Runtuhnya Gladak Perak dan Putusnya Nadi Ekonomi Selatan Jatim
Jembatan Gladak Perak di Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, mempunyai peran vital dan menjadi urat nadi perekonomian selatan Jawa Timur. Jembatan ini rusak akibat erupsi Gunung Semeru pada 4 Desember 2021 lalu.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·5 menit baca
Enam malam terakhir, masyarakat yang bermukim di tepi jalur utama Lumajang-Malang harus menutup pintu lebih awal. Penyebabnya, kendaraan yang melintas di kawasan itu turun drastis setelah Jembatan Gladak Perak di Kecamatan Pronojiwo runtuh akibat fondasinya diterjang material vulkanik dari Gunung Semeru, 4 Desember 2021 lalu.
Deru iring-iringan truk pasir yang biasa melintas di kawasan itu sepanjang siang-malam tak terdengar lagi. Suara mereka digantikan oleh sirene ambulans dan vorejder yang mengawal pejabat, selain iringan mobil-mobil donatur, baik dari swasta, komunitas, maupun partai politik yang terus mengalir.
Alhasil, di beberapa titik, ruas Lumajang-Malang kembali menunjukkan wajah yang sesungguhnya—tak berbeda jauh dengan jalur-jalur lain di lereng gunung—yakni sepi tatkala malam tiba. Apalagi jika suasananya hujan tiada henti.
”Tak ada kendaraan yang melintas, Mas. Sepi,” ujar Bahrianto (36) sambil menikmati sisa mi instan goreng yang tinggal separuh mangkuk, Kamis (9/12/2021) petang, di depan warung miliknya yang berada persis di tepi jalan raya.
Salah satu warga Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, itu mengaku penghasilannya sebagai pemilik warung dan pedagang hewan ternak dalam beberapa hari merosot. Jika biasanya dia bisa meraup Rp 800.000-Rp 900.000 tiap malam dan Rp 400.000-Rp 500.000 di siang hari, saat ini jumlahnya kurang dari itu.
Dia pun tak mengira jika guguran awan panas pada akhir pekan lalu bakal berdampak besar seperti sekarang. Selain merusak banyak rumah hingga menyebabkan ribuan jiwa mengungsi, bencana itu juga membuat puluhan orang meregang nyawa.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyatakan, hingga pukul 12.00, Kamis, total korban meninggal akibat erupsi Semeru mencapai 43 orang dan 104 lainnya mengalami luka-luka (32 orang mengalami luka berat dan 82 orang mengalami luka ringan). Adapun lokasi pengungsian bertambah menjadi 121 buah yang tersebar ke sejumlah lokasi, termasuk ke kabupaten tetangga di Malang (pengungsi mandiri).
Menurut Bahrianto, kapan jalan di depan rumahnya akan kembali ramai oleh lalu-lalang kendaraan sangat tergantung dari kapan Gladak Perak kembali tersambung. Sebelum jembatan vital itu kembali bisa dilewati, masyarakat yang ingin bepergian ke Kota Lumajang dan Malang mesti memutar jauh melalui Probolinggo-Pasuruan dengan waktu tempuh lebih lama.
Sebagai gambaran, waktu tempuh dari Pronojiwo menuju Candipuro dalam kondisi normal hanya membutuhkan waktu 45 menit. Namun, jika melalui Pasuruan dan Probolinggo, membutuhkan waktu 7 jam.
”Padahal, jalur ini mempunyai peran vital. Masyarakat yang ingin mengangkut hasil bumi melalui jalan ini. Di kawasan ini ada banyak sumber daya alam, tidak hanya pasir. Pronojiwo juga sentra ternak kambing. Kambing-kambing itu biasa dijual ke arah timur (Lumajang kota),” tutur Bahrianto yang juga seorang pedagang kambing.
