Bupati Muara Enim Nonaktif Divonis 4,5 Tahun Penjara
Bupati Muara Enim nonaktif Juarsah divonis hukuman penjara selama 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan. Dia terbukti bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Bupati Muara Enim nonaktif Juarsah divonis hukuman penjara selama 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan. Dia terbukti bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan atas 16 proyek Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Muara Enim tahun anggaran 2019. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi.
Juarsah juga dikenakan hukuman tambahan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 3 miliar sesuai nilai gratifikasi yang ia terima. Apabila dalam sebulan dia tidak bisa mengganti uang tersebut, harta bendanya akan disita untuk kemudian dilelang. Apabila nilai harta yang disita tidak mencukupi, Juarsah harus menjalani pidana kurungan tambahan selama 10 bulan.
Vonis tersebut dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Sahlan Effendi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang, Jumat (29/10/2021). Puluhan anggota keluarga Juarsah juga turut menyaksikan sidang tersebut.
Juarsah dijerat dengan Pasal 12 Huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP. Vonis tesebut lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK, yakni selama 5 tahun dengan denda Rp 300 juta subsider 6 kurungan penjara, dan membayar uang pengganti sebesar Rp 4,017 miliar.
Dia terbukti melakukan tindak pidana korupsi saat menjabat Wakil Bupati Muara Enim. Dia melakukan itu secara bersama-sama dengan mantan Bupati Muara Enim Ahmad Yani, mantan Ketua DPRD Muara Enim Aries HB, dan sejumlah pejabat Muara Enim lainnya.
Mereka mematok dana komitmen (commitment fee) dari kontraktor Roby Okta Fahlevi sebesar 15 persen dari nilai 16 paket proyek pengembangan jalan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Muara Enim tahun 2019 senilai Rp 129 miliar.
Dari uang komitmen tersebut, Juarsah mendapatkan jatah sebesar Rp 3 miliar dari Roby melalui Kepala Bidang Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim Elfin MZ Muchtar. Uang tersebut diberikan sebanyak enam kali dalam rentang waktu Oktober 2018-Agustus 2019. Uang tersebut diberikan di rumah pribadi di Palembang dan di rumah dinas wakil bupati di Muara Enim.
Sementara, untuk suap dari Syafrudin alias Iwan Rotari sebesar Rp 1 miliar digunakan untuk biaya istrinya yang kala itu mengikuti pemilihan calon anggota DPRD Sumatera Selatan dan menyambut Idul Fitri. Dari Iwan, Juarsah didakwa menerima sebuah telepon genggam senilai Rp 17 juta.
Namun, itu tidak diperhitungkan oleh majelis hakim karena dinilai kurang cukup bukti. ”Bukti hanya diperoleh dari keterangan Elfin dan tidak ada bukti pendukung lain,” ujar Sahlan.
Karena itu, pasal kumulatif kedua Pasal 12 Huruf B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto 65 Ayat 1 KUHP dikesampingkan oleh majelis hakim.
Ini baru keputusan hakim dan saya belum menerimanya.
Atas keputusan ini, baik jaksa KPK maupun kuasa hukum Juarsah mengatakan pikir-pikir. Majelis hakim pun memberikan waktu tujuh hari kepada kedua belah pihak untuk memutuskan menerima atau mengajukan banding.
Setelah sidang vonis berakhir, suasana di dalam ruang sidang pecah dengan tangisan para pendukung dan keluarga Juarsah yang sedari awal mengikuti jalannya persidangan. Juarsah pun memeluk beberapa orang di antaranya.
Ketika dimintai tanggapan, Juarsah menjawab, ”Ini baru keputusan hakim dan saya belum menerimanya.”
Jaksa KPK, Muhammad Nur Aziz, mengatakan, pihaknya masih pikir-pikir karena ada beberapa pasal yang dikesampingkan oleh majelis hakim di mana suap yang diberikan Syafrudin dianggap tidak cukup bukti. Menurut dia, pengakuan dari Elfin sudah cukup untuk menggambarkan bahwa Juarsah telah menerima suap.
Saifuddin Zahri, kuasa hukum Juarsah, mengatakan, pihaknya akan menganalisis keputusan ini, apakah sudah sudah sempurna atau belum. ”Dari hasil analisis itulah baru kami akan mengambil sikap mengenai tindakan selanjutnya,” ujar Saifuddin.