Kekerasan Seksual dalam Keluarga di Kota Tegal Melonjak Selama Pandemi
Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kota Tegal, Jawa Tengah, terus melonjak selama pandemi. Yang terbaru, kasus kekerasan seksual dilakukan oleh ayah kandung dan paman korban di rumah mereka.
Oleh
KRISTI D UTAMI
·3 menit baca
TEGAL, KOMPAS — Jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kota Tegal, Jawa Tengah, melonjak selama pandemi Covid-19. Kebanyakan, pelaku kekerasan seksual terhadap anak merupakan orang terdekat korban dan sebagian besar dilakukan di rumah.
Kasus kekerasan seksual itu, antara lain, menimpa bocah berusia 10 tahun dan pelajar berusia 17 tahun. Pelakunya adalah keluarga dan kerabat mereka.
Berdasarkan data Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Tegal Kota, jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak pada tahun pertama pandemi atau tahun 2020 sebanyak enam kasus. Jumlah itu meningkat tajam dari jumlah kasus sepanjang 2019, yakni satu kasus.
Peningkatan jumlah kasus kekerasan seksual anak kembali terjadi pada 2021. Sepanjang Januari-November 2021, sedikitnya delapan kasus kekerasan seksual terhadap anak berhasil diungkap.
”Kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak yang berhasil kami ungkap di Kota Tegal ini pelakunya adalah orang-orang dekat korban. Karena itu, saya mengimbau masyarakat untuk menjaga dan mengawasi keluarganya. Di samping itu, mari meningkatkan keimanan agar terhindar dari perbuatan-perbuatan seperti itu,” kata Kepala Polres Tegal Kota Ajun Komisaris Besar Rahmad Hidayat dalam konferensi pers, Senin (15/11/2021).
Dalam sebulan terakhir, setidaknya ada dua kasus kekerasan terhadap anak yang dilakukan orang-orang dekat korban. Dua peristiwa itu terjadi di tempat yang seharusnya menjadi tempat paling aman, yakni rumah korban.
Dua peristiwa kekerasan seksual itu terjadi di tempat yang harusnya menjadi tempat paling aman, yakni rumah korban.
Kasus pertama menimpa bocah berusia sepuluh tahun berinisial S. Pelaku kekerasan seksual terhadap S ialah M (34), yang merupakan ayah kandungnya. Agar perbuatannya tidak terbongkar, M selalu mengancam akan membunuh S dan ibunya jika S mengadu. Kasus itu akhirnya terungkap setelah ibu korban memergoki M sedang mengancam S. Begitu tahu anaknya mendapatkan kekerasan seksual, ibu korban melapor polisi. M kemudian ditangkap beberapa hari setelah laporan tersebut diproses.
”(Saya) melakukan hal tersebut karena kebanyakan menonton film porno,” ujar M, yang juga mengaku mengancam anaknya.
Kasus kedua menimpa seorang pelajar sekolah menengah atas, yakni KA (17). KA mendapatkan kekerasan seksual dari pamannya, R (52). R memperdaya KA dan mengiming-imingi sejumlah uang untuk melancarkan perbuatannya. R bahkan sempat menjanjikan akan menikahi KA.
”Saya biasanya melakukan perbuatan itu di rumah korban pada malam hari. Biar tidak ketahuan orangtua korban, saya masuk lewat pintu belakang. Saya khilaf jadi melakukan perbuatan itu,” ujar R.
Pada suatu malam di bulan Oktober, kekerasan seksual yang dilakukan R diketahui orangtua korban. Setelah itu, korban langsung dibawa ke rumah sakit dan R dilaporkan ke Polres Tegal Kota.
M dan R disangkakan melanggar Pasal 81 Ayat 3 juncto Pasal 76D dan atau Pasal 82 Ayat 2 juncto Pasal 76E Undang-Undang RI Nomor 17 tentang Perlindungan Anak. Keduanya diancam hukuman penjara sembilan tahun. ”Ancaman hukuman itu masih bisa lebih berat karena tersangka merupakan ayah kandung korban,” kata Rahmad.
Tak hanya menghukum para tersangka, polisi juga berfokus pada pemulihan korban. Dalam pemulihan korban, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Tegal Kota bekerja sama dengan psikolog khusus perempuan dan anak.
Menurut Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Tegal Kota Ajun Inspektur Polisi Dua Aan Ristianti, kondisi korban S sangat murung dan terpukul. Korban S bahkan sempat mengancam akan bunuh diri. Sementara itu, kondisi korban KA dinilai tampak ceria dan bisa melakukan kegiatan sehari-harinya seperti biasa.
”Respons korban setelah mengalami kekerasan seksual memang berbeda-beda, tergantung kondisi mentalnya. Pemulihan psikologi kedua korban tetap akan kami lakukan karena kejadian seperti itu merupakan pengalaman yang traumatis bagi korban. Kami tidak ingin kejadian yang menimpa para korban saat ini berdampak buruk bagi masa depan mereka,” kata Aan.