Menepis Senja Kala Ukir Jepara
Ada kegamangan perihal nasib Jepara saat minat anak-anak muda pada ukir kian tergerus. Saat ini, sebagian besar anak muda Jepara tidak lagi tertarik menjadi pengukir, apalagi bermunculan pabrik-pabrik baru di Jepara.
Memasuki Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, atmosfer kota ukir masih lekat. Deretan gerai yang menjajakan berbagai produk mebel kayu menjadi pemandangan di kedua sisi jalan jelang masuk gapura kota. Namun, di balik itu, tebersit kegamangan akan keberlanjutan kerajinan ukir seiring minimnya minat generasi muda.
Tangan kiri Ngasri (73) masih kuat menggenggam tatah atau alat ukir logam yang ditancapkan pada sebidang kayu di tempat produksi di Desa Langon, Kecamatan Tahunan, Jepara, Selasa (23/11/2021) siang. Sementara tangan kanannya mengayun dan memukulkan palu pahat pada tatah. Sorot matanya tajam, fokus pada pekerjaan.
Ngasri, asal Desa Tahunan, ialah salah satu pengukir yang merasakan langsung masa keemasan ukir Jepara. Ia juga salah satu dari sedikit generasi tua pengukir Jepara yang mengerjakan proyek produk-produk ukir Jepara untuk ditempatkan di Istana Merdeka pada pertengahan 1970-an atau masa Presiden Soeharto.
Dikutip dari situs Sekretariat Negara, ruang tamu Presiden di sisi barat Istana Merdeka diberi nama Ruang Jepara karena menggunakan ragam hias ukiran Jepara secara masif. Semua setelan kursi dan sofa dibuat dengan kerangka kayu jati ukiran Jepara. Pada dinding-dindingnya digantung beberapa relief kayu berukuran besar.
Baca juga : Minat Pemuda Jepara pada Seni Ukir Kian Tergerus, Regenerasi Terancam
Ngasri sudah tak ingat persis kapan ia ikut mengerjakan proyek itu. Namun, yang jelas hampir bersamaan dengan proyek untuk pendopo agung bercorak joglo di Taman Mini Indonesia Indah. Produk-produk ukiran, termasuk empat soko guru, mereka kerjakan. Adapun TMII diresmikan dan dibuka pada 1975.
”Waktu itu, kan, ada bosnya yang memborong. Mengerjakannya di Randublatung (Blora) selama beberapa bulan. Selain dari Jepara, ada juga pengukir dari Solo dan Bali. Tapi, paling banyak dari Jepara, sekitar 75 orang. Waktu penyetelan juga saya sempat diajak ke Taman Mini,” tuturnya mengenang.
Sejak lama, Jepara memang dikenal akan keandalan para pengukirnya. Tak heran, banyak sumber daya manusia dari Jepara ditarik ke daerah-daerah lain untuk mengerjakan ukir. Sebutan ”The World Carving Center” juga disematkan pada Jepara. Namun, mulai 2000-an, minat anak-anak muda untuk mengukir perlahan menurun.
Adapun Ngasri mengatakan, ketujuh anaknya masih bisa mengukir. ”Sebab, zaman dulu itu ibaratnya semua orang mengukir. Di setiap rumah pasti mengukir. Kalau sekarang, sudah beda, semakin jarang orang ngukir. Memang zamannya berbeda, tapi saya berharap ukir Jepara ini akan terus bertahan,” katanya.
Sekitar 7 kilometer (km) arah utara dari Desa Langon, Wariso Aris (69) juga masih mengukir di usia senjanya. Di depan teras rumahnya di Desa Mulyoharjo, Kecamatan Jepara, ia tengah mengerjakan ukiran relief berukuran 220 cm x 54 cm, dengan tema perdesaan. Butuh waktu tiga bulan untuk mengerjakannya. Relief itu bakal dihargai sekitar Rp 14 juta.
Wariso, kelahiran Sukoharjo, merupakan alumnus STM Dekorasi Ukir Jepara (lalu jadi SMIK dan kini SMKN 2 Jepara). Selain menekuni relief, ia juga menjadi guru SMP pada 1980-an, hingga pensiun pada 2013. Dari lima anaknya (tiga di antaranya laki-laki), hanya satu putranya yang bisa mengukir.
