Bencana Seroja di NTT Didorong Jadi Bencana Nasional
Bencana Badai Siklon Tropis Seroja yang memporak-porandakan Nusa Tenggara Timur, 3-5 April 2021 mestinya layak didorong dan ditetapkan menjadi bencana nasional. Untuk itu dibutuhkan data lapangan yang kuat dari semua se
KUPANG, KOMPAS - Bencana Badai Siklon Tropis Seroja yang memporak-porandakan Nusa Tenggara Timur, 3-5 April 2021 mestinya layak didorong dan ditetapkan menjadi bencana nasional. Untuk itu dibutuhkan data lapangan yang kuat dari semua sektor karena ancaman rawan pangan dan ketakberdayaan warga ke depan, tidak ditawar lagi.
Jika tidak menjadi bencana nasional, harus ada aksi konkrit, tidak sekadar distribusi logistik dari pendonor.
Untuk mendorong ke bencana nasional menurut Dekan Fakultas Pertanian Universitas Negeri Nusa Cendana (Undana) Kupang, Damianus Adar di Kupang, Rabu (21/4/2021) sangat dibutuhkan data-data kerusakan di semua sektor.
Pengumpulan data ini tidak sulit kalau melibatkan Ketua RT/RW di semua desa, dan kelurahan. Mereka mendata kerusakan, tidak hanya rumah warga tetapi juga kerusakan lahan, irigasi, bendungan, embung, infrastruktur jalan, jembatan, fasilitas kesehatan dan perhubungan.
Dari data akan diverifikasi dan dikaji, apakah layak menjadi bencana nasional atau tidak. Jika kerusakan itu dalam skala besar, tentu didorong atau ditetapkan menjadi bencana nasional.
Belajar dari gempa bumi dan tsunami di Maumere 1992, hanya satu kabupaten dan dampaknya tidak seluruh desa di Sikka saja, ditetapkan jadi bencana nasional, apalagi NTT menyeluruh tahun ini.
Masalah di NTT sangat kompleks. Cara menangani pun tidak mudah. Harus lebih mengutamakan kerja di lapangan ketimbang bicara atau rapat di ruangan (Damianus Adar)
Anggota Kelompok Kerja Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian ini mengatakan, Pemda harus sigap menghadapi bencana ini. Jika data saja tidak ada, bagaimana Pemda mulai bekerja, menangani seluruh kerusakan itu.
Baca juga : Kemunculan Danau di Kupang dipicu Curah Hujan Tinggi
Rawan pangan
Ancaman rawan pangan bagi NTT beberapa bulan ke depan tidak bisa ditawar. Pasca bencana, masyarakat masih bergantung pada bantuan penderma, yang bakal bertahan sampai Mei 2021 ini. Setelah itu, Juni – Desember 2021, bakal terjadi musibah kelaparan di NTT.
Saat ini, di Pulau Adonara Flores Timur, harga bahan pokok sudah mulai melonjak. Beras termurah misalnya, sebelum bencana Rp 12.000 per kg – Rp 15.000 per kg. Hal ini sebagai indikasi stok pangan mulai menipis di pulau itu pasca bencana, di sisi lain, daya beli masyarakat mulai menurun. Mereka tidak punya dana lagi untuk berbelanja. Tidak ada bencana saja kehidupan sudah terpuruk, apalagi adanya bencana.
Di tengah kondisi daya beli yang rendah ini, warga harus membangun (memperbaiki) rumah, menyekolahkan anak, membeli pulsa listrik, biaya pulsa telekomunikasi, dan biaya kesehatan.
Akibat pandemi Covid-19, sebagian besar dari mereka diberhentikan dari pekerjaan. Pandemi juga, mereka harus menjaga imunitas tubuh, dan berbelanja APD. Belum lagi belalang kembara yang terus menyerang Pulau Sumba.
“Masalah di NTT sangat kompleks. Cara menangani pun tidak mudah. Harus lebih mengutamakan kerja di lapangan ketimbang bicara atau rapat di ruangan. Kondisi masyarakat NTT dari sisi pangan untuk 2-3 bulan ke depan, bakal sulit,”katanya.
