Komunitas Sepeda, dari Klangenan hingga Kampanye Sehat
Beragam komunitas sepeda tumbuh dan aktif berkegiatan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jenis sepeda yang mereka pakai pun beraneka ragam, dari ontel berusia puluhan tahun hingga sepeda dengan tinggi lebih dari tiga meter.
![https://cdn-assetd.kompas.id/h9QORQDO-t5fqUz8KJKqkmARZO8=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2F74309b5a-d4fa-445a-b2bb-aa771ebaf729_jpg.jpg](https://cdn-assetd.kompas.id/h9QORQDO-t5fqUz8KJKqkmARZO8=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2F74309b5a-d4fa-445a-b2bb-aa771ebaf729_jpg.jpg)
Muntowil (49) mengecek koleksi sepeda onthel miliknya, Rabu (8/12/2021), di rumahnya di Desa Banguncipto, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, DIY.
Beragam komunitas sepeda tumbuh dan aktif di Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain disatukan kegemaran bersepeda, komunitas-komunitas itu juga turut mendorong budaya bersepeda di masyarakat. Jenis sepeda yang dipakai pun beraneka, dari onthel puluhan tahun hingga sepeda setinggi lebih dari 3 meter.
Muntowil (49) menunjukkan deretan sepeda onthel yang terparkir rapi di rumahnya, Rabu (8/12/2021) siang. Meski usianya sudah puluhan tahun, sepeda-sepeda tersebut masih tampak terawat. Adapun onthel merujuk sepeda kuno keluaran Eropa berukuran besar, karena disesuaikan postur orang Eropa.
”Saya punya kurang lebih 100 sepeda onthel. Sepeda yang tertua buatan tahun 1930-an dan yang paling muda tahun 1970,” ujar pria yang akrab dipanggil Towil itu.
Towil merupakan salah seorang pendiri Paguyuban Onthel Djogjakarta (Podjok) yang beranggotakan pencinta sepeda onthel di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Di kalangan komunitas sepeda di DIY, nama Towil sudah dikenal luas karena telah aktif di dunia sepeda sejak belasan tahun silam.
”Podjok berdiri pada 19 November 2006. Jadi, paguyuban ini sudah berusia 15 tahun,” tuturnya saat ditemui di rumahnya di Desa Banguncipto, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, DIY. Podjok terbentuk karena kesamaan minat para anggotanya yang hobi mengoleksi dan menggunakan sepeda onthel.
![https://cdn-assetd.kompas.id/FnnzEoZjgj-xFd_OXXHCCBGwD9c=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2F4885b300-33f7-4cd7-8e94-ec24336f3952_jpg.jpg](https://cdn-assetd.kompas.id/FnnzEoZjgj-xFd_OXXHCCBGwD9c=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2F4885b300-33f7-4cd7-8e94-ec24336f3952_jpg.jpg)
Muntowil (49) menunjukkan koleksi sepeda onthel miliknya, Rabu (8/12/2021),.
Towil mengatakan, ada berbagai macam merek sepeda onthel, misalnya Gazelle, Raleigh, Simplex, Burgers, Humber, Fongers, dan sebagainya. Sepeda-sepeda itu produksi pabrikan dari sejumlah negara, misalnya Belanda, Jerman, Inggris, India, dan Jepang.
”Harga sepeda onthel itu tidak ada patokannya. Saya pernah membeli onthel seharga Rp 500.000, tetapi ada juga yang Rp 3 juta, Rp 5 juta, dan Rp 10 juta,” ungkapnya.
Selain karena kecintaan terhadap sepeda tua, Towil menyebut, Podjok juga dibentuk karena keresahan melihat makin terpinggirkannya sepeda sebagai alat transportasi. Oleh karena itu, Podjok ingin mempromosikan aktivitas bersepeda secara menarik. Itulah kenapa, dalam berbagai kesempatan, selain menggunakan sepeda onthel berusia tua, anggota Podjok juga kerap memakai kostum unik, misalnya seragam prajurit era kemerdekaan dan pakaian tradisional Jawa.
Selama belasan tahun aktif, Podjok telah menggelar berbagai acara, baik internal maupun melibatkan pihak luar. Paguyuban itu juga beberapa kali menggelar acara bertaraf nasional, misalnya Temu Onthelis Nasional tahun 2007 yang diikuti para penggemar sepeda onthel dari berbagai kota di Indonesia. Temu Onthelis Nasional itu terdiri dari rangkaian acara, misalnya pameran sepeda, pameran foto, simposium, bazar, dan bersepeda bersama.
Acara serupa kemudian digelar lagi pada 2008 dengan tajuk ”Djogja Kembali Bersepeda” yang diikuti sekitar 1.500 pemilik sepeda onthel dari 70 paguyuban dari sejumlah kota. Pada 2010, Podjok kembali menyelenggarakan pertemuan para penggemar sepeda onthel di Indonesia dengan tajuk ”Jogja Onthel Carnival”.
