Meski bibit siklon tropis sering muncul di wilayah perairan Nusa Tenggara Timur setiap awal dan akhir pergantian musim, tidak selalu memicu badai. Kendati demikian, kewaspadaan perlu ditingkatkan hingga ke desa-desa.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Meskipun bibit siklon tropis sering muncul di wilayah perairan Nusa Tenggara Timur setiap awal dan akhir pergantian musim, tidak semua bibit siklon tropis menghasilkan badai seperti badai Seroja, April 2021 lalu. Kendati demikian, masyarakat diminta waspada dan mengikuti informasi harian yang disampaikan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Kepala Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geologi Stasiun Metereologi El Tari Kupang Agung Sudiono Abadi di Kupang, Selasa (16/11/20210) mengatakan, berdasarkan hasil analisis dinamika atmosfer laut, La Nina masih berlangsung setidaknya hingga Mei 2022 dengan kecenderungan menuju netral.
Pada pergantian musim tahun ini, bibit siklon juga diprediksi bakal muncul. ”Wilayah NTT memang menjadi langganan kemunculan bibit siklon setiap pergantian musim, meski tidak selamanya menimbulkan badai,” kata Agung.
Sebelum badai Seroja pun ada siklon tropis yang melanda NTT. Itu terjadi pada saat pergantian tahun 2019/2020 dan pada musim pergantian tahun sebelumnya. Namun, siklon tidak menghasilkan badai dasyat. ”Jadi tidak perlu khawatir berlebihan, tetapi tetap ikuti informasi dari BMKG,” ujarnya.
Bibit siklon tropis itu biasanya muncul pada awal dan akhir pergantian musim, tetapi sebagian besar melemah karena berbagai faktor. Tetapi bisa menimbulkan terjadi puting beliung seperti sering terjadi di sejumlah wilayah di NTT.
Jadi tidak perlu khawatir berlebihan, tetapi tetap ikuti informasi dari BMKG. (Agung Sudiono)
Cuaca laut yang kurang bersahabat juga sering melanda perairan NTT sehingga masyarakat yang melakukan perjalanan laut, termasuk para nelayan, perlu waspada.
Adapun potensi hujan lebat disertai petir dan angin ribut bakal terjadi hingga 20 November 2021. Cuaca ekstrem ini menyebabkan bencana hidrometeorplogi. Masyarakat yang berdiam di wilayah rawan bencana longsor dan banjir diminta tetap waspada saat terjadi hujan lebat dan angin kencang.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTT Ambrosius Kodo mengatakan, telah menyurati semua kepala pelaksana BPBD kabupaten/kota untuk segera melakukan mitigasi bencana di daerah masing-masing. Masyarakat di setiap desa dan kecamatan perlu diberi peringatan dini akan ancaman bencana longsor, banjir, angin puting beliung, petir, dan hujan badai.
Kodo mengatakan, semua kepala desa di NTT melalui rapat virtual pekan lalu telah diperingatkan agar membangun posko bencana di desa masing-masing. ”Bisa saja posko Covid-19 itu diarahkan untuk posko bencana. Tetapi bagi desa yang belum memiliki posko Covid-19 segera membentuk posko bencana,” ujarnya.
Posko ini langsung berkolaborasi dengan pemerintah di tingkat kecamatan dan kabupaten/kota, dalam hal ini BPBD setempat. Dalam pertemuan itu telah disepakati agar posko bencana ini bisa dibentuk dari dana desa, menyatu dengan dana penanggulangan Covid-19 di desa.
Ketua Yayasan ”Tukelakang” Nusa Tenggara Timur Marianus Minggo mengatakan, kemunculan badai Seroja 3-5 April 2021 dengan sendirinya membuat masyarakat NTT mewaspadai kejadian serupa. Meski itu belum tentu terjadi kewaspadaan, perlu terus dibangun untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
Apalagi rasa trauma di kalangan sebagian masyarakat akibat badai siklon tropis Seroja, April 2021 masih ada. Memasuki musim hujan saat ini, masyarakat mulai mengantisipasi terjadinya badai serupa dengan membenahi kondisi rumah tinggal masing-masing, seperti mengganti atap seng yang bocor, karatan, dan mengganti kayu yang sudah lapuk.
