Meski Berulang, Banjir di Kalteng Tak Pernah Dibuat Kajian
Banjir masih menjadi salah satu masalah utama di Kalimantan Tengah. Namun, meski bencana berulang, pemerintah daerah belum pernah membuat kajian apa pun terkait banjir. Penyebab utama banjir pun masih gamang.
PALANGKARAYA, KOMPAS — Banjir Kalimantan Tengah terjadi setiap tahun. Meski berulang, pemerintah belum memiliki kajian menyeluruh terkait bencana tahunan itu. Penanganan pun hanya sebatas koordinasi dan memberikan bantuan.
Banjir tahun 2021 melanda Kalimantan Tengah sebanyak tiga kali. Berdasarkan catatan Kompas, banjir mulai melanda sejumlah daerah sejak Juli. Lalu, pada Agustus, banjir melanda setidaknya tujuh kabupaten. Sempat surut, banjir kembali melanda pada September, bahkan saat itu beberapa daerah sudah terendam sejak Agustus.
Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Kalteng mencatat, banjir terjadi di 11 kabupaten/kota, 23 kecamatan, serta 123 kelurahan dan desa, dengan jumlah 12.006 keluarga atau 17.759 orang terdampak banjir di seluruh Kalimantan Tengah. Banjir juga membuat 109 keluarga mengungsi ke posko-posko darurat yang disiapkan pemerintah kecamatan.
Baca juga : Banjir Datang Ladang Tak Ditanam
Sebanyak enam kabupaten saat itu menetapkan status siaga darurat, yakni Kabupaten Katingan, Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, Seruyan, Lamandau, dan Kabupaten Gunung Mas. Sementara Kabupaten Pulang Pisau menetapkan status siaga darurat bencana banjir.
Di Katingan, banjir juga merusak kebun warga. Sekitar 80 persen dari total lahan pertanian 18.860 hektar terendam banjir, khususnya di 12 kecamatan dari total 13 kecamatan. Di Kotawaringin Timur, setidaknya 3.500 hektar sawah terendam banjir dan membuat petani gagal panen.
Sunarti (41), warga Kuluk Bali, Kecamatan Pulau Malan, Kabupaten Katingan, mengaku, lahannya seluas hampir 1 hektar terendam banjir dan tidak bisa ditanami padi lagi. Ladangnya rusak dan masih terendam luapan air Sungai Katingan.
”Seharusnya bulan ini sudah tumbuh, sekarang mau nanam juga enggak bisa dengan cuaca yang seperti ini,” kata Sunarti di rumahnya pada Kamis (4/11/2021).
Bukan hanya Sunarti. Hal serupa juga dirasakan Agustin (36) di Tewang Karangan. Kebun karet dan kebun sawit yang luasnya mencapai 2 hektar juga terendam banjir sehingga tak berbuah dan makin sulit diakses.
Baca juga : Banjir Luwu Kini dan Dulu
”Harus naik kelotok (perahu kayu bermesin) untuk ke kebun. Kalau hujan begini juga tidak bisa menyadap karet, apalagi saat banjir, mau mikir panen karet atau menyelamatkan diri,” kata Agus, sapaan akrabnya.
Pelaksana Tugas Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Katingan Yosafat Segah mengungkapkan, selama banjir belum ada kajian menyeluruh yang dibuat, baik di daerah maupun di provinsi. Ia sendiri sadar bahwa kajian itu sangat penting untuk mengetahui masalah sebenarnya dari bencana banjir yang berulang.
Meskipun demikian, pihaknya sudah membentuk Tim Satuan Tugas Kebencanaan Desa sejak tahun 2016 untuk mengantisipasi dan menanggulangi berbagai bencana, mulai dari kebakaran lahan hingga banjir tahunan. Tim tersebut terbentuk di 13 kecamatan, 68 desa, dengan jumlah anggota 791.
”Mereka merupakan ujung tombak penanganan awal terkait pencegahan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana,” ungkap Yosafat.
Baca juga: Bersiaplah Bila Seroja Datang Lagi
Menurut Yosafat, pihaknya tidak kekurangan sumber daya manusia (SDM). Namun, SDM yang ada hanya untuk melakukan penanganan darurat. Tak ada pembuat kajian ataupun penelitian apalagi riset.
