Banjir Luwu, Kini dan Dulu
Sejumlah wilayah di Luwu dan Luwu Utara hingga kini rawan bencana. Namun, sebagian masih dihuni warga. Hal ini membuat warga hidup di bawah bayang-bayang bencana.
Lebih dari sebulan terakhir, Marliani (36) bolak-balik antara rumahnya dan pengungsian yang masih dalam satu wilayah di Kecamatan Walenrang Utara, Luwu, Sulawesi Selatan. Sehari-hari ia pagi di rumah dan sore ke bangunan sekolah untuk tidur di sana.
Longsor awal Oktober yang menewaskan empat anak masih membayangi Marliani dan warga desa lain. Saat itu, longsor disertai banjir menerjang desa mereka. Ketakutan belum pulih, akhir Oktober, banjir kembali melanda desa mereka.
Longsor itu menyisakan jejak tebing retak dan mengelupas di belakang permukiman warga. Beberapa bagiannya sudah ambrol. Yang lainnya seperti menunggu waktu menyusul runtuh. Hujan yang terus turun belakangan ini membuat warga terus dicekam kekhawatiran.
”Kalau di rumah, kami ketakutan membayangkan bencana bisa terjadi setiap saat. Jika malam, terlebih saat hujan turun, kami tak bisa tidur. Makanya kami memilih mengungsi setiap sore. Pagi pulang hanya untuk membereskan rumah,” kata Marliani yang ditemui di lokasi pengungsian SD 648 Sangtandung di Kecamatan Walenrang Utara, Jumat (29/10/2021).
Di Walenrang Utara, akhir pekan lalu, beberapa titik jalan tampak tertimbun longsor. Di bawah tebing berjejer rumah warga. Beberapa titik perkampungan diapit tebing dan jurang. Di beberapa bagian, permukiman berada di bantaran sungai.
Baca juga : Empat Korban Tewas Dievakuasi dari Lokasi Longso di Luwu
Jika di Walenrang Utara, Luwu, warga bolak-balik antara rumah dan pengungsian, di Luwu Utara lain lagi. Saat ini, sejumlah warga nekat kembali tinggal di rumah mereka yang tahun lalu diterjang banjir bandang besar. Setahun lewat, sebagian desa lain serupa desa mati. Banjir bandang di Luwu Utara terjadi pada Juli tahun lalu dan menewaskan 38 orang. Sepuluh orang dinyatakan hilang. Ribuan rumah rusak berat dan sedang.
Baso Maskur (43), warga Dusun Patambua, Desa Radda, Luwu Utara, contohnya. Kondisi rumahnya yang rusak ringan membuatnya nekat kembali. Padahal, Radda adalah salah satu desa yang cukup parah diterjang banjir bandang. Baso sadar bahwa bencana setiap saat bisa mengancam.
”Namun, mau apa lagi. Saat bencana tahun lalu, sekitar tujuh bulan saya tinggal di pengungsian. Setelah itu saya menumpang di rumah keluarga, tetapi rasanya tidak enak menumpang terus. Saya akhirnya kembali ke rumah. Saya bersihkan dan benahi sedikit kerusakan,” katanya.
Saat ini proyek pembangunan hunian tetap (huntap) bagi korban banjir bandang Luwu Utara masih dalam proses. Ada tiga wilayah yang menjadi lokasi huntap. Salah satunya di Tomakaka, Radda, di mana 143 rumah kini sedang dalam tahap penyelesaian.
Hunian tetap ini adalah jenis rumah Domus yang terbuat dari baja ringan Adapun huntap lain juga di Radda adalah rumah Risha yang terbuat dari beton. Rumah ini umumnya berdiri di atas tanah berukuran 8 meter x 13 meter dengan luas bangunan 36 meter persegi atau 5 meter x 7,2 meter.
Baca juga : 12.000 Warga di Luwu Terisolasi akibat Banjir dan Longsor
”Dalam kontrak mestinya selesai Maret tahun depan, tetapi kami ditarget jika bisa selesai Desember ini. Kami membangun sejak Agustus lalu,” kata Hengki Susmanyo, pelaksana lapangan dari PT Sakura Makmur Lestari yang membangun huntap di Luwu Utara. Perusahaan ini telah membangun huntap di beberapa wilayah setelah bencana, di antaranya Palu, Lombok, dan Kendari.
