Kala Siswa di Pedalaman NTT Swadaya Bangun Gedung Sekolah
Dua ruang kelas darurat di SMP Negeri Satu Atap Basarani di Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, jauh dari kata layak. Siswa pun berinisiatif membangun ruang kelas secara swadaya.
Dua ruang kelas darurat di SMP Negeri Satu Atap Basarani di Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, jauh dari kata layak. Dindingnya terbuat dari susunan bilah bambu. Tiada jendela di ruangan itu karena sudah terwakili celah antarbambu. Atapnya dari seng dengan jarak ketinggian dari lantai tanah tidak sampai 3 meter.
Para siswa SMPN Satap Basarani mulai mengumpulkan batu untuk pembangunan gedung SMPN, Rabu (28/10/2020).Saat musim kemarau, hawa di ruangan itu terasa amat panas. Debu jalanan pun mengakrabi meja dan bangku siswa sehingga belajar pun tidak nyaman.
Meski datang dari rumah dalam keadaan rapi dan bersih, begitu masuk ruangan siswa menjadi kotor oleh debu. Padahal, setiap hari ada pembagian tugas bagi siswa untuk membersihkan ruangan secara bergiliran.
Saat musim hujan, hawa dingin dan angin kencang yang masuk lewat celah dinding terasa menusuk tulang. Apalagi ruangan itu juga tak berpintu.
Suara air yang menghujani atap seng terdengar sangat berisik sehingga mengganggu proses belajar-mengajar. Belum lagi air hujan yang ”turut” berteduh dan membasahi lantai karena atap bocor di sana-sini.
Kondisi ini membangkitkan semangat siswa di pedalaman NTT itu berswadaya membangun dua ruang belajar baru. Total siswa di sekolah itu 145 anak. Mereka berbagi peran, berupaya menggalang dana. Sebagian melakukan pentas seni budaya melalui program kreativitas seni budaya siswa di Desa Basarani dan beberapa desa tetangga untuk mengumpulkan uang. Sebagian menjual anakan tanaman, sebagian lagi menawarkan jasa mengecat rumah warga.
Uang yang terkumpul dari usaha siswa itu mencapai Rp 15 juta. Ditambah uang komite dan sumbangan perseorangan dari masyarakat, total menjadi Rp 20 juta.
”Banyak upaya yang kami lakukan, tetapi daya beli masyarakat rendah sehingga hasil yang terkumpul belum mencukupi target yang kami butuhkan, yakni sekitar Rp 100 juta untuk dua ruang kelas. Kami hanya dapat Rp 15 juta. Itu pun patut disyukuri,” kata Lusia Isnawati Kolin (14), siswa kelas IX, Sabtu (31/10/2020), di Basarani, sekitar 13,4 kilometer dari ibu kota Flores Timur di Larantuka.
Baca juga: Dana Kemanusiaan Kompas Membangun Dua Gedung SD di Alor
SMP Negeri Satu Atap Basarani berada satu kompleks gedung dengan SD Negeri Basarani. Bedanya, gedung SD lengkap dengan enam ruang kelas dan tiga ruang lain, masing-masing untuk tata usaha, ruang guru, serta bimbingan dan konseling. Kondisinya pun tergolong bagus dan layak. Total ada sekitar 250 siswa di SD itu.
Sementara gedung SMP hanya terdiri atas tiga ruangan. Dua ruang dipakai untuk ruang guru dan ruang tata usaha serta sisa satu ruangan untuk siswa kelas VII. Siswa kelas VIII dan IX masih belajar di ruang kelas darurat yang dibangun sejak tahun 2015.
”Inisiatif untuk swadaya membangun ruang sekolah berawal dari organisasi siswa intra sekolah (OSIS), kemudian kami sampaikan kepada guru dan komite sekolah. Secara gotong royong, kami membangun ruangan itu,” kata Lusia.
”Kami berkomitmen, sebelum kegiatan belajar melalui tatap muka, gedung dua ruang kelas itu sudah rampung sehingga bisa digunakan. Kami upayakan, akhir November selesai dikerjakan, itu pun tergantung ketersediaan material bangunan,” imbuhnya.
Gotong royong
Tidak ada tukang bangunan yang mengerjakan ruang kelas yang tengah dibangun. Siswa pula yang bergotong royong menjadi ”tukang bangunan” dipandu guru sekolah. Mereka bekerja dibantu anggota komite sekolah dan orangtua siswa.
Inisiatif untuk swadaya membangun ruang sekolah berawal dari organisasi siswa intra sekolah (OSIS), kemudian kami sampaikan kepada guru dan komite sekolah. Secara gotong royong, kami membangun ruangan itu. (Lusia Isnawati Kolin)
Setiap hari mereka bekerja dalam empat sif. Setiap kelompok bekerja selama dua jam, dimulai pukul 07.30 dan berakhir pada pukul 16.30 Wita.
