Perusakan Brantas yang Turut Memberantas Kehidupan
Rehabilitasi dan mitigasi di Batu, Jawa Timur, agar bencana fatal tidak berulang akan membentur dinding terjal mengingat segala aktivitas dan kekuatan ekonomi berkontribusi terhadap peningkatan risiko bencana.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·5 menit baca
Mitigasi bencana di Batu, Jawa Timur, agar banjir bandang pada Kamis (4/11/2021) tidak berulang, sepertinya tak mudah. Penopang ekonomi utama di Batu adalah pertanian terutama tanaman sayur, dan pariwisata. Keduanya membuka lahan di hulu.
Aparatur mengklaim telah menemukan sumber banjir bandang, yakni jebolnya bendung alam di perbukitan di barat daya-selatan lereng Gunung Arjuno. Aparatur berjanji segera menerapkan kebijakan komprehensif, misalnya merehabilitasi kawasan kritis, merelokasi penduduk dari lokasi risiko tinggi bencana, dan lebih bijak dalam perizinan penataan dan pemanfaatan lahan atau ruang.
Banjir bandang menerjang desa-desa di Kecamatan Bumiaji, yakni Sumberbrantas, Tulungrejo, Sidomulyo, Sumbergondo, Bulukerto, Bumiaji, dan Punten. Dampak terparah dialami Bulukerto. Lima dari tujuh warga yang meninggal diterjang banjir bandang berasal dari desa di selatan lereng Arjuno ini. Bencana berdampak terhadap 89 keluarga atau hampir 400 jiwa. Material lumpur, pasir, batu, dan kayu merusak 35 rumah, menimbun 33 rumah, dan menghanyutkan 10 kandang, 107 hewan ternak, 73 sepeda motor, dan 7 mobil di Bulukerto.
”Bulukerto belum pernah dihajar bencana seperti ini. Tapi, banjir bandang pernah terjadi tahun 2004 sebatas di Sumberbrantas,” kata Camat Bumiaji Bambang Hari Suliyan.
Banjir bandang pernah menerjang Sumberbrantas pada 3 Februari 2004 yang turut merusak kawasan Arboretum Sumberbrantas, tempat mata air Sungai Brantas. Setelah itu, setiap musim hujan, skala bencana mengecil menjadi tanah longsor. Namun, banjir bandang yang berdampak meluas berulang hampir 18 tahun kemudian atau 4 November 2021.
Asal material banjir bandang sudah diketahui, yakni dari guratan perbukitan yang longsor di sisi barat daya-selatan lereng Arjuno. Kawasan itu mencakup Sumberbrantas, Tulungrejo, Sumbergondo, dan Bulukerto. Perbukitan longsor karena minim pepohonan akibat pembukaan lahan untuk produksi hasil hutan, pariwisata, dan atau budidaya pertanian.
Menurut catatan Perum Jasa Tirta I yang bertugas memelihara Arboretum Sumberbrantas, tutupan hutan atau tegakan di hulu Sungai Brantas tersisa 20 persen atau jauh dari kondisi minimal yang 50 persen. Di Sumberbrantas dan Tulungrejo, perbukitan dimanfaatkan untuk pertanian terutama sayur yang berkarakteristik risiko tinggi membawa bencana terutama erosi dan tanah longsor.
Namun, menurut sesepuh warga Sumberbrantas Suyanto, pembukaan hutan untuk budidaya pertanian sudah berlangsung sejak zaman kolonial Hindia-Belanda. Sebelum Indonesia merdeka 1945, Sumberbrantas adalah kawasan perkebunan teh, sedangkan arboretum untuk kina. Setelah kemerdekaan, aset-aset kolonial dikuasai negara dan masyarakat. Lahan budidaya pertanian di Sumberbrantas berstatus milik warga dan bersertifikat meski berupa bukit, gundukan, dan tebing.
”Di Sumberbrantas, budidaya pertanian setahu saya tidak ada yang berada di lahan milik negara atau yang dikuasai badan usaha milik negara (Perhutani),” kata Sunardi, warga Sumberbrantas.
Semua pihak bisa berkilah, emoh disalahkan. Tanpa perlu mencari kambing hitam, alam sudah memperlihatkan sendiri fakta-fakta yang diperlukan. Kawasan hulu Sungai Brantas telah rusak karena minim tegakan akibat pembukaan hutan untuk budidaya pertanian, pariwisata, dan atau bangunan.