”Sebenarnya memang harus seperti itu agar paham betul masalah utama dari bencana ini apa dan bisa menjawab pertanyaan lainnya,” kata Yosafat.
Untuk sarana dan pra sarana, lanjut Yosafat, pihaknya hanya memiliki dua perahu mesin untuk melakukan evakuasi. Semua peralatan untuk melakukan evakuasi dan pengawasan saat banjir kali lalu merupakan peralatan dari instansi lainnya, mulai dari kepolisian hingga pemerintah provinsi.
Hal serupa juga diutarakan Pelaksana Tugas Kepala Pelaksana BPBPK Kalteng Erlin Hadi. Menurut dia, selama ini upaya pencegahan baru sebatas koordinasi dan sosialisasi. Pihak provinsi hanya meneruskan prakiraan cuaca dari BMKG agar daerah bisa mengantisipasi cuaca ekstrem.
”Kami juga meminta mereka menyiapkan sarana dan prasarana agar saat banjir datang evakuasi dan penyelamatan bisa dilakukan segera,” ujar Erlin.
Baca juga : Banjir Bandang, Mitologi Jawa dan Penanda yang Kita Lupakan
Erlin menjelaskan, pihaknya memanfaatkan metode koordinasi pentahelix dalam penanganan bencana agar bisa dihubungkan dalam setiap program di beberapa instansi. Hal itu merupakan mitigasi bencana Kalteng yang selama ini dilakukan.
”Di samping memang mitigasi yang berbasis ke masyarakat secara menyeluruh, sosialisasi kebencanaan itu contoh kegiatan kecil agar masyarakat bisa antisipasi bila terjadi banjir,” ungkap Erlin.
Menurut Erlin, pemerintah kabupaten dan kota memiliki peran penting untuk melakukan penanganan dan antisipasi banjir. ”Kami (provinsi) hanya bersifat mendukung,” ujarnya.
Hingga saat ini, pemerintah masih melakukan pendataan untuk menghitung kerugian. Meski banjir sudah berlalu hampir sebulan, pendataan untuk jumlah kerusakan dan kerugian meterial hingga kini belum selesai.
Penyebab
Erlin Hardi menjelaskan, banjir kali ini disebabkan cuaca ekstrem yang melanda bahkan sebelum musim hujan dimulai. Intensitas hujan tinggi sebabkan debit air di sungai kian tinggi hingga akhirnya meluap ke permukiman warga.
Upaya pemda adalah memantau tinggi muka air, sosialisasi ke setiap wilayah untuk selalu waspada, hingga evakuasi korban banjir. Selain itu, mereka juga berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota mendistribusikan bantuan. ”Katingan dan Kotawaringin Timur menjadi wilayah yang cukup parah terendam banjir kali ini,” ungkapnya.
Menurut Erlin, dalam menghadapi dan mengantisipasi banjir, pihaknya melakukan koordinasi berbagai pihak, khususnya pemerintah daerah, agar mereka lebih siap dan waspada terhadap segala potensi bencana di wilayahnya.
Hal berbeda diungkapkan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Dimas Novian Hartono yang tidak menampik terjadi cuaca ekstrem. Namun, hal itu hanya pemicu. Deforestasi, alih fungsi lahan, dan pertambangan legal ataupun ilegal menjadi masalah utama yang belum usai.
Memberikan bantuan dan distribusi itu penting, tetapi memperbaiki lingkungan lebih penting lagi. Perlu ada evaluasi perizinan, audit lingkungan, dan penegakan hukum perlu segera dilakukan
”Daya dukung dan daya tahan alam terus menurun karena kerusakan di bagian hulu sampai hilir. Hilangnya hutan membentuk erosi sehingga tak ada lagi yang menahan,” katanya.
Dimas menjelaskan, tahun 2011 BPS Kalteng mencatat ada pendangkalan di Sungai Katingan. Lebar sungai yang mencapai 200-250 meter, kedalamannya hanya 6 meter. Akibatnya, saat hujan turun sungai tak mampu lagi menampung beban debit air.
”Memberikan bantuan dan distribusi itu penting, tetapi memperbaiki lingkungan lebih penting lagi. Perlu ada evaluasi perizinan, audit lingkungan, dan penegakan hukum perlu segera dilakukan,” ucap Dimas.