Bupati Nonaktif Muara Enim Dituntut Lima Tahun Penjara
Bupati nonaktif Muara Enim Juarsah dituntut lima tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan penjara karena menerima suap dari kontraktor rekanan Pemkab Muara Enim pada periode Oktober 2018-Mei 2019.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Bupati nonaktif Muara Enim Juarsah dituntut lima tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan penjara karena menerima suap dari kontraktor rekanan Pemkab Muara Enim. Hal itu dilakukan Juarsah pada periode Oktober 2018-Mei 2019 kala menjabat sebagai wakil bupati. Dalam tuntutan, Juarsah juga diminta untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 4,017 miliar sesuai nilai gratifikasi yang dia terima.
Tuntutan tersebut dibacakan jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rikhi Benindo Maghaz, dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (8/10/2021).
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Sahlan Efendi itu, jaksa menjerat Juarsah dengan Pasal 12 Huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1. Juarsah juga dikenai pasal kumulatif kedua, yakni Pasal 12 Huruf B UU No 20/2001 juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP.
”Kedua pasal ini diberikan lantaran Juarsah, yang waktu itu sebagai penyelenggara negara, terbukti menerima suap dan gratifikasi yang tidak dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi,” ucap Rikhi.
Ada beberapa hal yang memberatkan, yakni Juarsah dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, sepanjang persidangan, Juarsah tidak mau jujur dan berterus terang atas perbuatan yang sudah dilakukannya. Adapun hal yang meringankan adalah Juarsah belum pernah dihukum.
Dalam sidang tuntutan tersebut, jaksa menganggap Juarsah telah menerima gratifikasi saat dirinya menjabat sebagai Wakil Bupati Muara Enim periode 2018-2023 mendampingi bupati saat itu, Ahmad Yani. Penerimaan gratifikasi itu terjadi dalam rentang waktu Oktober 2018-Mei 2019 dari dua kontraktor rekanan, yakni Iwan Rotari sebesar Rp 1 miliar dan sebuah telepon genggam senilai Rp 17 juta serta dari Robi Okta Fahlevi sebesar Rp 3 miliar.
Gratifikasi tersebut diberikan untuk memperlancar sejumlah proyek pembangunan infrastruktur berupa pengembangan jalan di Muara Enim yang sejak awal sudah diatur pemenang lelangnya. Hal ini terlihat ketika pemberian 16 paket proyek perbaikan jalan tahun anggaran 2019 dengan nilai proyek sekitar Rp 129 miliar.
Saat itu, dari semua kontraktor, hanya Robi yang menyatakan sanggup memberikan dana komitmen (commitment fee) sebesar 15 persen kepada sejumlah pejabat di Muara Enim, termasuk di antaranya Juarsah yang mendapatkan fee sekitar Rp 3 miliar. Selanjutnya, uang gratifikasi itu digunakan untuk dana persiapan pemilihan legislatif anak dan istri Juarsah, juga untuk kepentingan pribadi, yakni kebutuhan Idul Fitri dan umrah.
Pemberian gratifikasi dari kontraktor rekanan ini juga atas persetujuan dari bekas Bupati Muara Enim Ahmad Yani yang disampaikan melalui mantan Kepala Bidang Pembangunan Jalan dan Jembatan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Muara Enim Elfin Mz Muchtar. ”Sejak awal, Elfin menjadi orang kepercayaan dari Ahmad Yani dan Juarsah untuk mengatur lelang dan memungut fee dari kontraktor,” kata Rikhi.
Jaksa juga menuntut agar Juarsah dijatuhi hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan penjara. Selain itu, ada juga hukuman tambahan, yakni Juarsah harus membayar uang pengganti sesuai dengan gratifikasi yang ia terima sebesar total Rp 4,017 miliar.
Apabila dalam satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap Juarsah tidak bisa mengganti, segala aset miliknya akan dilelang. Apabila hasil lelang tidak mencukupi, dia akan dijatuhi tambahan 1 tahun kurungan penjara.
Tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan saya menerima atau kelihatan menerima suap seperti yang disampaikan jaksa.
Atas tuntutan ini, Juarsah tetap berpendirian tidak pernah menerima suap ataupun gratifikasi dari pihak mana pun. ”Tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan saya menerima atau kelihatan menerima suap seperti yang disampaikan jaksa,” ujar Juarsah. Dia pun optimistis dapat terbebas dari segala jeratan hukum.
Syaifuddin Zahri, kuasa hukum Juarsah, mengatakan, apa yang disampaikan jaksa masih berkutat pada berita acara pemeriksaan, bukan pada fakta persidangan. ”Tidak ada alat bukti yang menunjukan klien kami menerima gratifikasi,” ujarnya.
Karena itu, pihaknya tetap akan mengajukan pembelaan (pledoi) untuk menyanggah tuntutan tersebut. ”Kami masih bertarung di lapangan (pengadilan), biar hakim yang menjadi wasitnya,” ujar Syaifuddin.
Sebelum Juarsah, empat pejabat lain sudah divonis, yakni Ahmad Yani dan mantan Ketua DPRD Muara Enim Aries HB yang divonis lima tahun penjara. Sementara, Elfin dan bekas Plt Kadis PUPR Muara Enim Ramlan Suryadi divonis empat tahun penjara.
Rekening dibuka
Dalam persidangan yang sama, majelis hakim memutuskan untuk membuka rekening milik istri dan anak-anak Juarsah yang sudah terblokir selama enam bulan. Hal ini dilakukan setelah KPK selesai melakukan penyidikan.
Juarsah mengaku bersyukur rekening milik istri dan anak-anaknya sudah dibuka kembali. Menurut dia, rekening tersebut tidak terkait sama sekali dengan kasus ini.
Hal serupa juga disampaikan Syaifuddin Zahri yang menilai pemblokiran tersebut menyulitkan anak dan istri Juarsah memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Rikhi mengatakan, pembukaan pemblokiran rekening tersebut dilakukan karena memang proses penyidikan sudah selesai.