Saat Tiga Menteri Suarakan Merdeka dari Kekerasan Seksual di Kampus
Dari hasil survei, kasus kerasan seksual di kampus tak banyak terungkap. Lahirnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Ristek, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 membawa harapan bagi korban untuk mendapat keadilan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Tiga menteri tampil bersama, Jumat (12/11/2021), untuk menyampaikan pesan kepada publik agar bersama mencegah kekerasan seksual, termasuk di lingkungan perguruan tinggi. Kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja dan menimbulkan trauma berkepanjangan bagi korban.
Selain Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim, juga tampil berbicara Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Mereka berbicara dalam Peluncuran Merdeka Belajar Episode Keempat Belas: ”Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual”, Jumat lalu secara daring, yang digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi patut diapresiasi. Kegiatan itu menjadi momentum bagi negara untuk menyuarakan stop kekerasan seksual.
”Kita saat ini dalam situasi darurat, ya, bisa dibilang situasi gawat darurat. Di mana kita bukan ada hanya saja ada satu pandemi Covid-19, tetapi juga ada pandemi kekerasan seksual dilihat dari data apa pun,” kata Nadiem.
Menurut Nadiem, kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi sudah berada pada tingkat mengkhawatirkan, menyusul survei yang dilakukan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek), Kemendikbudristek tahun 2020.
”Kita melakukan survei langsung. Survei kepada dosen kita, bukan mahasiswa. Kalau mahasiswa mungkin akan lebih besar lagi, tetapi kita menanyakan dosen-dosen kita, apakah kekerasan seksual pernah terjadi di kampus anda, dan 77 persen merespons bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus kita, dan 63 persen dari kasus tersebut tidak dilaporkan,” kata Nadiem.
Kondisi tersebut menunjukkan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi sudah ada dan merupakan fenomena gunung es. ”Kekerasan seksual di semua kampus sudah ada. Karena itu, kita harus mengambil posisi sebagai pemerintah untuk melindungi mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan kita dari kekerasan seksual,” kata Nadiem.
Kekerasan seksual di semua kampus sudah ada. Karena itu, kita harus mengambil posisi sebagai pemerintah untuk melindungi mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan kita dari kekerasan seksual.
Survei tersebut juga didukung data Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yang menyebutkan, dari semua aduan kekerasan seksual yang terjadi di semua jenjang pendidikan, sebanyak 27 persen terjadi di jenjang pendidikan tinggi.
Situasi ini mendorong lahirnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi atau Permen PPKS.
Kampus yang manusiawi
Peraturan Mendikbudristek tentang PPKS diharapkan menjadi pedoman bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan serta penanganan kekerasan seksual terkait pelaksanaan tridarma di dalam atau di luar kampus;
Selain itu, aturan tersebut bertujuan untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus di perguruan tinggi.
Selain mahasiswa dan pendidik, aturan itu juga menyasar tenaga kependidikan, warga kampus, dan masyarakat umum yang berinteraksi dengan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam pelaksanaan tridarma perguruan tinggi.
Satuan tugas
Karena itu, setelah terbitnya Permen PPKS, Kemendikbudristek menargetkan hingga Februari 2022 mendatang setidaknya 30 persen dari jumlah total perguruan tinggi di Indonesia sudah membentuk satuan tugas (satgas) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Langkah Kemendikbudristek diapresiasi kementerian/lembaga terkait. Menteri PPPA Bintang Darmawati berharap setiap sivitas akademika perguruan tinggi di Indonesia menangkap semangat Permen PPKS. ”Dengan penuh semangat ikut menumbuhkan kehidupan sivitas akademika yang aman, mengedepankan kemanusiaan, serta berlandaskan pada kesetaraan, dan keadilan,” ujarnya.
Meski Indonesia sudah 76 tahun merdeka, kenyataannya belum semua warga negara merasakan arti kemerdekaan tersebut. Berbagai ketimpangan masih terjadi. Hal itu menempatkan perempuan dan anak selaku kelompok rentan pada sejumlah isu yang mengancam kualitas hidupnya, salah satunya kekerasan seksual, yang terjadi di berbagai ruang, termasuk di perguruan tinggi.
”Yang lebih memprihatinkan, fakta menunjukkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi, kerap kali tidak tertangani dengan semestinya. Hal itu memberikan dampak luar biasa terhadap kondisi mental dan fisik korban,” katanya.
Membangun peradaban
Terkait hal itu, Bintang mengajak semua lapisan masyarakat berkolaborasi dalam proses implementasi Permendikbuddikti tentang PPKS, demi menjadikan perguruan tinggi sebagai tempat membumikan kemerdekaan, membangun peradaban, dan mendorong kemajuan, demi meraih Indonesia maju.
Dukungan sepenuhnya juga disampaikan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Lahirnya Permen PPKS memperkuat langkah Kementerian Agama (Kemenag) dua tahun lalu, yang menerbitkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.
Dia menegaskan, tidak ada alasan untuk tidak mendukung aturan yang dinilainya sangat revolutif itu karena membongkar kekerasan seksual yang selama ini mengalami kebuntuan dan stagnasi. ”Dengan regulasi ini, dunia perguruan tinggi jadi panutan, jadi duta antikekerasan seksual dan kekerasan lain sehingga lingkungan kampus merdeka dari kekerasan,” kata Yaqut.
Karena itu, semua pihak perlu memberi dukungan demi masa depan Indonesia lebih baik. Harapan tiga menteri itu menjadi sinyal bahwa negara akan hadir melindungi para korban kekerasan seksual, tidak hanya di kampus, tetapi juga di mana saja. Implementasi aturan tersebut dinantikan, seraya terus memperjuangkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi undang-undang.