Korban Pelecehan Seksual di UNRI Berharap Pelaku Ditahan
Tersangka yang saat ini masih bebas dan menjabat di kampus dikhawatirkan bisa menekan para saksi sehingga menghambat proses penegakan hukum.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Kuasa hukum L, mahasiswa korban pelecehan seksual oleh Syafri Harto, dosen sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Riau, berharap agar polisi menahan tersangka dan kampus menonaktifkannya. Tersangka yang saat ini masih bebas dan menjabat di kampus dikhawatirkan bisa menekan para saksi sehingga menghambat proses penegakan hukum.
Kuasa hukum L dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru Noval Setiawan, Senin (29/11/2021), mengatakan, Syafri Harto mestinya ditahan karena ancaman hukumannya lebih dari lima tahun. Selain itu, situasi tersangka yang masih punya jabatan di fakultas dikhawatirkan memengaruhi proses penegakan hukum, walaupun polisi mengatakan pelaku kooperatif.
”Patut dicurigai nanti dalam perjalanannya pelaku yang masih menjabat ini menggunakan kekuasannya untuk menekan saksi dan sebagainya. Maka, kami berharap polisi melakukan penahanan terhadap tersangka,” kata Noval, ketika dihubungi dari Padang, Senin.
Menurut Noval selain ditahan, Syafri semestinya juga dinonaktifkan dari kampus. Dasar hukum yang dipakai UNRI untuk tidak menonaktifkan tersangka dinilai tidak sesuai dengan Peraturan Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Padahal, kata Noval, ini momentum bagi UNRI untuk menerapkan Permendibudristek tersebut dan momentum untuk mengusut tuntas kasus kekerasan seksual di kampus. Langkah menonaktifkan Syafri dari kampus juga akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan mahasiswa untuk kembali beraktivitas di kampus.
”Kalau sekarang kondisinya tidak dinonaktifkan, tersangka masih beraktivitas di kampus. Mahasiswa masih terkesan tidak ingin melihat tersangka di kampus karena kasusnya belum selesai,” ujar Noval.
Berdasarkan Permendikbud, untuk menonaktifkan pelaku memang harus ada satuan khusus terlebih dahulu. Walakin, karena peraturannya baru, satuan tugasnya belum ada.
Namun, momentum menonaktifkan Syafri bisa merujuk pada status tersangkanya, sekalipun tidak ditahan. Dengan status tersangka, berarti penyidik sudah punya minimal dua alat bukti yang cukup untuk menduga Syafri seorang pelaku.
”Ini mesti menjadi acuan UNRI dalam menonaktifkannya, tidak serta-merta mengacu UU ASN. UNRI harus bisa lebih jauh melihat norma-norma yang hidup di masyarakat, terutama di lembaga pendidikan,” kata Noval.
Kalau sekarang kondisinya tidak dinonaktifkan, tersangka masih beraktivitas di kampus. (Noval Setiawan)
Terkait kondisi L, Noval mengatakan, korban sudah mulai beraktivitas di lingkungan, tetapi belum ke kampus karena memang masih ada proses penyidikan yang harus ia lewati. L juga masih didampingi oleh psikolog dari Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Riau dan Polda Riau.
Wajib lapor
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Riau Komisaris Besar Teddy Ristiawan mengatakan, penyidikan kasus ini masih berjalan. Tersangka sudah diperiksa beberapa waktu lalu. Terkait tidak ditahannya tersangka, Teddy mengatakan tersangka kooperatif. ”Semua tersangka tidak perlu ditahan. Salah satu alasannya, dia koorperatif,” kata Teddy singkat.
Kepala Bidang Humas Polda Riau Komisaris Besar Sunarto menjelaskan, Syafri tidak ditahan karena menurut penyidik tersangka tidak akan mempersulit penyidikan. Selain itu, ada jaminan dari kuasa hukumnya. ”Tersangka SH dikenakan wajib lapor dua kali seminggu, Senin dan Kamis,” kata Sunarto.
