Hakim Syar’iyah Hukum Pemerkosa Anak di Aceh 15 Tahun Penjara
Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho memvonis 15 tahun penjara pelaku pemerkosaan. Namun, masyarakat sipil di Aceh tetap menilai banyak kelemahan Qanun Jinayat dalam hal perlindungan pada anak.
Oleh
ZULKARNAINI MASRY
·2 menit baca
JANTHO, KOMPAS — Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara bagi AS (46), terdakwa pemerkosaan terhadap anak. Meski vonis tinggi, para pihak menilai proses hukum kasus kekerasan seksual pada anak menggunakan Qanun Jinayat tidak memberikan keadilan bagi korban.
Juru bicara Mahkamah Syar’iyah, Jantho Fadlia, Jumat (22/10/2021), mengatakan, sidang putusan perkara tersebut digelar pada Kamis (21/10/2021) secara virtual. ”Terdakwa dinyatakan terbukti secara sah melakukan tindakan pidana jarimah (pemerkosaan) terhadap anak,” kata Fadlia.
Fadlia menuturkan, korban pemerkosaan adalah NA (18). Pelaku yang terpaut usia jauh itu telah membujuk dan memperdaya korban untuk mau berhubungan badan. Meski tanpa kekerasan dan ancaman, anak tetap dianggap sebagai korban dari bujuk rayu pelaku.
Di Aceh, kasus kekerasan seksual pada anak dijerat dengan Qanun/Perda Hukum Jinayat. Sidang dilakukan oleh hakim Mahkamah Syar’iyah. Ancaman hukum bagi terdakwa berupa cambuk atau kurungan atau denda.
Namun, para pihak di Aceh menilai Qanun Jinayat tidak memberikan keadilan hukum bagi korban sebab qanun tidak mengatur restitusi bagi korban dan tidak ada pemberatan hukuman bagi pelaku, seperti yang diatur dalam UU Perlindungan Anak.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Syahrul dan Direktur Eksekutif Flower Aceh Riswati mendesak Pemprov Aceh agar merevisi Qanun Jinayat dengan mencabut dua pasal yang mengatur kekerasan seksual pada anak, yakni Pasal 47 dan 50.
”Jika dua pasal itu dicabut, perkara kekerasan seksual pada anak akan ditangani menggunakan UU Perlindungan Anak,” ujar Syahrul.
Dalam beberapa perkara kekerasan seksual pada anak yang disidang oleh Mahkamah Syar’iyah, sebagian terdakwa malah divonis bebas.
Syahrul menambahkan, dalam konteks perlindungan anak, Qanun Jinayat memiliki banyak kelemahan, seperti tidak mengatur restitusi, tidak ada pemberatan hukuman terhadap pelaku, dan tidak ada jaminan perlindungan jangka panjang bagi korban.
Riswati mengatakan, dalam beberapa perkara kekerasan seksual pada anak yang disidang oleh Mahkamah Syar’iyah, sebagian terdakwa malah divonis bebas.
Pada awal Oktober 2021, misalnya, Mahkamah Syar’iyah Aceh membebaskan SUF (45), terdawak pemerkosa anak kandung. Hakim menafikan bukti visum et repertum, keterangan dokter, dan keterangan psikolog.
”Kami mendesak pemerintah untuk mengembalikan penanganan perkara kekerasan seksual pada anak kepada pengadilan negeri menggunakan UU Perlindungan Anak,” ujar Riswati.
Sebelumnya, Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Muhammad Yunus menuturkan, saat ini pihaknya menunggu dokumen dari lembaga masyarakat sipil perihal poin-poin usulan revisi. ”Revisinya bisa dicabut atau dipertegas. Salah satunya pasal tentang kekerasan seksual pada anak,” ujar Yunus.
Yunus menginginkan revisi memberatkan hukuman bagi pelaku serta menjamin hak dan perlindungan bagi korban.