Habiskan Rp 138 Miliar, Konflik dan Perburuan Satwa di Aceh Belum Reda
Konflik, perburuan, dan kerusakan habitat satwa lindung terus terjadi di Aceh. Perlu evaluasi menyeluruh bagaimana penggunaan anggaran untuk perlindungan satwa di Aceh agar benar-benar berjalan sesuai rencana.
Oleh
ZULKARNAINI MASRY
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Sejak 2012 hingga 2021, Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera) telah menggelontorkan anggaran Rp 138,017 miliar untuk perlindungan satwa di Provinsi Aceh. Namun, kerusakan habitat, konflik satwa, dan perburuan belum mereda. Dampak yang ada dinilai tidak sebanding dengan anggaran yang dihabiskan.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nur, Rabu (3/11/2021), menuturkan perlu evaluasi menyeluruh bagaimana penggunaan anggaran untuk perlindungan satwa di Aceh agar benar-benar berjalan sesuai rencana.
Pada akhir tahun 2021, TFCA-Sumatera juga mengalokasikan dana Rp 22 miliar untuk program yang sama. Namun, pemenang hibah belum diumumkan. Adapun total anggaran dari 2012 hingga akhir 2021 menjadi Rp 160 miliar lebih. Jika dibagi per tahun, menjadi sekitar Rp 17,7 miliar untuk perlindungan satwa.
”Fakta di lapangan, kerusakan hutan, kematian satwa, konflik, dan perburuan terhadap satwa lindung terus terjadi. Dampak perlindungan tidak sebanding dengan anggaran yang dihabiskan,” kata Nur.
Berdasarkan data dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, sejak 2015 hingga 2019 konflik satwa gajah terjadi sebanyak 366 kali. Setiap tahun, konflik memang meningkat, misalnya pada 2015 terjadi sebanyak 39, naik menjadi 73 pada 2018, dan konflik semakin masif pada 2019 menjadi 107 kali.
Sementara jumlah gajah yang mati pada 2015 hingga 2021 sebanyak 46 ekor. Kematian gajah disebabkan 57 persen konflik, 33 persen mati alami, dan 10 persen perburuan.
Kasus perdagangan kulit harimau juga masih terjadi. Orangutan ditembak dengan senapan angin. ”Artinya, penggunaan anggaran belum menyelesaikan persoalan konflik satwa-manusia,” kata Nur.
Dampak perlindungan tidak sebanding dengan anggaran yang dihabiskan.
Konflik gajah bukan hanya berdampak pada keberlangsungan hidup satwa, melainkan juga memberikan dampak kerugian ekonomi pada warga. ”Namun, warga yang terdampak tidak pernah diberi ganti rugi dan minim dilibatkan. Mereka hanya menjadi obyek atas program perlindungan satwa,” kata Nur.
Nur mengatakan, semestinya dengan anggaran sebesar itu warga yang berada di kawasan hutan dapat dilibatkan penuh sebagai komunitas perlindungan satwa di garis utama.
Program Aksi Nyata Konservasi Hutan Tropis Sumatera merupakan satu skema pengalihan utang untuk lingkungan (debt-for-nature swap) oleh Pemerintah Amerika Serikat dengan Pemerintah Indonesia yang ditujukan untuk melestarikan kawasan hutan tropis di Sumatera.
Kesepakatan di antara kedua negara dan para pihak yang terlibat ditandatangani pada 30 Juni 2009 bertempat di Manggala Wanabhakti, Jakarta.
Dihubungi secara terpisah, Manajer Informasi dan Komunikasi TFCA-Sumatera Ali Sofiawan mengatakan, dalam kerja-kerja yang berhubungan dengan isu konservasi memang membutuhkan dana besar. Sebab, persoalan yang terjadi di lapangan kompleks.
Ali menuturkan, anggaran yang dikelola oleh konsorsium program konservasi di Aceh digunakan untuk penanganan konflik, proteksi kawasan, pemeliharaan kesehatan gajah, pembangunan fasilitas untuk menghindari konflik satwa, dan pengawasan penindakan hukum.
”Konservasi butuh dana besar karena konservasi itu nilainya memang besar, bagi alam dan bagi umat manusia,” kata Ali.