Musim Ombak Tinggi, Kapal Asing, dan Minyak Tumpah di Perairan Kepri
Periode cuaca buruk di perairan Kepulauan Riau rawan dimanfaatkan kapal asing untuk menangkap ikan secara ilegal dan membuang limbah minyak hitam. Nelayan lagi-lagi disuguhi periode kelam melaut.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Musim angin utara yang membawa ombak tinggi mulai melanda perairan Kepulauan Riau. Di saat seperti itulah kekhawatiran nelayan berlipat karena bersamaan dengan keberadaan kapal asing penangkap ikan secara ilegal dan limbah-limbah minyak yang dibuang sembarang di perairan Kepri.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri, Rabu (10/11/2021), mengatakan, sebenarnya musim angin utara juga menandai musim ikan tongkol di Laut Natuna Utara. Namun, nelayan lokal tidak dapat memanfaatkan potensi itu secara maksimal karena kapal mereka tidak memadai untuk berlayar melawan ombak musim angin utara yang tingginya 5-7 meter.
Mayoritas nelayan tradisional di Natuna hanya mengandalkan kapal berukuran 3-5 groston. Mereka memakai alat tangkap pancing ulur untuk menangkap ikan karang serta pancing tonda untuk menangkap ikan tongkol.
Musim angin utara di Kepri akan berlangsung dari November hingga Februari pada setiap tahun. Adapun puncak musim angin utara biasanya akan terjadi antara Desember atau Januari. Selama periode itu banyak nelayan Natuna akan beralih profesi dengan bekerja di kebun kelapa dan kebun cengkeh.
”Intensitas patroli aparat juga semakin jarang saat musim angin utara. Hal itu akhirnya dimanfaatkan kapal ikan asing untuk menangkap ikan secara ilegal di Laut Natuna Utara,” kata Hendri.
Peningkatan intrusi kapal asing di Laut Natuna Utara yang paling parah terjadi pada akhir 2019 hingga awal 2020. Saat itu, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan memobilisasi nelayan cantrang dari pantai utara Jawa untuk mengisi kekosongan di Laut Natuna Utara.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Badan Keamanan Laut (Bakamla) Kolonel Wisnu Pramandita mengatakan, personel Bakamla terus melakukan patroli rutin bersama aparat dari TNI Angkatan Laut serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kapal aparat yang disiagakan di Natuna berukuran panjang 80 meter ke atas sehingga tetap bisa beroperasi di tengah laut musim utara yang ganas.
Sementara itu, nelayan di Bintan, Kepri, khawatir musim angin utara akan membawa limbah minyak hitam ke pesisir utara pulau tersebut. Sejak 1970-an, setiap akhir tahun, pesisir utara Pulau Bintan selalu dikotori limbah minyak kapal yang masih saja misterius.
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Bintan Syukur Hariyanto mengatakan, limbah minyak hitam merusak ekosistem laut. Padang lamun di Bintan yang menjadi habitat penyu serta dugong mati karena limbah tersebut.
Meskipun pencemaran minyak di pesisir Bintan tidak terjadi dalam skala yang membawa malapetaka, hal itu tetap mengakibatkan kerugian ekologi dan ekonomi yang tidak sedikit. Minyak bumi yang merupakan campuran hidrokarbon dan unsur lain membentuk lebih dari 17.000 senyawa kimia. Sebagian senyawa di antaranya bersifat toksik, karsinogenik, dan mutagenik.
”Alat tangkap nelayan juga rusak kalau terkena limbah minyak hitam. Limbah yang lengket dan panas itu susah dibersihkan jika menempel di jaring nelayan,” ujar Syukur.
Menurut Guru Besar Bidang Pencemaran Laut dan Bioremediasi Universitas Maritim Raja Ali Haji, Agung Dhamar Syakti, pencemaran minyak hitam di Pulau Bintan merupakan kejadian yang disengaja. Kapal sengaja membuang minyak saat musim angin utara agar limbah mereka jangan sampai terbawa arus ke Singapura, tetapi ke Batam atau Bintan (Kompas.id, 10/1/2021).