Harimau Sumatera yang Mati di Bengkalis Sudah Lima Hari Terkena Jerat
Ada indikasi tindak kejahatan perburuan dalam kematian harimau sumatera di Bengkalis karena jenis dan bahan jerat yang dipasang ditujukan untuk harimau.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS — Harimau sumatera betina yang mati di kawasan hutan produksi di Kabupaten Bengkalis, Riau, diperkirakan sudah lima hari terperangkap jerat. Selain itu, ada indikasi tindak kejahatan perburuan dalam kematian satwa liar terancam punah itu karena jerat yang dipasang adalah jerat harimau.
Harimau sumatera tersebut ditemukan mati di Desa Tanjung Leban, Kecamatan Bandar Laksamana, Bengkalis, Minggu (17/10/2021). Bangkai harimau kemudian dibawa Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau ke Pekanbaru untuk dilakukan nekropsi.
”Berdasarkan hasil nekropsi tim medis, harimau diperkirakan sudah terjerat lima hari. Ini terlihat dari bekas lukanya. Kaki kiri depan terjerat seling baja. Luka sangat dalam sampai terlihat tulang,” kata M Mahfud, Kepala Bidang Teknis Konservasi Sumber Daya Alam Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Senin (18/10/2021).
Mahfud menjelaskan, dari analisis dokter hewan, harimau betina itu diperkirakan berusia berkisar 4-5 tahun. Walakin, harimau itu belum pernah melahirkan.
Harimau itu, ujar Mahfud, pertama kali ditemukan warga yang hendak ke kebun, Minggu pagi. Lokasi merupakan kawasan hutan produksi yang bisa dikonversi. Sekarang kawasan hutan itu sudah berupa perkebunan, seperti sawit.
Kaki kiri depan terjerat seling baja. Luka sangat dalam sampai terlihat tulang.
Temuan itu kemudian dilaporkan warga ke Kepolisian Sektor (Polsek) Bukit Batu yang saat itu sedang berpatroli mencegah kebakaran lahan dan hutan bersama instansi lainnya. Laporan selanjutnya diteruskan ke BBKSDA Riau yang kemudian melakukan evakuasi dan nekropsi.
Menurut Mahfud, dari bentuk dan bahan jerat, jerat seling baja itu memang ditujukan kepada harimau. Ada kemungkinan jerat itu memang sengaja dipasang untuk memburu Panthera tigris sumatrae itu.
”Dugaan (upaya perburuan) ini tentu sangat terbuka. Kami dalam minggu ini mencoba menurunkan tim untuk melakukan pengumpulan bahan keterangan. Paling tidak bisa memastikan apakah ini betul-betul dilakukan oleh pemburu atau siapa pun,” ujar Mahfud.
Mahfud melanjutkan, BBKSDA akan bekerja sama dengan sejumlah pihak di lokasi dan sekitarnya untuk berpatroli membersihkan jerat yang masih ada di sana. Selain itu, ia mengimbau masyarakat agar tidak memasang jerat. ”Kalau tahu ada pihak tertentu memasang jerat, masyarakat diharapkan segera melapor ke BBKSDA, polisi, koramil, dan aparat desa setempat,” ujarnya.
Ditambahkan Mahfud, kejadian ini merupakan yang kedua kali harimau mati akibat terkena jerat di Riau. Selain itu, ada pula satu kejadian harimau cedera akibat kena jerat dan sekarang sedang dalam masa rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Arsari, Dharmasraya, Sumatera Barat.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Walhi) Riau Riko Kurniawan mengatakan, kejadian harimau mati karena jerat di Bengkalis sangat miris. Kejadian ini terus berulang hampir setiap tahun, terutama tiga tahun terakhir.
”Semakin tinggi jumlah kematian satwa dilindungi di Riau, baik harimau maupun gajah. Modus utama kejahatan lingkungan dengan menjerat dan membunuh satwa dilindungi, seperti gajah dan harimau, sebenarnya modus ekonomi,” kata Riko.
Menurut Riko, kejadian ini tidak terlepas dari ketidakmampuan pemerintah, terutama BBKSDA, dalam mengurangi upaya penjeratan harimau. Tindak kejahatan perdagangan satwa dan perburuan liar untuk mendapatkan nilai ekonomi seolah tidak bisa dicegah dan dibendung oleh pemerintah.
Riko melanjutkan, sebenarnya kantong-kantong keberadaan harimau dan gajah di Riau sudah terpetakan. Namun, karena wilayahnya relatif luas dan jumlah personel terbatas, pengawasan memang sulit dilakukan. Selain itu, upaya penegakan hukum terhadap pelaku perburuan tidak cukup untuk mencegah kejadian serupa.
Ia berharap pemerintah tidak menutup mata untuk melibatkan dan saling bersinergi aparat penegak hukum lainnya, masyarakat, dan organisasi masyarakat sipil untuk membantu upaya pencegahan. ”Kalau pemerintah sendirian dalam menangani dan mencegah, kejadian itu akan terulang kembali karena keterbatasan pemerintah akibat anggaran dan sumber daya terbatas,” ujar Riko.
Ditambahkan Riko, ke depan ancaman terhadap satwa liar dilindungi di Riau akan semakin tinggi akibat habitat satwa mulai tergusur karena tingginya alih fungsi lahan, daya jelajahnya semakin terbatas, dan meningkatnya aktivitas perburuan. Upaya pencegahan, sosialisasi kepada masyarakat, dan upaya penegakan hukum kepada pelaku harus terus ditingkatkan.