Tak sekalipun aparat mampu menangkap pencemar minyak di perairan Pulau Batam dan Bintan. Mereka bak hantu yang gesit berkelebat. Keriuhan di Selat Singapura justru menjadi persembunyian paling sempurna.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Beberapa camar bertengger di kayu kering yang tertancap di Pantai Nongsa, Kota Batam, Kepulauan Riau, Senin (4/1/2021). Kawasan pesisir itu tengah tercemar limbah minyak yang diduga berasal dari bangkai kapal yang tenggelam di perairan Johor, Malaysia.
Sejak 1970-an, setiap musim angin utara, perairan Pulau Batam dan Bintan, Kepulauan Riau, selalu dikotori limbah minyak kapal yang misterius. Tak sekalipun aparat mampu menangkap pelakunya. Mereka bak hantu laut yang gesit berkelebat. Keramaian Selat Singapura justru menjadi persembunyian yang paling sempurna.
Tujuh camar bertengger di ujung kayu kering yang menyembul di Pantai Nongsa, Batam, Senin (4/1/2021). Bulu mereka yang putih bersih kontras dengan perairan sekitar yang tercemar minyak hitam dan berbau sangit. Namun, manusia di sana tak terlalu peduli dengan pemandangan itu. Mereka sudah kebas karena mengalami bencana serupa setiap tahun.
”Warga pening karena masalah (pencemaran) ini terjadi secara rutin selama puluhan tahun. Kami sudah berulang kali mengeluh ke pemerintah, tetapi tidak ada reaksi sama sekali,” kata Ketua Lembaga Adat Melayu Kecamatan Nongsa, Mazlan Madiun.
Warga pening karena masalah (pencemaran) ini terjadi secara rutin selama puluhan tahun.
Limbah minyak yang mengotori Pantai Nongsa pada 3-4 Januari itu membentang lebih kurang 1 kilometer (km) sampai wilayah resor Nuvasa Bay. Pada 5 Januari, upaya pembersihan pantai oleh warga dan petugas Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam menghasilkan 152 karung minyak hitam yang tercampur sampah, jika ditotal beratnya sekitar 7 ton.
Guru Besar Bidang Pencemaran Laut dan Bioremediasi Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjung Pinang, Agung Dhamar Syakti mengatakan, limbah minyak kapal memang rutin mencemari pesisir Pulau Batam dan Bintan antara November dan Maret saat musim angin utara. Gelombang kuat yang terjadi pada periode itu membawa limbah minyak dari sekitar Selat Singapura ke selatan, yakni perairan Pulau Batam dan Bintan.
”Yang terjadi di pesisir Kepri adalah pencemaran yang disengaja. Kapal-kapal sengaja membuang minyak saat musim angin utara agar limbah mereka jangan sampai terbawa arus ke Singapura, tetapi ke Batam dan Bintan. Mereka berani berbuat begitu karena patroli Indonesia tidak seketat Singapura,” kata Agung.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Sebuah kapal kargo melintas di perairan dekat Pulau Putri, Kota Batam, Kepulauan Riau, yang tercemar limbah minyak, Senin (4/1/2020). Perairan tersebut tercemar limbah minyak yang diduga berasal dari bangkai kapal yang tenggelam di perairan Johor, Malaysia.
Kapal yang akan berlabuh di Singapura harus dalam kondisi sudah bersih. Oleh karena biaya pembersihan sisa bahan bakar atau sisa angkutan minyak itu sangat tinggi, sejumlah kapal membuang limbah di laut.
Meskipun pencemaran minyak di perairan Kepri tidak terjadi dalam skala yang katastrofe, hal itu tetap mengakibatkan kerugian ekologi dan ekonomi yang tidak sedikit. Minyak bumi yang merupakan campuran hidrokarbon dan unsur lain membentuk lebih dari 17.000 senyawa kimia. Sebagian senyawa di antaranya bersifat toksik, karsinogenik, dan mutagenik.
”Yang paling terdampak adalah biota yang hidupnya menetap, misalnya kerang. Kandungan berbahaya dalam minyak akan terserap jaringan lemak dan protein mereka. Ini akan menjadi masalah kalau hewan itu kemudian dikonsumsi manusia,” ujar Agung.
KOMPAS/DOKUMENTASI RESOR BANYAN TREE
Limbah minyak hitam memenuhi salah satu titik pantai di kawasan wisata Lagoi, Bintan, Kepulauan Riau, Minggu (19/1/2020). Pencemaran serupa selalu berulang hampir setiap tahun pada November hingga Februari bertepatan dengan musim angin utara.
Kerugian yang lebih besar terjadi di sektor pariwisata. Pada Januari 2020, delapan resor di Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Lagoi, Bintan, melaporkan kerugian ekonomi yang terjadi akibat pencemaran minyak mencapai Rp 2,3 miliar. Kerugian itu meliputi biaya pembersihan pantai hingga biaya pembatalan kamar.
”Perkaranya lalu siapa yang harus bertanggung jawab membayar semua (kerugian) itu? Pemerintah sudah tentu tidak mau dan pelakunya juga tidak pernah tertangkap,” ucap Agung.
Perkaranya lalu siapa yang harus bertanggung jawab membayar semua (kerugian) itu? Pemerintah sudah tentu tidak mau dan pelakunya juga tidak pernah tertangkap.