”Kalau kawasan tidak direhabilitasi, dibiarkan terus seperti itu, banjir bandang pasti berulang,” ujar Amien Widodo, peneliti senior Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
Banjir bandang terkait jebolnya bendung alam di perbukitan bagian atas wilayah Bulukerto, Sumbergondo, dan Tulungrejo. Hujan deras menjadi pelicin yang memuluskan material tanah, lumpur, pasir, batu, dan kayu hasil tebangan meluncur dan menghantam apa saja di depannya sampai terhenti atau masuk ke aliran Sungai Brantas.
Amien mengatakan, banjir bandang di Sumberbrantas terjadi kembali setelah 18 tahun. Mungkin tahun-tahun berikutnya, banjir bandang belum akan kembali menghantam wilayah Bulukerto dan sekitarnya. Namun, jika tidak ada pemulihan dan penataan kawasan termasuk permukiman warga, banjir bandang akan kembali datang dan terus menghantui kehidupan masyarakat terutama di musim hujan.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, di Daerah Aliran Sungai Brantas yang mencakup 16 kabupaten dan 6 kota di Jatim dari 38 daerah se-provinsi, kurun dua dasawarsa atau 1998-2018 tercatat 247 kejadian tanah longsor. Kurun 1998-2009, maksimal terjadi 4 tanah longsor dalam setahun. Namun, sejak 2010 sampai 2018, frekuensi melonjak dari 3 kejadian tanah longsor (2012) menjadi 57 peristiwa serupa (2016).
Ikatan Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Brawijaya, Malang, pada 2018 pernah mendata jumlah mata air di Batu yang ketika itu masih ada di 52 lokasi. Namun, dalam berbagai penelitian sebelumnya pernah tercatat ada 111 mata air. Situasi ini jelas peringatan kepada seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat tentang kerentanan atau risiko bencana di Batu.
Jual beli
Sulitnya merehabilitasi atau menghutankan hulu Sungai Brantas terutama kepemilikan tanah atau lahan mayoritas dipegang masyarakat. Sejak awal milenium, jual beli tanah marak. Kalangan petani menjual ladang atau kebun mereka karena merasa rugi jika terus budidaya. Pembelinya warga desa, warga ekonomi mapan atau pejabat di Jatim hingga Jakarta.
Karena dimiliki oleh masyarakat, tentu menjadi hak mereka untuk memaksimalkan aset tersebut agar mendatangkan benefit ekonomi. Ada yang menyewakannya kepada petani. Ada yang membangun hotel, restoran, kedai, vila, atau rumah singgah peristirahatan. Pemilik lahan skala luas menjadikan asetnya obyek wisata. Artinya, menghutankan aset tidak membawa benefit ekonomi.
Spanduk jual beli tanah dan bangunan di Bumiaji memang tidak marak. Namun, Kompas menemukan setidaknya enam pengumuman penjualan aset itu di sepanjang Jalan Bukit Berbunga-Jalan Raya Tulungrejo-Jalan Raya Sumberbrantas. Di tepi Jalan Raya Sumberbrantas terbentang spanduk penjualan lahan pertanian seluas 1,285 hektar atau 12.850 meter persegi berstatus sertifikat hak milik.
”Tanah ini milik warga Sumberbrantas yang sudah pindah ke Surabaya karena mungkin perlu uang untuk usaha baru,” ujar petani penggarap lahan yang akan dijual itu.
Rehabilitasi juga akan terbentur karakter kekuatan ekonomi Batu yang dijuluki ”kota wisata”, ”kota bulan madu”, bahkan ”Swiss Indonesia” ini. Berdasarkan produk domestik regional bruto (PDRB) 2020 yang bernilai Rp 15,92 triliiun, penyokong terbesar adalah kelompok perdagangan dan reparasi kendaraan (18,6 persen). Selanjutnya kelompok pertanian, kehutanan, perikanan (15,8 persen) dan kelompok jasa (14,6 persen).
Ketiga kelompok kekuatan ekonomi itu adalah wajah kekuatan Batu. Kelompok budidaya pertanian, kehutanan, perikanan yang berkontribusi terhadap peningkatan bencana ternyata menjadi salah satu pilar utama kekuatan ekonomi Batu. Jasa dan perdagangan sebagai dua pilar lainnya terwujud dalam kepariwisataan.
Sudah saatnya kekuatan ekonomi Batu dalam perdagangan, pertanian, dan jasa atau pariwisata mengakomodasi kepentingan pelestarian alam dan mitigasi bencana agar lebih aman.