Syafri Harto ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Riau pada 18 November 2021. Syafri disangka telah melakukan pelecehan seksual terhadap L saat proses bimbingan skripsi di kampus. Tersangka terancam dijerat Pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan/atau Pasal 294 KUHP Ayat (2) e dengan ancaman hukuman sembilan tahun penjara.
Terkait penonaktifan tersangka, pihak UNRI belum bersedia memberikan keterangan. ”Kami baru saja rapat pimpinan berkaitan dengan hal (kasus) itu. Jadi, rilisnya dalam proses kami susun,” kata Kepala Bagian Humas UNRI Rioni Imron dalam pesan teks. Ia berjanji akan mengirimkan siaran pers.
Adapun dalam siaran pers sebelumnya, dengan nomor 2651/UN19.5.2.3.2/HM.01.03/2021, Wakil Rektor II UNRI Sujianto menyatakan, pada 24-25 November 2021, Rektor telah mengirimkan dokumen permohonan Tim Pendampingan Rektor dalam pemeriksaan SH kepada Kemdikbudristek.
Agenda selanjutnya, tim pendamping rektor bersama Tim Kemdikbudristek akan melakukan pemeriksaan administratif terhadap SH. Pemeriksaan diperlukan sebagai dasar pengambilan kebijakan berdasarkan PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil serta PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
Terkait status Syafri, Sujianto mengatakan, karena tidak adanya penahanan seusai pemeriksaan oleh Polda Riau pada 23 November 2021, UNRI sepenuhnya menghormati hal itu dan menyerahkan pada pihak yang berwenang. ”UNRI sampai saat ini terus melakukan koordinasi dengan Polda Riau,” katanya.
Adapun terkait korban, UNRI melalui tim pendamping korban selalu mendampingi dan memantau perkembangan korban secara intens. Tim juga berkoordinasi dengan psikolog untuk menjaga dan mengupayakan pemulihan mental korban.
Memprihatinkan
Konsorsium Permampu, konsorsium organisasi masyarakat sipil perempuan di Sumatera, dalam siaran persnya menyatakan, kasus kekerasan seksual di UNRI itu sangat memprihatinkan. Meskipun sudah melapor, korban mengalami intimidasi dan sulit mendapat keadilan. Kasus ini menandakan kekerasan seksual sangat dipengaruhi oleh relasi kekuasaan yang timpang antara pelaku dan korban.
Permampu menilai, masalah kekerasan seksual di dunia pendidikan sangat serius, terlihat dari data Komnas Perempuan tahun 2015-2020. Kekerasan seksual paling banyak terjadi di perguruan tinggi (27 persen), disusul pesantren/pendidikan berbasis Islam (19 persen), dan pendidikan tingkat SMA, SMP, SD, dan SLB (3 persen). Pelaku terbanyak adalah guru atau pemuka agama, disusul kepala sekolah, dosen, dan peserta didik.
Sepanjang tahun 2020, Konsorsium Permampu juga mencatat telah mendampingi 434 kasus kekerasan di Sumatera. Sebanyak 87 kasus (20 persen) di antaranya adalah kasus kekerasan seksual. Kasus-kasus tersebut didampingi oleh WCC Sinceritas-Pesada, PPSW Sumatera, CP WCC, LP2M, WCC Palembang, dan Damar Lampung.
Atas kondisi tersebut, Konsorsium Permampu mendesak DPR dan Presiden menetapkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) untuk penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan.
Konsorsium juga mendorong pemerintah daerah di Pulau Sumatera mengimplementasikan pelayanan yang terintegrasi bagi perempuan korban kekerasan dengan melibatkan akar rumput melalui One Stop Service & Learning (OSS&L). Program itu diinisiasi oleh delapan LSM perempuan anggota Konsorsium Permampu, yakni Flower Aceh, Pesada Sumut, PPSW Sumatera/Riau, LP2M Sumbar, APM Jambi, Cahaya Perempuan WCC Bengkulu, WCC Palembang Sumsel, dan Damar Lampung.
”Kami menyerukan penguatan kepemimpinan perempuan di akar rumput dan keterlibatan perempuan muda untuk keberlanjutan gerakan perempuan di Pulau Sumatera,” kata Dina Lumbantobing, Koordinator Permampu.