Karena menghadapi masalah terkait transportasi, Bahrianto pun terpaksa menjual kambing dagangannya dengan harga lebih rendah. Dia mencontohkan, harga satu ekor kambing yang biasanya Rp 3,2 juta terpaksa ia jual Rp 2,4 juta. Yang membeli pedagang dari Malang.
Padahal, jalur ini mempunyai peran vital. Masyarakat yang ingin mengangkut hasil bumi melalui jalan ini.
Sepinya jalur Lumajang-Malang dibenarkan Ngateman (48), salah satu warga Desa Sidomulyo, Kecamatan Pronojiwo. Menurut dia, dalam kondisi normal, truk pasir melaju tiada henti tatkala malam tiba. Semakin malam, jumlahnya semakin banyak. ”Jadi, warung-warung itu hidup saat malam tiba. Yang makan adalah sopir-sopir truk pasir,” terangnya.
Di luar masalah pasir, menurut Ngateman, putusnya Jembatan Gladak Perak akan memengaruhi perekonomian masyarakat. Dia mencontohkan, salah satu potensi Pronojiwo adalah salak. Salak pondoh dari Pronojiwo biasa dijual ke Jember dan Bali. Untuk menuju ke pasar, tentu saja harus melalui ruas Malang-Lumajang.
Dulu, tutur Ngateman, ada jalan ke arah Lumajang melalui Tempursari, lokasinya di tepi pantai, tetapi putus terkena ombak 5 tahun lalu. Rutenya Pronojiwo-Tamanayu-Kali Oleng-Tempursari memutar lewat Jembatan Godek.
Sementara itu, Kamis siang, tim dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) mengambil contoh tanah hingga batuan keras pada sejumlah titik. Mereka sibuk mengebor aspal di kedua sisi Jembatan Gladak Perak yang dipisahkan Besuk Kobokan.
Di dasar besuk tampak material vulkanik keperakan yang masih mengepulkan asap tanda temperatur di bagian bawah masih tinggi. Material itu terhampar hingga hilir.
Tenaga Ahli Bidang Kebencanaan Bupati Malang, Bagyo Setiono, mengatakan, pengambilan sampel tanah dilakukan untuk menentukan jenis konstruksi yang akan dipergunakan untuk membangun kembali Jembatan Gladak Perak.
Hingga kini, menurut Bagyo belum diketahui seperti apa detail konstruksi bangunan jembatan baru nantinya. Namun, ada kemungkinan posisi jembatan yang baru nanti lebih tinggi daripada jembatan semula yang runtuh.
”Tim dari PUPR mengambil sampel tanah sampai batuan yang paling keras di kedalaman berapa. Hal itu nantinya sebagai pertimbangan untuk membuat rencana pembangunannya,” kata Bagyo di lokasi.
Koordinator Tim Bor Balai Jalan Raya Jawa Timur Mariyono menambahkan bahwa pengambilan sampel dilakukan dengan cara melakukan pengeborang kurang lebih sedalam 30 meter, termasuk mengecek kontur tanah dan batuan terkeras.
”Menurut rencana, kedalaman kurang lebih 30 meter, tetapi itu akan dilanjutkan kalau belum bertemu dengan batuan terkeras,” katanya.
Seperti diketahui, Gladak Perak terdiri atas dua bentang jembatan, yakni jembatan lama yang tidak difungsikan dan jembatan baru di sisi hilir yang masih berfungsi untuk lalu lintas. Gladak Perak lama yang salah satu sisinya membelah bebatuan dibangun pada tahun 1925-1940.
Menurut beberapa sumber, jembatan lama yang memiliki konstruksi besi ini sempat diledakkan oleh Zeni Pionir 22 Jatiroto guna menghambat laju tentara Belanda saat Agresi Militer Belanda 1 tahun 1947. Jembatan kembali dibangun tahun 1952. Adapun jembatan baru menggunakan konstruksi beton, dibangun pada tahun 1998 dengan panjang 129 meter.