Saat ini warga yang menunggu selesainya huntap tersebar di banyak tempat. Sebagian masih tinggal di rumah kontrakan, ada pula yang menumpang di rumah kerabat.
Kerawanan tinggi
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Luwu Aminuddin Alwy mengakui, saat ini kondisi di Walenrang Utara dan beberapa kecamatan lain memang terbilang rawan. Bahkan, BPBD menilai sejumlah permukiman warga sudah tak layak huni.
”Persoalannya, sebagian warga masih enggan direlokasi. Pemerintah desa juga belum memasukkan atau membuat pemetaan wilayah mana saja yang bisa menjadi lokasi relokasi yang aman,” katanya.
Ketua Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas) Adi Maulana mengatakan, tingkat kerawanan bencana di sejumlah wilayah di Luwu dan Luwu Utara memang tinggi. Selain kondisi alam, iklim juga sangat rentan menyebabkan bencana hidrometeorologi.
”Wilayah hulu sungai, terutama dataran tinggi di Luwu Utara, sudah mengalami degradasi akibat pembukaan lahan. Yang membuat tingkat kerawanannya tinggi adalah bebatuan di wilayah itu berupa batu granit dan pasirnya adalah pasir kuarsa. Jenis ini sangat mudah lapuk dan cukup resisten. Material ini bisa terbawa air sampai cukup jauh,” katanya.
Pantauan Kompas di Luwu Utara akhir Oktober lalu menunjukkan, sungai yang melewati Luwu Utara menjadi sangat dangkal. Ketinggian muka air sungai sudah nyaris setinggi permukiman. Material pasir dan bebatuan terus terbawa air. Pemerintah setempat terus membangun tanggul di sepanjang sungai dan permukiman.
Ada tiga sungai besar melintasi Luwu Utara yang juga meluap saat banjir bandang tahun lalu, yakni Sungai Rongkong, Sungai Radda, dan Sungai Masamba. Perhitungan Tim Pusat Studi Kebencanaan Unhas pascabanjir bandang tahun lalu mencatat, sedikitnya lebih dari 222 juta meter kubik material terbawa banjir.
Adi mengatakan, dalam kondisi seperti ini yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengurusi hulu sungai. Membangun kantong-kantong penahan pasir di hulu adalah salah satu solusi.
Baca juga : Bekas Lokasi Banjir Bandang Luwu Utara Waspadai Puncak Hujan
”Kantong-kantong atau penahan ini penting untuk mencegah material terbawa ke hilir. Setiap saat pengerukan bisa dilakukan di kantong-kantong penahan material. Sementara untuk memperbaiki wilayah hulu, saya sarankan agar tak ada lagi pembukaan lahan, baik untuk perkebunan maupun permukiman. Dengan material bebatuan dan pasir yang ada di sana sangat riskan jika tutupannya terus berkurang,” katanya.
Adapun di wilayah hilir, Adi mengatakan, zonasi perlu dipetakan untuk melihat mana daerah merah, kuning, dan hijau. Merah sebaiknya dikosongkan dari permukiman dan dibuat ruang terbuka hijau. Adapun zona kuning bisa ditempati dengan catatan di titik tertentu. Permukiman dan fasilitas umum sebaliknya ditetapkan di zona hijau. Hal ini juga disarankan untuk Luwu.
Adi yang juga Ketua Tim Penyusunan Dokumen Penanggulangan Bencana Sulsel mengingatkan, Sulsel masuk dalam 10 besar provinsi dengan indeks risiko bencana tinggi. Dua jenis bencana yang membayangi Sulsel adalah banjir dan longsor.
Oleh karena itu, pemerintah kota dan kabupaten diminta meninjau ulang tata ruang wilayah yang sudah disusun untuk melihat lagi wilayah dengan kerawanan bencana tinggi. Ini perlu sebagai mitigasi dan mengurangi dampak bencana seperti dirasakan banyak warga, seperti Marliani dan Baso.