Mengenai hal itu, Kepala Kantor Pemantauan Informasi Marabahaya Laut, Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kolonel Ade Prasetya menyatakan, penyebab tumpahan minyak di Kepri tidak selalu disebabkan oleh perbuatan yang disengaja. ”Misalnya, yang sekarang terjadi di Pantai Nongsa itu, kan, penyebabnya kecelakan kapal,” ujarnya.
Menurut Ade, Bakamla masih menyelidiki penyebab pasti pencemaran minyak di Pantai Nongsa. Namun, dari kesimpulan awal, diperkirakan tumpahan minyak itu berasal dari Kapal MT Wanda yang karam di perairan Johor, Malaysia, April 2020. Bangkai kapal itu lalu terbawa arus dan hanyut sampai ke perairan Pulau Putri, Batam.
Kejahatan besar
Skytruth, sebuah organisasi yang memantau polusi minyak secara global menggunakan citra satelit, menilai, pencemaran minyak sama jahatnya dengan penangkapan ikan secara ilegal dan perompakan. Meski demikian, banyak negara, termasuk Indonesia, belum menganggap hal tersebut sebagai persoalan serius.
Pada 2019, hasil kajian Skytruth menunjukkan, pembuangan limbah minyak oleh kapal niaga tidak terjadi di lokasi yang acak, tetapi hanya di jalur pelayaran internasional yang ramai, seperti Selat Singapura. Negara-negara di kawasan rawan tersebut perlu meningkatkan kerja sama untuk mendeteksi polusi perairan agar kapal tidak berlaku sembarangan. Kapal nakal harus dibuat sadar ada banyak mata di sejumlah negara yang mengawasi.
Sebenarnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki Bali Radar Ground Receiving Station (Barata) yang dioperasikan Balai Riset dan Observasi Laut (BROL) Jembrana, Bali. Barata merupakan stasiun yang dapat menerima downlink atau sinyal radio frequency yang dipancarkan satelit radar ke stasiun bumi dari dua data secara langsung. Data itu didapat dari Radarsat milik Kanada dan Cosmo-SkyMed milik Italia.
Untuk mengetahui kasus tumpahan minyak, BROL menggunakan sistem identifikasi otomatis (automatic identification system/AIS) karena kapal penumpah minyak cenderung berukuran di atas 300 GT. Setelah data radar diterima dan diekstrak, BROL akan melakukan analisis overlay data dengan AIS yang disajikan secara berkala untuk mendeteksi lokasi kapal nakal tersebut (Kompas, 31/8/2020).
Seorang pengunjung mengamati limbah minyak yang mengotori Pantai Nongsa, Kota Batam, Kepulauan Riau, Senin (4/1/2020). Pencemaran minyak di pesisir Batam dan Bintan merupakan kejadian rutin yang dialami hampir setiap tahun sejak 1970-an.
Namun, Kepala Pangkalan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Tanjung Uban, Bintan, Handry Sulfian mengatakan, kapal penumpah minyak biasanya akan mematikan AIS supaya pergerakannya tidak terdeteksi. Pangkalan KPLP Tanjung Uban juga belum pernah menerima data satelit yang menunjukkan lokasi kapal penumpah minyak secara akurat. Oleh karena itu, mereka kesulitan jika harus bersiaga 24 jam di laut untuk mengawasi dan menindak kapal penumpah minyak yang melintas di jalur pelayaran internasional.
”Itu, kan, kapal asing sehingga penegakan hukum harus melibatkan kerja sama semua instansi yang berkepentingan di laut. Namun, khusus di laut teritorial 0-12 mil (22,2 km), saya pastikan KPLP sudah berpatroli secara rutin untuk mengawasi kapal yang labuh jangkar,” ucapnya.
Menanggapi hal itu, Asisten Deputi Pengelolaan Perubahan Iklim dan Kebencanaan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kus Prisetiahadi mengatakan, Barata memiliki kekurangan karena hanya dapat melakukan deteksi dua kali dalam satu hari. Dengan teknologi itu, aparat masih kesulitan menangkap pelaku.
”Ada jeda waktu yang tidak terpantau. Padahal, dalam beberapa jam saja (kapal penumpah minyak) sudah bisa kabur ke lokasi yang jauh. Itu yang masih menjadi tantangan bagi kami sebagai pemerintah,” kata Kus.
Secara terpisah, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional Indonesia (INSA) Batam Osman Hasyim mengatakan, ada banyak perusahaan di Batam yang menawarkan jasa pembersihan sisa minyak di kapal niaga. Maka, tidak ada alasan lagi untuk memaklumi pembuangan limbah minyak di laut.
”Kalau sudah disediakan tempat membuang limbah, tetapi ada orang yang masih tidak mau pakai, itu artinya dia memang nakal. Kapal yang seperti itu harus ditindak tegas karena sungguh merugikan,” ujar Osman.
Selama ini, aparat sangat aktif menindak kapal asing yang menangkap ikan secara ilegal. Ketegasan serupa dibutuhkan untuk menyingkap tabir misteri pelaku penumpah minyak di perairan Batam-Bintan. Pemerintah seharusnya tidak tinggal diam melihat kapal nakal terus bebas gentayangan bak hantu laut yang tak terjamah. Sudah selayaknya mereka dihukum karena telah menebar tulah hitam yang meracuni pesisir dan seisinya.
Dua wisatawan tengah bermain di dekat sebuah tugu di Pulau Putri, Kota Batam, Kepulauan Riau, Senin (4/1/2020). Perairan perbatasan Indonesia dengan Singapura itu tengah tercemar limbah minyak yang diduga berasal dari bangkai kapal yang tenggelam di perairan Johor, Malaysia.