Ia juga menyadari, dengan perkembangan zaman dan teknologi, menjadi pengukir tak lagi menjadi pilihan utama para pemuda di Jepara. Apalagi, menekuni ukir harus disertai kesabaran, juga kemauan kuat dari diri sendiri.
Mengingat masa kejayaan ukir Jepara, terutama sebelum 2000-an, Wariso seakan tak rela jika identitas Jepara sebagai kota ukir terus terkikis. ”Regenerasi pengukir ini harus ada. Tidak mudah, memang. Namun, jangan sampai harapan tinggal harapan. Semua berperan agar ukir Jepara berjaya kembali,” katanya.
Dari lingkungan
Menyikapi ancaman mandeknya regenerasi pengukir Jepara, upaya dilakukan salah satunya oleh Rendra Styawan (41) yang mendirikan Sanggar Persing Reborn di Desa Langon, Jepara, pada 2019. Lewat wadah itu, ia terus memberi pengaruh kepada para anak muda untuk kembali mencintai Jepara dan budaya, termasuk seni ukir.
Di sanggar, dibuka kelas ajar natah. Namun, diakui Wawan, sapaan Rendra Styawan, tantangannya berat. Bahkan, sejak pertengahan 2020, belum ada lagi anak SD yang berminat ikut, meski sudah diiming-imingi uang jajan Rp 5.000 per hari bagi yang mau ikut kelas itu. Kondisi itu disebutnya mengkhawatirkan.
Namun, sanggar akan tetap berjalan. Menurut dia, Sanggar Persing akan lebih fokus memberi pengaruh di lingkungan terdekat dulu, yakni tingkat RT. ”Ini bukan soal semakin banyaknya pabrik sehingga anak muda lari ke sana. Tapi, tantangan utama ada dalam diri sendiri. Berani enggak membuka cakrawala untuk ngeh terhadap budaya, sejarah, yang selama ini seolah-olah sudah ditinggalkan?” katanya.
Pemuda asal Desa Langon, Eko Sandi Puji Kuswanto (29), mengakui, seiring berkembangnya zaman, banyak hal yang mengalihkan pemuda untuk memutuskan tidak menjadi pengukir. Selain itu, tuntutan ekonomi juga kerap membuat pemuda untuk memilih pekerjaan yang cepat, tanpa perlu berlama-lama menekuni atau mempelajarinya.
Secara umum, regenerasi ukir Jepara terbilang mandek. Namun, bukan berarti tidak ada harapan. Sejumlah pemuda memilih untuk menjadi pengukir meski teman seangkatannya lebih banyak memilih pekerjaan kayu yang lebih sederhana atau mengampelas. Sebagian lagi lebih memilih pekerjaan sebagai buruh pabrik.
Salah satu pengukir muda itu ialah Ulin Nuha (30) asal Desa Mantingan, Tahunan. Ia tak gentar dengan godaan pekerjaan lain karena sejak lama telah bertekad menjadi pengukir. ”Saya tak mau seni ukir Jepara ini punah,” ujarnya.
Kus Haryadi dalam bukunya Langgam Relief Jepara (2016) mencontohkan, di Desa Senenan, Tahunan, Jepara, dulu banyak anak SMP yang sudah mahir mengukir relief. Namun, kini justru sangat jarang. Dampak yang dirasakan adalah saat industri seni relief semakin kesulitan mendapat tenaga perajin terampil untuk membuat karya-karya berkualitas.
Kepala Bidang Perindustrian Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jepara Abas tak memungkiri, dalam lima tahun terakhir ada pergeseran minat dari perajin ukir menjadi buruh pabrik. Hal ini seiring kebijakan pemerintah daerah membuka pintu selebar-lebarnya bagi investor untuk menanamkan modalnya di Jepara demi menggenjot ekonomi daerah. Pabrik-pabrik pun bermunculan menawarkan ribuan lowongan pekerjaan.
