersebut, dibahas mengenai situasi darurat pelecehan seksual di beberapa daerah, salah satunya di Sumsel.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Sumsel Henny Yulianti mengatakan, maraknya kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan akhir-akhir ini di Sumsel disebabkan sudah meningkatnya keberanian korban untuk melapor.
Kasus kekerasan seksual di Sumsel bukanlah hal yang baru. Bedanya, dulu banyak korban yang tidak berani melapor karena mereka menganggap kejadian yang dialami adalah aib yang tidak boleh diketahui orang banyak, atau terkait dengan kurangnya barang bukti. ”Apalagi, jika kejadian ini berkaitan dengan orang yang terpandang,” katanya.
Namun, saat ini, berkat adanya media sosial dan mulai tingginya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kejadian pelecehan seksual, banyak kasus terkuak dan menjadi perhatian masyarakat.
Catatan Kompas, ada beberapa kasus pelecehan seksual di Sumatera Selatan yang menjadi sorotan masyarakat. Pada September 2021, seorang oknum pengajar di sebuah Pondok Pesantren di Ogan Ilir yang melakukan kekerasan seksual kepada 12 santri. Setelah itu terungkap pengurus pondok pesantren di Musi Rawas yang melakukan pelecehan seksual kepada lima santriwati pada November 2021.
Terbaru adalah kasus pelecehan seksual di Universitas Sriwijaya yang melibatkan dua oknum dosen dengan empat mahasiswi sebagai korbannya. Di satu sisi, ungkap Henny, ini menjadi sebuah ironi. Di sisi lain, ada keberanian dari korban untuk melapor.
Oleh karena itu, lanjut Henny, perlu dibuat satuan tugas yang memang dikhususkan untuk menampung laporan tentang kekerasan seksual di dalam lembaga pendidikan. Hal ini seturut dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
”Dengan adanya jaminan perlindungan ini, diharapkan korban tidak takut untuk melapor jika mengalami pelecehan seksual,” kata Henny.
Melihat semakin banyaknya kasus pelecehan seksual, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sudah seharusnya disahkan.
Anggota Komisi VIII DPR, Bukhori, beranggapan, langkah antisipasi dan sosialisasi perlu dilakukan agar kekerasan seksual tidak terjadi, baik di tengah masyarakat maupun lembaga pendidikan. Khusus untuk pondok pesantren dan madrasah, penanganan bisa melibatkan para penyuluh untuk menyosialisasikan ancaman kekerasan seksual agar santri dan santriwati terhindar dari risiko tersebut.
Pertukaran informasi dengan jaringan pondok pesantren juga dibutuhkan agar terjalin komunikasi yang kuat, termasuk untuk menyangkal kemungkinan adanya penyimpangan di dalam lingkungan pondok pesantren.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Sumatera Selatan Deni Priyansyah mengatakan, setelah maraknya kasus pelecehan seksual, sosialisasi di lingkup pondok pesantren dan madrasah sudah dilakukan. Pengurus pondok pesantren diharapkan mengimbau semua santri atau santriwati menjaga diri dengan berpakaian secara benar. Selain itu, tidak diperbolehkan membicarakan hal yang melecehkan.
UU TPKS mendesak
Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang berpendapat, melihat semakin banyaknya kasus pelecehan seksual, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sudah seharusnya disahkan. Ia menduga belum tuntasnya RUU TPKS disebabkan oleh masih adanya perbedaan pandangan pada beberapa pasal yang ada.
Menurut dia, perbedaan itu harus segera dituntaskan karena saat ini kondisinya sudah sangat mendesak. Marwan berpendapat, menjamurnya kasus pelecehan seksual akhir-akhir ini disebabkan karena korban takut melapor.
”Mereka takut melapor karena belum ada payung hukum yang melindungi para pelapor tersebut,” katanya.
Padahal, jika aksi itu dibiarkan, pelaku akan menyasar lebih banyak korban. Dia pun berharap Undang-undang TPKS dapat segera disahkan tahun depan.