Seorang Pengurus Pondok Pesantren Perkosa Santriwati di Musi Rawas
Oknum pengurus pondok pesantren DN di Musi Rawas, Sumatera Selatan, IM (48), memerkosa sedikitnya lima santriwati. Berdasarkan informasi, masih ada delapan santriwati lagi yang pernah menjadi korban perilaku bejat IM.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
MUARA BELITI, KOMPAS — Pengurus pondok pesantren DN di Musi Rawas, Sumatera Selatan, IM (48), memerkosa lima santriwati. Bahkan, berdasarkan laporan, pelaku sudah melakukan aksi bejat ini sejak 2017. Polisi terus menyelidiki kasus ini dan membuka posko pengaduan bagi orang yang pernah menjadi korban.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Musi Rawas Ajun Komisaris Dedi Rahmad Hidayat, Senin (22/11/2021), mengatakan, kasus ini terkuak setelah orangtua dari salah satu korban, HS (14), melaporkan kejadian ini ke kepolisian. Laporan itu dibuat setelah HS mengadu telah mengalami kekerasan seksual dan meminta agar segera dijemput dari pesantren.
Kekerasan seksual itu terjadi pada September 2021. IM mengajak HS ke rumahnya di Desa Banpres, Kecamatan Tuah Negeri, Kabupaten Musi Rawas. Sesampainya di rumah, IM meminta korban memijat dirinya. Setelah itu, IM berkata kepada korban kalau ada makhluk halus yang mengganggu korban. Karena itu, dia mengolesi wajah korban dengan minyak, lalu menempelkan keris ke leher korban untuk menangkal makhluk halus tersebut. ”Setelah itu, tersangka mencabuli korban,” kata Dedi.
Tersangka terancam hukuman 15 tahun penjara hingga seumur hidup.
Akibat peristiwa tersebut, korban trauma dan terus-menerus ketakutan. Korban akhirnya melaporkan kejadian itu kepada orangtuanya. Setelah menerima laporan, kata Dedi, pihaknya segera menangkap tersangka di rumahnya. ”Tersangka ditangkap tanpa perlawanan dan mengakui perbuatannya,” ujarnya.
Setelah ditelusuri, ungkap Dedi, ternyata banyak santri yang telah menjadi korban pemerkosaan yang tersangka lakukan. Selain HS, ada empat korban yang melapor, yakni DA (14), NA (14), AU (14), dan MA (16). ”Bahkan, ada yang menjadi korban kekerasan seksual pada 2017,” kata Dedi. Dirinya berkomitmen menyelesaikan kasus ini, termasuk melakukan perlindungan terhadap kelima korban.
Berdasarkan informasi, masih ada delapan santriwati lagi yang pernah menjadi korban kekerasan seksual oleh IM. ”Kami masih menunggu laporan dari para korban untuk memperkuat penyelidikan kasus ini,” kata Dedi.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat dengan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. ”Tersangka terancam hukuman 15 tahun penjara hingga seumur hidup,” kata Dedi.
Yeni Roslaini, Direktur Eksekutif Women Crisis Centre, mengatakan, kekerasan seksual di dalam lingkungan pesantren bukan sekali ini terjadi. Bahkan, satu dekade silam, juga di Musi Rawas, dirinya pernah mendampingi kasus 12 santriwati yang menjadi korban kekerasan seksual oleh seorang pemuka agama.
Dirinya berharap agar pihak penegak hukum benar-benar menguak kasus ini sehingga tidak ada lagi kejadian serupa berulang. ”Saya yakin untuk kasus ini, tidak hanya lima santri yang jadi korban. Bisa lebih dari itu,” katanya.
Menurut dia, saat ini banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan tidak berani berbicara karena takut menyebar kebohongan. ”Apalagi, yang menjadi pelaku adalah pengurus pesantren atau pemuka agama. Hal inilah yang membuat kasus kekerasan seksual jarang diungkap oleh korban,” kata Yeni.
Padahal, tindakan seperti ini akan menjejakkan trauma yang sangat dalam bagi korban. Mereka akan menyalahkan diri sendiri. Namun, dengan dihukumnya pelaku, akan memberikan rasa tenang walau tidak akan menghapus trauma pada korban.
Ke depan perlu dibuat sebuah unit khusus di semua lembaga pendidikan sebagai wadah pengaduan, perndapingan, dan perlindungan bagi pelajar perempuan sehingga ketika ada pelecehan atau kekerasan seksual, mereka tahu di mana harus mengadu. ”Tentu orang yang ada di unit tersebut berasal dari mereka yang independen,” ucap Yeni.
Hal ini juga bisa menjadi momen yang tepat untuk mulai menghadirkan kurikulum tentang kesehatan seksual bagi anak. Tujuannya untuk memberikan wawasan kepada siswa tentang pentingnya menjaga diri dari bahaya predator seksual.