Namun, menurut dia, ukir Jepara terus diupayakan tetap lestari. ”Kami terus melatih dan membina yang baru, mulai dari perajin hingga usaha. Selain itu, kami juga memiliki agenda tahunan lomba ukir, meski dalam dua tahun terakhir terhenti akibat pandemi Covid-19,” kata Abas.
Di samping itu, menurut Abas, ada kecenderungan bahwa orang Jepara lebih betah bekerja di bidang kayu, bukan perkantoran atau pabrik. Meski sekadar prediksi, ia meyakini arahnya ke sana. Dalam pengamatannya, seorang pekerja industri kecil menengah (IKM) bakal kembali lagi ke kayu setelah mencoba bekerja di pabrik selama beberapa tahun.
Menurut data Disperindag Jepara, jumlah IKM furnitur/mebel atau yang tergolong skala kecil terus menurun dalam setahun terakhir. Pada 2020 tercatat ada 3.438 IKM di bidang itu, menurun dibandingkan tahun 2019 yang sebanyak 4.554 unit. Sementara IKM kerajinan kayu meningkat dari 242 unit pada 2019 menjadi 319 unit pada 2020.
Jumlah IKM furnitur/mebel atau yang tergolong skala kecil terus menurun dalam setahun terakhir. Pada 2020 tercatat ada 3.438 IKM di bidang itu, menurun dibandingkan tahun 2019 yang sebanyak 4.554 unit.
Sekolah menengah
Harapan regenerasi pengukir juga ada pada jurusan kriya kreatif kayu dan rotan SMKN 2 Jepara. Memiliki sejarah panjang dalam dunia ukir Jepara, SMK yang awalnya bernama STM Dekorasi Ukir, lalu menjadi Sekolah Menengah Industri Kerajinan (SMIK), tersebut kini tengah berupaya membangkitkan kejayaan ukir Jepara.
SMKN 2 Jepara, yang berdiri pada 1959, sempat menjadi tujuan banyak siswa luar kota, bahkan luar negeri, terutama Malaysia, hingga tahun 1990-an. Seiring perkembangan, pada 1979 dibuka jurusan batik. Sementara pada 1995 dibuka jurusan tambahan, seperti logam, keramik, dan tata busana. Kini total ada tujuh jurusan di SMK itu.
Baca juga : Ironi Lonjakan Ekspor Mebel Jepara di Tahun Kedua Pandemi
Kepala SMKN 2 Jepara M Zainudin Azis menuturkan, kerja sama dengan dunia usaha dan industri terus diperkuat. Selama ini, metode pendidikan dibagi 70 persen untuk praktik dan 30 persen teori. Selain mengoptimalkan praktik di ruang praktik sekolah, pada tahun ketiga, para siswa juga akan magang atau praktik kerja lapangan (PKL) di industri.
Terobosan yang tengah disiapkan di antaranya mendatangkan secara periodik guru-guru tamu yang merupakan pengukir andal. Selain itu, para siswa jurusan kriya kreatif kayu dan rotan juga diwajibkan memiliki alat ukir tatah serta nyantrik atau belajar langsung di perajin ukir.
Dengan status sebagai SMK pusat keunggulan (PK), SMKN 2 Jepara berusaha kembali mengangkat pamor ukir Jepara. ”Agar ukir kayu ini kembali menjadi maskot seperti dulu. Sebab, bagaimanapun, kami juga memiliki tanggung jawab moral untuk membangkitkan lagi anak-anak muda untuk menyenangi ukir," kata Zainudin.
Menurut data SMKN 2 Jepara, pada 2021, dari kapasitas 108 siswa baru, terisi 104 siswa yang terbagi dalam tiga rombongan belajar. Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah peminat lebih dari 130 siswa sehingga mereka sampai menolak siswa.
Meski sudah terdapat sejumlah studio atau tempat praktik untuk setiap jurusan beserta peralatannya, pihak sekolah tetap berharap kepada pemerintah agar ada bantuan alat, seperti mesin CNC, dengan kapasitas lebih besar. Begitu juga dengan sejumlah beasiswa. Itu semata-mata demi membangkitkan ukir Jepara.