Informasi lebih awal
Ia mengatakan, BMKG selalu memberi informasi lebih awal sebelum bencana muncul. Namun, pemda terkesan masa bodoh dengan peringatan BMKG itu dan bertindak seakan-akan tidak ada ancaman bencana ke depan.
”Ini terbukti dari badai Seroja itu. Saat itu beredar secara viral media sosial mengenai informasi BMKG lengkap dengan gambar titik siklon di Laut Sawu, tetapi tidak ditanggapi,” kata Minggo.
Karena NTT akrab dengan berbagai jenis bencana, posko bencana di desa-desa harus dibentuk. Posko bencana desa ini langsung terkoneksi secara daring dengan bupati, wakil bupati, kepala badan penanggulangan bencana, DPRD, dan TNI/Polri. Dengan demikian, ketika terjadi bencana di salah satu desa, para pengambil kebijakan dan penanggung jawab kebencanaan itu bisa segera turun lapangan.
Saat terjadi badai Seroja, 3-5 April 2021, sejumlah desa di NTT terisolasi, seperti Desa Tunbaun di Kecamatan Amarasi Barat, Desa Ponain di Kecamatan Amarasi, dan desa-desa di daerah terpencil. Desa-desa ini tidak tercatat di posko tanggap darurat kabupaten/kota dan provinsi sebagai desa terdampak.
”Setelah dua pekan, ada warga dari desa itu berjalan kaki keluar dari keterisolasian, kemudian melanjutkan perjalanan dengan kendaraan ojek ke kantor camat dan kantor bupati kemudian ada tanggapan. Jika ada posko bencana desa, itu lebih mudah terjadi komunikasi lintas, desa, kecamatan, akhirnya sampai ke pemkab dan pemprov,” kata Minggo.
Posko Covid-19 di setiap desa yang dibangun dengan dana desa mestinya juga diaktifkan sebagai posko bencana. Covid-19 di desa-desa sudah redah. Memasuki musim hujan tahun ini, posko bisa dialihkan menjadi posko bencana.
Dia menilai pemkab/pemkot belum memiliki sikap peduli terhadap ancaman bencana. Kebijakan mengantisipasi adanya bencana daerah tidak dimiliki. Ini ditandai dengan tidak ada alokasi anggaran kebencanaan, tidak terbentuk posko bencana di desa-desa, dan penanggulangan setelah bencana tidak jalan.
Semua penanganan dampak dari badai Seroja, 3-5 April 2021, diserahkan ke pemerintah pusat. Padahal, pemprov sendiri tidak bersedia bencana itu didorong menjadi bencana nasional dan menjadikan badai Seroja sebagai bencana daerah. Namun, sampai hari ini semua kerusakan akibat badai itu tidak ditanggulangi.
Sampai sekarang, menurut Minggo, salah satu titik ruas Jalan Taebenu, yang putus di tikungan Kali Liliba, dibiarkan tetap longsor. Tidak ada upaya membangun jembatan atau jalan darurat agar kendaraan bisa melintas. Padahal jalan itu bisa mengurai kepadatan kendaraan di Jalan El Tari, khususnya Jembatan Liliba yang saat ini semakin terbebani kendaraan akibat kepadatan dan kemacetan di titik Jembatan Liliba itu.
Musim hujan 2019/2020 jembatan itu pernah dilaporkan sempat goyang akibat penumpukan kendaraan di atasnya. Setelah badai Seroja 2021, dirinya sangsi ada yang mengecek kondisi Jembatan Liliba.
Musim hujan 2021/2022 beban jembatan itu dipastikan meningkat karena semua kendaraan mengantre untuk melintas di atasnya. ”Sikap antisipatif rendah bahkan tidak ada. Setelah kejadian baru bertindak dan minta bantuan dari pusat,” kata Minggo.