Baca Juga: Agar Nyaman dan Menyehatkan, Yuk Kenali Hal-hal Ini Sebelum Bersepeda
![https://cdn-assetd.kompas.id/xLnqR-8XkMS3oLKRDY3xbWAq1hs=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2Faf8e3282-9692-4eb8-a795-659f1ff3e1f1_jpg.jpg](https://cdn-assetd.kompas.id/xLnqR-8XkMS3oLKRDY3xbWAq1hs=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2Faf8e3282-9692-4eb8-a795-659f1ff3e1f1_jpg.jpg)
Pesepeda melintas di Jalan Malioboro, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Rabu (8/12/2021) pagi.
Menurut Towil, saat ini, ada 70-100 orang anggota Podjok yang masih aktif. Selama pandemi Covid-19, para anggota Podjok kadang masih berkumpul untuk bersilaturahmi dan bertukar informasi mengenai sepeda ontel. ”Paguyuban ini menyebut anggotanya sebagai kerabat untuk mendekatkan sesama anggota,” ujarnya.
Selain aktif di Podjok, Towil juga mengembangkan aktivitas wisata bersepeda di perdesaan sekitar tempat tinggalnya sejak 2008. Dalam aktivitas itu, para turis akan diajak bersepeda keliling desa sambil berinteraksi dengan masyarakat setempat. ”Wisatawan kita ajak bertemu masyarakat untuk membuat tempe bersama, membuat tenun tradisional, membuat ketupat, atau bertemu warga yang sedang berada di sawah,” katanya.
Sepeda tinggi
Podjok hanya satu dari sekian banyak komunitas sepeda di DIY. Seperti Podjok, sejumlah komunitas sepeda dibentuk berdasarkan kesamaan jenis sepeda yang digunakan para anggotanya. Salah satu komunitas sepeda yang unik di DIY adalah komunitas Pit Dhuwur Yogyakarta yang beranggotakan para pengguna pit dhuwur atau sepeda tinggi.
Komandan Pit Dhuwur Yogyakarta, Raden Arip Buwono, mengatakan, pit dhuwur mulai dikenal di Yogyakarta pada 2006. Saat itu, ada kelompok sirkus dari luar negeri yang datang ke Yogyakarta dan menggunakan sepeda tinggi dalam atraksinya. Kelompok sirkus itu kemudian bertemu dengan sejumlah street artist atau seniman jalanan di Yogyakarta.
![https://cdn-assetd.kompas.id/qrXWJJCxUTGMc34P7yTcZqGid88=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2Fab1087d0-b8e3-44fd-9c42-ff2200dfebf6_jpg.jpg](https://cdn-assetd.kompas.id/qrXWJJCxUTGMc34P7yTcZqGid88=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2Fab1087d0-b8e3-44fd-9c42-ff2200dfebf6_jpg.jpg)
Komandan Pit Dhuwur Yogyakarta, Raden Arip Buwono, mengendarai pit dhuwur atau sepeda tinggi di halaman rumahnya di Kelurahan Prenggan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta, Rabu (8/12/2021).
Menurut Arip, salah seorang street artist Yogyakarta yang bertemu para pemain sirkus itu adalah Dhomas ”Kampret” Yudhistira. Dhomas yang juga merupakan seniman tato tertarik dengan sepeda tinggi yang digunakan kelompok sirkus tersebut. Lalu, terjadilah barter antara Dhomas dengan salah seorang anggota kelompok sirkus bernama Piero dari Italia.
Dhomas membuat tato di tubuh Piero, sedangkan Piero membuatkan sepeda tinggi untuk Dhomas dengan memakai bagian-bagian sepeda bekas. Setelah peristiwa itu, pecinta pit dhuwur di Yogyakarta mulai bermunculan.
Arip menjelaskan, hingga saat ini, proses pembuatan pit dhuwur masih memanfaatkan berbagai bagian sepeda bekas. Para pecinta pit dhuwur biasanya datang ke penjual rongsokan barang bekas untuk berburu bagian-bagian sepeda bekas yang bisa mereka pakai.
”Biasanya kami nyari di tempat rosok-rosok. Di sana, kami hanya pilih bagian-bagian tertentu dari sepeda bekas yang dibutuhkan dan kira-kira masih layak pakai. Jadi, kalau butuh rangka sepeda, ya, hanya beli rangka saja,” ujar Arip.
Baca juga : Nasib Sepeda Setelah Masa Anomali
![https://cdn-assetd.kompas.id/RNnmk960bqvtfAgGTpTRJrRYbNM=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2Fa49d2b64-6d36-4087-aef4-762c8e8cae01_jpg.jpg](https://cdn-assetd.kompas.id/RNnmk960bqvtfAgGTpTRJrRYbNM=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2Fa49d2b64-6d36-4087-aef4-762c8e8cae01_jpg.jpg)
Komandan Pit Dhuwur Yogyakarta, Raden Arip Buwono, mengendarai pit dhuwur, Rabu (8/12/2021).
Arip menyebut, bagian-bagian sepeda bekas dari tempat rongsokan itu bisa dibeli secara kiloan dengan harga murah. Setelah terkumpul lengkap, berbagai bagian sepeda bekas itu dibawa ke tukang las untuk dirakit. Dengan model pembuatan seperti ini, setiap orang bisa menentukan sendiri bentuk dan tinggi pit dhuwur yang hendak dipakai.
