Guru Penganiaya Siswa hingga Meninggal di Alor Jadi Tersangka
SK (34) guru pelaku penganiyaan siswa SMP hingga tewas di Alor, NTT, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penyidik segera merampungkan berkas perkara penyidikan sehingga penegakan dan keadilan hukum segera terwujud.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·4 menit baca
KALABAHI, KOMPAS — SK (34), guru pelaku penganiayaan siswa SMP hingga tewas di Alor, Nusa Tenggara Timur, ditetapkan sebagai tersangka. Polisi segera merampungkan berkas perkara penyidikan sehingga secepat mungkin dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Alor untuk diproses. Kasus tindak kekerasan terhadap anak di Alor dan NTT umumnya masih tinggi, butuh kerja sama semua pihak mengatasi masalah ini.
Kepala Kepolisian Resor Alor Ajun Komisaris Besar Agustinus Chrismas Try Suryanto dihubungi di Kalabahi, Senin (1/11/2021), mengatakan, penyidik telah memeriksa sembilan saksi. Mereka adalah lima teman kelas korban, satu guru, kedua orangtua korban, paman korban, dan pelapor orangtua angkat korban.
”Saat gelar perkara dengan mengevaluasi hasil penyidikan dari sembilan saksi, pelaku penganiayaan, guru SK dinaikkan statusnya menjadi tersangka. Yang bersangkutan saat ini ditahan di Polres Alor sejak awal laporan dari orangtua, yakni 25 Oktober 2021, guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,” kata Suryanto.
Jika hari ini kita menanamkan kekerasan terhadap mereka, ke depan, mereka juga akan menamkan kekerasan serupa terhadap generasi berikut.
Korban MM (13), siswa kelas VII SMPN Padang Panjang, dianiaya SK pada Sabtu (23/10/2021) karena korban tidak mengerjakan tugas bahasa Inggris. Ia dipukul pelaku dengan kepalan tangan di bagian puncak kepala sangat kuat, ditendang dengan kaki kanan di bagian pantat, dipukul dengan belahan bambu di pantat dan betis sampai luka memar.
Keesokan harinya, pada 24 Oktober 2021, korban dibawa ke Puskesmas Lantona. Namun dokter di sana tidak mampu menangani sakit korban sehingga dirujuk ke RSUD Kalabahi dengan catatan hasil visum dari dokter puskesmas. Selasa (26/10/2021) korban meninggal dunia di RSUD Kalabahi.
Selain korban, pelaku juga menganiaya lima rekan korban lain, tetapi kelima anak ini hanya mengalami luka memar, tidak cedera parah seperti MM. ”Penyidik sangat hati-hati memeriksa kelima rekan korban ini karena mereka masih di bawah umur. Penyidik harus memiliki cara tertentu agar saksi ini tetap gembira, bahagia, tidak dibawa tekanan, dan leluasa menjawab penyidik. Ini yang membuat penetapan tersangka terhadap pelaku sedikit lambat,” katanya.
Barang bukti yang telah diamankan berupa satu belahan bambu yang digunakan pelaku memukul pantat dan betis korban, hasil autopsi dari RSUD Kalabahi, dan hasil visum dari Puskesmas Lantona di Kecamatan Alor Timur, yang melakukan pemeriksaan awal terhadap korban penganiayaan.
Suryanto mengapresiasi orangtua dan anggota keluarga korban, yang membuat laporan pada 26 Oktober 2021 dan menyerahkan sepenuhnya kasus tersebut ke polisi untuk diproses hukum. Mereka menghormati proses hukum meski sejak awal pihak orangtua sudah meyakini kasus kematian MM akibat penganiayaan guru bersangkutan.
Penyidik segera merampungkan berkas pemeriksaan tersangka sehingga secepat mungkin diserahkan ke Kejaksaan Negeri Alor untuk diproses di Pengadilan. Hanya ada satu pelaku, yakni SK. Kepala SMPN Padang Panjang, Kecamatan Alor Timur, Frans Etlu, tempat korban belajar pun sudah diperiksa. Kejadian itu berlangsung di dalam ruang kelas VII SMP, tanpa pengetahuan Frans Etlu.
Kapolres mengatakan, kasus tindak kekerasan terhadap anak-anak di Alor sangat tinggi. Pelecehan seksual, pemerkosaan, penganiayaan, kekerasan verbal berupa ancaman dan penghinaan, penelantaran, dan pemaksaan kehendak oleh orang dewasa.
”Kami terus melakukan sosialisasi guna menekan kasus ini di masyarakat dengan melibatkan polsek dan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Tentu polisi tidak sendirian tetapi juga bekerja sama dengan pemda, LSM, tokoh agama, tokoh pemuda, dan tokoh masyarakat,” kata Suryanto.
Anggota Komite Nasional Pemuda Indonesia Kabupaten Alor, Johanis Atamai, mengatakan, sampai hari ini masih ada sebagian besar orangtua, dan guru yang berprofesi sebagai pendidik dan pembina, menilai tindak kekerasan sebagai bagian dari pembinaan anak-anak. Padahal, tindak kekerasan semakin menekan anak dan membuat anak bertumbuh dan berkembang tidak sesuai harapan.
Anak-anak yang hidup dalam tekanan kekerasan baik fisik ataupun kekerasan verbal selalu tumbuh dan berkembang dalam ketakutan dan kekhawatiran. Kondisi ini membuat potensi bakat dan talenta yang dimiliki anak-anak itu tidak berkembang sesuai harapan. Mereka butuh pendampingan dan kasih sayang dari orang-orang terdekat seperti orangtua, anggota keluarga, teman-teman, guru, dan lingkungan sekitar.
Direktur Yayasan Perlindungan Perempuan dan Anak NTT Tory Ata mengatakan, anak-anak adalah generasi penerus bangsa. Kemajuan NTT ke depan tergantung dari bagaimana pemda dalam hal ini Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak, orangtua, dan semua pemangku kepentingan memberi perhatian dan menyiapkan mereka. Kerja sama semua pihak perlu dibangun.
”Jika hari ini kita menanamkan kekerasan terhadap mereka, ke depan, mereka juga akan menamkan kekerasan serupa terhadap generasi berikut. Itu bakal berulang dari generasi ke generasi karena kekerasan terhadap anak hari ini adalah warisan kekerasan sebelumnya. Kekerasan masih dianggap lumrah oleh sebagian orang NTT terkait pendidikan anak. Mereka masih memegang peribahasa tua, diujung rotan ada emas. Ini salah,” kata Ata.
Anak-anak harus dididik dengan penuh kasih sayang, tanggung jawab, perhatian, kejujuran, keterbukaan, dan saling berbagi. Pendidikan seperti ini ditanamkan sejak dari dalam kandungan sampai mereka tumbuh dewasa.