Peran Kaum Cendekia dan Intelektual Bali dalam Transformasi Peradaban
Kaum cendekia dan kalangan intelektual Bali berperan mentransformasikan peradaban masyarakat. Kaum cendekia dan intelektual budaya di kampus agar berani mengkritisi dan memberikan pemaknaan melalui pendekatan keilmuan.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Kaum cendekia dan kalangan intelektual Bali berperan mendiskusikan dan mentransformasikan perubahan di masyarakat dalam membangun peradaban. Melalui pemikiran kritis dan diskursus secara terbuka dan secara setara, tanpa pelabelan terhadap salah satu pihak atau stigmatisasi, maka kaum cendekia dan kalangan intelektual turut menyiapkan dan membangun masyarakat Bali yang mampu menerima perubahan tanpa kehilangan keunikan identitas atau karakter.
Demikianlah benang merah dari seminar nasional kajian budaya dengan tema ”Memaknai Globalisme Kebudayaan: Menuju Bali Maju dan Berperadaban”, yang diselenggarakan Program Studi Doktor Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Bali, secara di dalam jaringan (daring), Selasa (16/11/2021).
Webinar dipandu Rektor Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar Nyoman Sri Subawa dengan dua narasumber, Anak Agung Gede Ngurah Ari Dwipayana (sosiolog dan Koordinator Staf Khusus Kepresidenan) dan I Ngurah Suryawan (antropolog dan akademisi Universitas Warmadewa, Denpasar).
Ketika membuka webinar, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana (Unud) Made Sri Satyawati mengatakan, perkembangan teknologi digital dewasa ini dinilai berpengaruh dan berdampak terhadap kebudayaan, selain perubahan akibat terjadinya arus globalisasi.
Satyawati berharap para akademisi sebagai komunitas intelektual dapat membahas dan memberikan pemahaman terkait tema webinar, yakni memaknai perubahan kebudayaan akibat globalisasi dalam menyiapkan Bali menuju yang maju dan beradab.
Dalam pemaparannya, Ari Dwipayana mengatakan, masyarakat Bali sudah berhadapan dengan globalisasi sejak berabad-abad silam melalui hubungan perdagangan internasional yang terjadi di kawasan Bali utara. Perkenalan dan persentuhan masyarakat Bali dengan kebudayaan global itu salah satunya tecermin di Pura Negara Gambur Anglayang di Kabupaten Buleleng, Bali, yang diperkirakan dibangun pada abad ke-13 Masehi.
Tradisi berdebat di ruang publik harus dibuka, tanpa stigmatisasi, tanpa pelabelan. (Ari Dwipayana)
Diskursus secara terbuka tentang penyikapan terhadap perubahan di Bali pernah berlangsung pada abad ke-20 Masehi, yakni antara kaum terpelajar dan kelas menengah baru di Bali di era tahun 1920-an. Satu pihak condong mempertahankan adat dan budaya, sedangkan di pihak lain berpandangan adat perlu diubah agar masyarakat maju.
Menurut Ari Dwipayana, perdebatan dan diskursus di antara kelompok berbeda pandangan di Bali itu berlangsung terbuka di ruang publik. Meski berbeda pandangan tentang penyikapan mereka tentang Bali menghadapi zaman baru, kelompok-kelompok berbeda pandangan pada zaman itu memiliki kesamaan mendasar, yakni sama-sama memikirkan upaya menyiapkan masyarakat dan menjaga keunikan Bali dalam menghadapi perubahan zaman.
”Tradisi berdebat di ruang publik harus dibuka, tanpa stigmatisasi, tanpa pelabelan,” kata Ari Dwipayana. ”Perdebatan itu didasarkan pada literasi, dari membaca hal substantif,” ujar akademisi dari Universitas Gadjah Mada itu.
Pariwisata
Adapun Koordinator Program Studi (Prodi) Doktor Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Unud, Anak Agung Ngurah Anom Kumbara mengatakan, seminar nasional secara daring (webinar) yang diselenggarakan Prodi Doktor Kajian Budaya tersebut bertujuan membuka pemahaman realitas dan dinamika Bali kekinian dalam memaknai Bali di masa depan.
Anom Kumbara menyebutkan, perkembangan industri pariwisata di Bali, misalnya, memberikan dampak kesejahteraan secara ekonomi terhadap Bali. Namun, kesejahteraan tersebut dinilai belum berkeadilan terhadap Bali.
”Webinar ini menjadi momentum memahami Bali yang dalam tanda kutip sedang bergejolak dalam konteks kebudayaan,” ujar Anom Kumbara mengawali webinar itu.
Dalam pemaparannya, Ngurah Suryawan menyatakan, kondisi Bali belakangan ini tidak terlepas dari perubahan situasi yang terjadi pada masyarakat Bali di masa 1965 dan setelahnya. Adapun dinamika perubahan di Bali saat ini, menurut Suryawan, juga dapat dicermati dari situasi pandemi Covid-19 dan pascapandemi Covid-19. Ngurah Suryawan berpandangan, isu kesenjangan dan ketidakadilan masih menjadi permasalahan di Bali.
”Pascapandemi ini perlu dicermati pula isu kesenjangan dan isu ketidakadilan sosial yang ditambah munculnya kelas sosial baru yang kelompok masyarakat yang jatuh miskin akibat pandemi Covid-19,” kata Ngurah Suryawan, akademisi Universitas Warmadewa, Denpasar.
Terkait upaya memahami dan menafsirkan dinamika masyarakat Bali saat ini, Ngurah Suryawan mendorong kalangan cendekia dan intelektual budaya di kampus agar berani mengkritisi dan memberikan pemaknaan melalui pendekatan keilmuan serta mendiseminasikan pemikiran kritis kaum intelektual budaya ke masyarakat.