Arip mengatakan, saat ini, rata-rata pit dhuwur di Yogyakarta memiliki ketinggian 2 meter hingga 3,3 meter dengan biaya pembuatan berkisar Rp 900.000 hingga Rp 1 juta per unit. Adapun jumlah pemilik pit dhuwur di DIY sekitar 170 orang. Kebanyakan pelajar SMA berusia belasan tahun.
Dalam komunitas Pit Dhuwur Yogyakarta, berlaku semacam aturan bahwa seorang pengendara pit dhuwur harus mendapatkan izin atau restu dari orangtua. (Arip Buwono)
Menurut Arip, dalam komunitas Pit Dhuwur Yogyakarta, berlaku semacam aturan bahwa seorang pengendara pit dhuwur harus mendapatkan izin atau restu dari orangtua. Sebab, mengendarai sepeda tinggi memang memiliki risiko lebih besar dibanding sepeda biasa.
Untuk mengendarai pit dhuwur, seseorang juga perlu belajar agar benar-benar terampil. Sebab, cara mengendarai pit dhuwur berbeda dengan mengendarai sepeda biasa, misalnya terkait cara naik dan turun dari sepeda. ”Cara naik pit dhuwur itu berbeda-beda, tergantung konstruksi rangka sepeda yang dibuat,” tutur Arip.
![https://cdn-assetd.kompas.id/DPRG6MqSDDqgy7Losx3yR6clb8A=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2F79acf90d-df0a-4988-9256-af9ca3964e8a_jpg.jpg](https://cdn-assetd.kompas.id/DPRG6MqSDDqgy7Losx3yR6clb8A=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2F79acf90d-df0a-4988-9256-af9ca3964e8a_jpg.jpg)
Sejumlah pesepeda melintas di tepi Embung Kaliaji, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, DIY, Minggu (5/12/2021) pagi.
Selain itu, pengendara pit dhuwur juga perlu mempelajari keterampilan khusus saat harus berhenti di lampu merah atau berhenti karena jalanan macet. Menurut Arip, agar bisa berhenti di lampu merah tanpa harus turun dari sepeda, para pengendara pit dhuwur biasa menggunakan teknik track stand, yakni menjaga keseimbangan di atas sepeda saat berhenti.
”Dulu teman-teman pit dhuwur sering nyari pegangan di truk atau mobil besar saat nunggu lampu merah. Ada juga yang dulu berhenti sambil berangkulan. Tapi sekarang memakai track stand,” ungkap Arif.
Kampanye
Selain komunitas yang dibentuk berdasarkan jenis sepeda, ada juga komunitas yang dibentuk dengan tujuan mengampanyekan budaya bersepeda, misalnya Bike to Work Jogja. Komunitas tersebut merupakan bagian dari Bike to Work Indonesia.
Koordinator Bike to Work Jogja, Noer Cholik (39), menuturkan, komunitas yang beranggotakan sekitar 30 orang itu mulai terbentuk sejak 2008. Dia menyebut, Bike to Work Jogja berfokus pada gerakan mengampanyekan budaya bersepeda dan melakukan advokasi terkait nilai-nilai positif bersepeda. ”Jadi, kegiatan kami tidak hanya bersepeda bareng ke satu wilayah, lalu kumpul-kumpul,” tuturnya.
![https://cdn-assetd.kompas.id/xKBGik8hNrcwbRkDOrLovEeOIpU=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2Fb385d2c2-510b-4487-ae8e-9d9684abc610_jpg.jpg](https://cdn-assetd.kompas.id/xKBGik8hNrcwbRkDOrLovEeOIpU=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2Fb385d2c2-510b-4487-ae8e-9d9684abc610_jpg.jpg)
Sejumlah pesepeda berhenti di ruang tunggu sepeda saat lampu lalu lintas menyala merah, Rabu (8/12/2021), di Kota Yogyakarta, DIY.
Cholik mengatakan, salah satu hal yang sering dikampanyekan Bike to Work Jogja adalah bersepeda bisa dilakukan untuk aktivitas sehari-hari, bukan hanya refreshing saat akhir pekan. Itulah kenapa, anggota Bike to Work biasanya menggunakan sepeda untuk berangkat ke kantor. ”Tapi bersepeda enggak harus pas ke kantor, bisa juga saat ke pasar atau minimarket,” ujarnya.
Selain itu, Bike to Work Jogja juga kerap mengampanyekan budaya bersepeda yang tertib lalu lintas. Menurut Cholik, selama pandemi Covid-19, tren bersepeda di tengah masyarakat meningkat pesat. Namun, peningkatan minat bersepeda itu belum sepenuhnya disertai pemahaman tentang cara bersepeda yang tertib. Kondisi itu terkadang memunculkan friksi antara pesepeda dengan pengguna jalan lainnya.
”Makanya kami kemudian mengampanyekan agar pesepeda tertib berlalu lintas, misalnya dengan berkendara di jalur sepeda dan tidak ngeblong (melanggar) lampu merah,” tutur Cholik.