Belajar dari pengetahuan ekologi tradisional masyarakat di sekitar hutan, konflik manusia dengan harimau atau satwa lainnya seharusnya tak perlu terjadi. Masing-masing punya habitat tersendiri dan bisa hidup harmonis.
Oleh
JOHAN ISKANDAR
·7 menit baca
Dalam dasawarsa terakhir ini, konflik manusia versus satwa liar, seperti harimau, di beberapa kawasan Sumatera kian sering terjadi. Misalnya, sepanjang tahun 2020 tercatat delapan kasus konflik antara manusia dan harimau di Aceh. Sementara pada tahun yang sama di kawasan lainnya, seperti di Sumatera Selatan, diberitakan bahwa enam petani di Pagaralam Lahat dan Muara Enim diterkam harimau (Kompas.com, 3/1/2020).
Tidak hanya itu, di tempat lainnya, seperti di Desa Alang, Kacamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Riau, harimau sering masuk dusun sehingga menyebabkan warga desa sangat resah dan ketakutan (Royani 2018). Berita terbaru, pada 30 Juni 2021, seorang laki-laki warga Nagari Koto Bangun, Kecamatan Kapur IX, Sumatera Barat, yang sebelumnya diberitakan hilang ketika menangkap ikan di sungai, akhirnya ditemukan di kawasan ladang pinggiran hutan, berkisar 5-6 kilometer dari desanya, dalam kondisi meninggal. Diduga kuat ia diterkam harimau. Pasalnya, badannya penuh dengan luka-luka, bagian perutnya terdapat jejak cakaran kuku, dan ada bolong di tengkuk, sebagai tanda-tanda diagnostik bahwa korban diterkam harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). (Kompas, 4/7/2021)
Sejatinya di masa lalu konflik manusia versus harimau di berbagai kawasan Sumatera termasuk jarang terjadi. Hal tersebut karena hubungan penduduk lokal dan harimau masih harmonis. Secara tradisi, penduduk lokal yang biasa bermukim di kawasan hutan atau sekitar hutan umumnya memiliki informasi dan persepsi positif terhadap harimau. Dampaknya, tindakan mereka terhadap harimau juga positif.
Misalnya, menurut penuturan penduduk tradisional Semende di pedalaman Desa Swarna Diwipe, Muara Enamim, Sumatera Selatan, mereka secara tradisi jika bertemu dengan harimau atau bisa disebut sebagai ghimau, akan berdiam diri dan berpura-pura seolah-olah tidak tahu. Pada akhirnya, ghimau akan pergi dengan sendirinya.
Mengapa tindakan penduduk Semende ketika bertemu harimau alih-alih lari pontang-panting dan teriak minta tolong untuk menyalamatkan diri, malah diam tidak lari? Hal tersebut, antara lain, karena penduduk tradisional Semende memiliki pengetahuan lokal atau pengetahuan ekologi tradisional secara lekat budaya hasil pewarisan dari leluhurnya antargenerasi dengan ditransmisikan secara lisan menggunakan bahasa ibu.
Transmisi pengetahuan ekologi tradisional tersebut biasanya disebarkan di antara anggota komunitasnya melalui tiga proses perkembangan dalam kehidupan suatu individu keluarga. Pertama, ketika masa kanak-kanak, anak-anak biasa mendapat pembelajaran dari kedua orangtuanya (vertical learning). Kedua, ketika menginjak masa remaja, informasinya disebarkan di antara sesama sebaya dalam komunitasnya (peer group learning). Sementara pada tahap ketiga, setelah dewasa dan bekerja, dia dapat belajar sendiri secara mandiri melalui proses trial and error (individual learning) ataupun pembelajaran melalui antargenerasi yang tidak terkait kekerabatan dalam suatu komunitas.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Harimau sumatera yang ditangkap di kebun karet di Jorong Beringin, Nagari Gantuang Ciri, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Senin (29/6/2020).
Berdasarkan persepsi masyarakat Semende, sejatinya satwa ghimau tidak akan mengganggu manusia selama satwa tersebut dalam kondisi normal, tidak terganggu oleh manusia. Oleh karena itu, penduduk Semende jika bertemu dengan ghimau, biasanya dia bertindak diam diri dengan berpura-pura tidak tahu, maka ghimau biasanya pergi dengan sendirinya. Pasalnya, berdasarkan persepsi penduduk Semende dalam budayanya, berdasarkan informasi dan persepsi dari para orang-orang tua (puyang) ataupun berdasarkan pengalaman pribadi, apabila satwa tersebut tidak terganggu manusia, jarang menyerang manusia secara agresif.
Penduduk tradisional Semende juga memiliki pengetahuan tentang waktu ghimau biasa masuk ke kawasan sekitar dusun, yakni saat musim durian. Warga lokal bisa mengindikasikan bahwa ketika musim durian di dusunnya biasanya akan hadir harimau di sekitar dusun. Menurut penuturan warga lokal, pada saat musim durian, warga lokal umumnya menunggui buah durian jatuh dari pohonnya. Lantas, apabila di bawah pohon durian warga desa menemukan banyak durian jatuh serta ditemukan kulit-kulit durian bekas dimakan binatang, bisa dipastikan bahwa di sekitar kawasan tersebut ada ghimau. Maka, umumnya tindakan penduduk lokal biasanya lebih baik menyingkir dan membiarkan ghimau menikmati makanannya, buah-buah durian yang jatuh dari pohonnya karena telah matang.