Agus Ola (13), siswa kelas VIII SMPN Satu Atap Basarani, mengaku, dengan bekerja secara gotong royong, pekerjaan seberat apa pun bisa diatasi. Semua orang terlibat. ”Ini pengalaman baru buat beta,” kata Ola.
Para siswa itu memahami, di tengah pandemi Covid-19, tidak perlu menunggu bantuan pemerintah. Suatu saat pemerintah akan membantu, tetapi mereka pun harus berswadaya membangun sekolah itu dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Baca juga: Mahasiswa Diaspora Perbaiki Gedung SD di NTT
Ketua Komite Sekolah Yohanes Lamen, yang juga Kepala Desa Nayubaya, Flores Timur, mengatakan, SMPN Satu Atap Basarani menampung lulusan dari sejumlah SD terdekat, seperti SDN Samasoge, SDN Lewomuda, SDK Lewokeda, SDK Botung, SDN Lewokemie, SDN Kawela, dan sejumlah SD dari Pulau Solor, sekitar 32 kilometer dari Desa Basarani.
Sebelum kehadiran SMPN Satu Atap Basarani, lulusan SD di daerah itu harus melanjutkan pendidikan SMP di Larantuka. Hingga kini, SMPN Satu Atap Basarani juga belum dilengkapi fasilitas bersih, perpustakaan sekolah, dan toilet siswa layak pakai.
”Kami masih butuh biaya untuk melengkapi sarana dan prasarana yang ada di sekolah. Ini sekolah milik pemerintah. Sekolah lain sudah direhab dan dibangun ulang, tetapi sekolah ini seperti terabaikan,” kata Lamen.
Di sisi lain, ia memuji sikap para siswa yang berkomitmen membangun ruang kelas secara swadaya. Di tengah pandemi Covid-19, ekonomi orangtua mereka juga sedang terpuruk. Namun, mereka berinisiatif membangun ruang kelas. Kegiatan ini dirancang para siswa sejak Februari 2020, diawali dengan sejumlah kegiatan untuk mencari dana.
”Rencana awal, para siswa ini pentas seni budaya dan sejumlah pameran hasil karya siswa di Larantuka untuk mencari dana. Tetapi, karena pandemi Covid-19, kegiatan itu dilakukan di Desa Basarani, Nayubaya, dan empat desa sekitarnya. Kalau mereka bisa pentas di Larantuka, mungkin dana yang diperoleh lebih baik,” kata Lamen.
Baca juga: Membangun NTT Berkelanjutan Melalui Kampung Berseri Astra
Setelah selesai membangun dua ruang kelas, para siswa berencana mencari dana untuk membangun ruang perpustakaan, ruang bimbingan dan konseling, serta toilet yang layak pakai. Padahal, belum tentu siswa yang bergotong royong membangun gedung itu akan menikmatinya kelak. Mereka ingin adik-adik kelas yang menimba ilmu mendatang di sekolah itu dapat menikmati sarana dan prasarana yang jauh lebih baik.
Kondisi gedung sekolah yang kurang memadai tidak hanya dialami SMPN Satu Atap Basarani. Ketua Dewan Pendidikan Guru NTT Simon Riwu Kaho mengatakan, sekitar 1.500 gedung SD dan SMP di NTT mengalami kerusakan mulai dari ringan, sedang, hingga berat. Kerusakan gedung sekolah itu hampir 80 persen atau 1.200 gedung ada di sekolah swasta. Sisanya, sekitar 20 persen atau 300 gedung sekolah milik pemerintah.
Baca juga: Pembelajaran Jarak Jauh di Pedalaman NTT Terkendala
Gedung sekolah yang rusak itu hampir merata di 22 kabupaten/kota. Kerusakan terbanyak di Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Sumba Barat, Nagekeo, Kabupaten Kupang, dan Lembata. Sebagian besar sekolah dasar dan menengah masih berupa sekolah darurat berdinding bambu atau kayu, kondisi lantai masih berupa tanah, tidak ada perpustakaan sekolah, tidak memiliki toilet yang layak pakai, dan sebagian besar guru honor komite atau bekerja secara sukarela.
Apa yang dilakukan para siswa SMPN Satu Atap Basarani patut diacungi jempol. Mereka telah mengajarkan kepada sekolah-sekolah lain di pedalaman Pulau Adonara, bahkan NTT, bagaimana berswadaya membangun fasilitas pendidikan. Walakin, kualitas sarana dan prasarana sekolah sejatinya menjadi tanggung jawab negara.