Baca juga : Polri Kirim Tim Psikologi untuk Sembuhkan Trauma Korban Badai Seroja di NTT
Ia menilai, NTT saat ini masuk daerah termiskin ketiga nasional. Itu status yang disandang sebelum ada Badai Seroja. Jika BPS melakukan kajian ke depan, NTT bisa saja menempati urutan kedua atau pertama nasional kemiskinan.
Kondisi di lapangan sudah jelas memperlihatkan kerusakan sangat parah di semua sektor. Kerusakan itu tinggal didata, diidentifikasi, diverisikasi, dan ditetapkan menjadi bencana nasional.
Dengan status bencana nasional, presiden akan mengeluarkan kebijakan, guna mendorong percepatan rehabilitasi, dan recovery semua sektor yang rusak di NTT oleh para menteri. Ini tentu sangat membantu Pemprov dan masyarakat NTT, yang selama ini terkenal dengan kemiskinan dan keterbelakangan.
Provinsi NTB misalnya, saat gempa bumi disusul tsunami tahun 2019 di Lombok, pemerintah menetapkan sebagai bencana nasional. Semua kementerian turun langsung membangun NTB sampai benar-benar pulih. Padahal, tsunami saat itu tidak menimpa seluruh wilayah NTB.
Baca juga : Ratusan Pengungsi Badai Seroja di Kota Kupang Masih Bertahan
Jika Pemprov menolak status bencana nasional, segera mungkin bertindak di lapangan. “Bukan dengan membagi sembako dari pendonor. Saat warga mendapatkan sembako, mereka pun diajak segera menanam di lokasi yang masih ada air, atau daerah lembab. Jangan mereka terus bergantung dari bantuan itu,”katanya.
Ketua Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Agung Kupang RD Handrianus Lanus Pr mengatakan, saat ini masyarakat terdampak masih mendapatkan bantuan pangan dari berbagai pihak. Bantuan itu paling bertahan, 1-2 bulan. “Setelah itu mereka terancam rawan pangan luar biasa, terutama warga yang sawah atau ladang dibawa banjir dan longsor, termasuk juga rumah tinggal. Itu benar-benar sangat dikwatirkan,”kata Lanus.
Anggota DPRD NTT Patris Lali Wolo mengatakan, sangat mendukung pernyataan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Melki Laka Lena agar Badai Seroja di NTT ditetapkan sebagai bencana nasional. Kepala daerah harus berpikir dari sisi kesulitan hidup dan kepentingan masyarakat.
“Kita tidak boleh gengsi atau malu menetapkan Seroja sebagai bencana nasional. Ini bukan skala bencana daerah. Jika hanya gagal panen dan rawan pangan seperti tahun-tahun sebelumnya, boleh menjadi masalah daerah,”katanya.
Baca juga : Masuk Lima Besar Penduduk Miskin Terbanyak di Indonesia, Pemprov NTT Nilai Wajar
Merugikan
Gubernur NTT Viktor Laiskodat mengatakan, jika ditetapkan bencana nasional, dapat berimbas pada penetapan travel warning dari negara-negara lain. Ini merugikan ekonomi NTT dari sektor pariwisata terutama saat semua kerusakan sudah dibangun tetapi travel warning belum dicabut. Negosiasi lebih lanjut terkait pencabutan status itu harus dilakukan pada level antarnegara.
Ia mengatakan, salah satu tujuan penetapan status bencana nasional, yakni bencana itu ditangani secara tanggap darurat, termasuk rehabilitasi daerah yang terdampak.
Presiden Joko Widodo langsung mengambil langkah langsung dengan melakukan penyelamatan dan evakuasi korban bencana terutama di Adonara, dan Lembata. BNPB, TNI dan Polri bekerjasama menangani warga yang terdampak.
Kementerian terkait ikut berperan bukan hanya penanganan pasca bencana tetapi ikut berperan mempersiapkan program rehabilitasi dan rekonstruski. “Ini menunjukan kedekatan hubungan Pemprov dengan pemerintah pusat, tanpa harus melalui pendekatan normal administrative,”kata Laiskodat.
Baca juga : Pastikan Bantuan Korban Bencana Seroja di NTT Tepat Sasaran