Berdasarkan persepsi penduduk, harimau diyakini sangat menyenangi buah durian matang. Satwa ini juga diyakini warga lokal sangat hafal tentang pohon durian mana yang buah-buahnya sudah matang ataupun buah-buah yang belum matang. Berdasarkan pengetahuan ekologi tradisional tersebut, warga lokal juga bisa mengetahui kapan musim durian tiba atau tepatnya pohon durian mana yang sudah matang atau belum matang di kawasan hutan. Salah satu cara yang paling mudah bagi warga di antaranya adalah dengan melihat jejak kaki harimau dan bekas makanannya mengonsumsi buah-buah durian. Berdasarkan kebudayaan penduduk, walaupun termasuk binatang buas, harimau bukanlahlah jenis satwa yang ditakuti warga. Pasalnya, warga lokal umumnya memiliki pengetahuan ekologi tradisional tentang satwa tersebut.
Pesepsi penduduk lokal Semende sangat berbeda terhadap beruang madu (Helarctos malayanus). Mereka umumnya sangat takut bertemu beruang madu ketika sedang di hutan. Pasalnya, berdasarkan persepsi penduduk Semende dalam budayanya, kalau beruang madu bertemu manusia di hutan, satwa tersebut sering menyerangnya. Oleh karena itu, tindakan yang dianggap sesuai, yaitu diupayakan warga untuk menghindar bertemu dengan satwa tersebut. Namun, kalau kebetulan penduduk bertemu dengan beruang madu di hutan, maka dia akan lari menjauh dari satwa tersebut agar dirinya selamat (Yenrizal 2015).
Kisah lain hubungan manusia dan harimau di masa lalu dapat pula disimak dari berbagai cerita penduduk tradisional Melayu di pedalaman Provinsi Riau, seperti di Desa Alang, Bengkalis, Riau, yang kini kawasan hutannya telah dijadikan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Riau, sejak 2009. Alkisah, menurut cerita penduduk lokal di Desa Alang, Bengkalis, di masa lalu hubungan manusia dengan harimau di desanya sungguh erat.
Misalnya, pada masa lalu, ketika penduduk desa belum padat, kawasan hutan masih luas, belum marak kebun sawit, lahan hutan belum banyak dialihfungsikan menjadi kawasan pengusahaan hutan, dan belum banyak pendatang dari luar, secara tradisi penduduk pedalaman, seperti penduduk Desa Alang, memiliki konsep tentang pembagian ruang. Ada kawasan yang diperuntukkan bagi dusun atau permukiman, kawasan budidaya untuk usaha tani sistem gilir balik (ladang) dan kebun karet, serta kawasan hutan konservasi tradisional.
Hubungan interkoneksi manusia dengan satwa liar, seperti harimau, cukup harmonis. Hal tersebut seperti diungkapkan oleh warga lokal, bahwa di masa lalu, harimau kadang-kadang terlihat berjalan-jalan di kawasan permukiman dan masuk kolong rumah penduduk yang berbentuk panggung. Berdasarkan kepercayaan masyarakat lokal, harimau yang masuk kawasan dusun biasanya disebut ”harimau peliharaan” orang pintar sehingga sangat jarang ada kabar harimau memangsa ternak ataupun menyerang orang di dusun.
Pada saat itu, penduduk lokal hidup berdampingan dengan harimau. Pasalnya, penduduk percaya bahwa harimau dipelihara oleh bomo. Selain itu, di masa lalu, harimau jarang memangsa ternak ataupun menerkam manusia di dusun. Pasalnya, aneka ragam sumber pakan harimau di kawasan hutan masih banyak tersedia. Bahkan, pada masa lalu, harimau yang biasa dipanggil penduduk sebagai datuk itu kalau masuk dusun, dianggap sebagai sekadar lewat dan tidak membahayakan manusia (Royyani 2018).
Kerusakan lingkungan
Namun, lain dulu lain sekarang, ketika kini penduduk kian padat dan banyak penduduk pendatang, luas hutan telah menyusut, persepsi penduduk terhadap harimau telah banyak berubah serta pakan harimau di hutan kian langka. Konsekuensinya, harimau sering masuk dusun dan memangsa ternak, seperti ternak sapi.
Lantas, penduduk yang merasa dirugikan akibat ulah harimau biasanya balas dendam, seperti menaburkan racun pada bangkai sapi yang belum dimangsa habis harimau untuk membinasakan harimau. Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang memangsa bangkai ternak beracun tersebut akan mati karena keracunan. Padahal, harimau sumatera termasuk satwa dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan Permen LHK No P. 20/MENLHK/Setjen/Kum.1/6/2018, serta telah masuk IUCN Red List.
Berdasarkan contoh kasus di atas, dapat disimak bahwa sikap manusia desa terhadap harimau sangat dipengaruhi kuat oleh informasi dan persepsi terhadap binatang tersebut. Oleh karena itu, ketika kini pengetahuan lokal penduduk yang telah banyak tererosi; persepsi positif penduduk terhadap harimau telah berubah; kawasan hutan marak dialihfungsikan menjadi peruntukan lain; dan sistem ekonomi pasar deras masuk penetrasi ke berbagai kawasan pelosok perdesaan, ditambah pula penerapan paradigma pembangunan berkelanjutan, seperti pro rakyat miskin, pro lapangan kerja, pro jender, pro lingkungan hidup, dan pro NKRI belum bisa dilaksanakan secara saksama oleh pemerintah. Maka, bisa diprediksi konflik manusia versus harimau sulit untuk bisa dihentikan di masa-masa yang akan datang.
Oleh karena itu, untuk menanggulangi konflik manusia dan harimau, tidaklah cukup dilakukan hanya dengan pendekatan parsial, seperti konservasi satwa saja. Namun, juga harus memperhatikan aspek sosial ekonomi dan budaya penduduk, serta masalah politik secara holistik.
Johan Iskandar, Dosen dan Peneliti Lingkungan CESS (Center for Environment and Sustainability Science) Unpad