Polda Sulut Usut 14 Kasus Tambang Ilegal dalam Sembilan Bulan
Selama Maret-November 2021, Polda Sulawesi Utara menangani belasan kasus pertambangan emas tanpa izin di beberapa lokasi yang sama dari tahun ke tahun. Pemprov mendorong pembentukan koperasi untuk memudahkan kontrol.
Oleh
Kristian Oka Prasetyadi
·4 menit baca
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Berbagai zat kimia seperti kapur serta larutan asam disimpan di gubuk dekat wilayah pertambangan emas tanpa izin di Tanah Mahamu, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, Minggu (8/8/2021).
MANADO, KOMPAS — Selama Maret-November 2021, kepolisian di Sulawesi Utara menangani belasan kasus pertambangan emas tanpa izin di beberapa lokasi yang sama dari tahun ke tahun. Agar dampak lingkungan lebih mudah dikontrol, Pemerintah Provinsi Sulut mendorong masyarakat mengurus izin pertambangan rakyat sekaligus mendirikan koperasi.
Melalui siaran pers yang diterima Kompas, Kamis (11/11/2021), Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Sulut Komisaris Besar Jules Abraham Abast mengatakan, ada 14 kasus pertambangan emas tanpa izin (PETI) yang ditangani sejak Inspektur Jenderal Nana Sudjana dilantik sebagai Kepala Polda Sulut, Maret 2021. Sebanyak 23 orang ditahan sebagai tersangka.
Dari 14 kasus tersebut, lima kasus ditangani Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulut, enam kasus oleh Kepolisian Resor (Polres) Minahasa Tenggara, dan dua kasus oleh Polres Bolaang Mongondow Timur. Satu kasus lagi menjadi tanggung jawab Polres Kotamobagu.
PETI yang ditertibkan kepolisian paling banyak ditemukan di daerah Ratatotok, Minahasa Tenggara, tepatnya sembilan kasus. Jules menyebut beberapa nama desa dan area perkebunan, seperti Desa Ampreng, Perkebunan Buyayut, dan Perkebunan Alason. Namun, wilayah yang paling disoroti adalah Kebun Raya Megawati Soekarnoputri.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Petambang menarik material yang dikatrol dari salah satu lubang tambang emas, Sabtu (7/8/2021), di Kampung Bowone, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.
”Di sana, ada empat kasus PETI yang sudah P21 (dilimpahkan ke kejaksaan), sementara satu lagi masih dalam penyidikan. Selain terlibat aktivitas PETI, para tersangka juga diduga merusak hutan di kebun raya,” kata Jules.
Kebun Raya Megawati Soekarnoputri yang luasnya 221 hektar adalah hasil reklamasi bekas tambang PT Newmont Minahasa Raya yang beroperasi di sana pada 1996-2004. Tambang itu ditutup setelah warga desa di sekitar Teluk Buyat menderita penyakit misterius, diduga karena pembuangan limbah (tailing) berbahaya dan beracun ke laut.
Namun, sejak itu wilayah yang dulu dikenal sebagai situs tambang Messel tersebut didatangi ribuan warga dari sejumlah daerah, baik di Sulut maupun provinsi lain, yang ingin mengeruk kandungan emas yang masih tersisa. Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara telah intensif menutup aktivitas PETI sejak 2020, tetapi belum membuahkan hasil berarti.
Jatuhnya korban jiwa karena tertimbun longsor ketika sedang menggali material di dalam lubang kerap terjadi. Di samping itu, para petambang sering terlibat cekcok yang berujung pada penikaman.
Selain di Ratatotok, PETI juga masih ditemukan di Desa Bakan, Kecamatan Lolayan, Bolaang Mongondow. Tiga tersangka yang ditetapkan Polres Kotamobagu pada Juli 2021 segera menjalani proses persidangan. Sebelumnya, pada Februari 2019, sebanyak 37 petambang terbenam di lubang-lubang tambang akibat longsor besar.
Untuk memberikan efek jera kepada para petambang ilegal, kata Jules, kepolisian menyita perlengkapan yang digunakan dalam penggalian emas, termasuk alat berat ekskavator. ”Namun, dalam jangka panjang, PETI harus ditangani dalam kolaborasi bersama pemerintah daerah dan instansi terkait lainnya,” ujar Jules.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah mengatakan, pemerintah juga perlu menerapkan pendekatan persuasif terhadap masyarakat untuk peralihan kegiatan ekonomi. Sebab, tidak bisa dimungkiri para petambang menggantungkan hidupnya pada lubang-lubang tambang emas ilegal tersebut.
”Tugas pemerintah adalah menyediakan pilihan-pilihan mata pencarian baru yang lebih berkelanjutan, seperti memberikan modal pertanian atau kenelayanan. Solusi seperti ini bisa mendorong transisi ekonomi dari ketergantungan terhadap tambang rakyat tak berizin menuju kegiatan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan,” ujar Merah.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Para petambang emas memecah material batuan di fasilitas pengolahan Koperasi Batu Emas di Desa Tatelu, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Sabtu (6/11/2021).
Di sisi lain, Pemerintah Provinsi Sulut menyatakan pihaknya tidak anti terhadap tambang emas asalkan memiliki perizinan yang jelas. Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Sulut Ronald Sorongan mengatakan, para petambang emas rakyat tidak akan berkonfrontasi dengan aparat jika beraktivitas di wilayah pertambangan rakyat (WPR) resmi.
Sejauh ini, sudah ada 127 koperasi di Sulut yang beranggotakan petambang rakyat. Sebagian beraktivitas hanya di dua WPR di Sulut, yaitu di Desa Tatelu (Minahasa Utara) dan Tobongon, Bolaang Mongondow Timur. Beberapa koperasi lain beraktivitas di wilayah berstatus izin usaha pertambangan.
Menurut Ronald, para petambang rakyat memiliki peluang besar untuk mendapat bantuan dan pembinaan untuk mencegah dampak-dampak buruk pada lingkungan, misalnya dalam pengelolaan limbah. Ia mencontohkan, Koperasi Serba Usaha Batu Emas di Desa Tatelu telah diajari mengekstraksi emas dengan zat asam amino yang tidak berbahaya dengan campuran sedikit sianida.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sulut Marly Gumalag juga menyebut koperasi akan lebih mudah mendapatkan izin lingkungan sehingga lebih menjamin kelestarian alam. ”Pemantauan akan lebih mudah karena koperasi memiliki kewajiban untuk melaporkan segala aktivitasnya, terutama produksi emas,” katanya.