Saat Bendungan Jatigede mulai beroperasi sebagian warga setempat sempat tidak tahu harus berbuat apa setelahnya. Asep Supriadi mencoba membangun asa warga dengan menggagas obyek wisata.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
Asep Supriadi (37) harus angkat kaki dari rumah keluarganya demi proyek pembangunan Bendungan Jatigede di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Sempat patah arang, ia kini bangkit dan berdaya lewat pariwisata bersama anak muda setempat.
Asep baru saja pulang dari merantau di Bali ketika menyaksikan rumahnya di Dusun Jatigede Kulon, Desa Cijeungjing, Kecamatan Jatigede, rata dengan tanah pada 2008. Lahan seluas 100 meter persegi itu terdampak pembangunan Bendungan Jatigede.
Bersama lima anggota keluarganya, Asep akhirnya pindah ke Dusun Jatigede Wetan. ”Setelah pindah, saya sebulan enggak tidur di rumah. Perasaannya enggak betah,” katanya, saat ditemui di Cijeungjing, Minggu (26/9/2021).
Ia tidak dapat mengungkapkan bagaimana perasaannya kala itu. ”Saya kecil dan besar di situ. Walaupun (rumah) jelek, kan surga kami di sana. Tapi, (pembangunan bendungan) itu hasil kesepakatan. Bendungan Jatigede kan untuk orang banyak,” kenangnya.
Bendungan yang mampu menampung 980 juta meter kubik air itu bisa mencegah banjir di daerah hilir Sungai Cimanuk seluas 14.000 hektar. Jatigede juga dapat memasok air bersih 3.500 liter per detik, mengairi 90.000 hektar lahan pertanian, dan menghasilkan listrik 110 megawatt.
Asep tidak menimbun amarah meski lahannya tenggelam oleh pembangunan bendungan. Ia tak paham berapa uang penggantian lahan. Jelasnya, pembayarannya secara tunai. Itu sebabnya lingkungannya disebut Gang Tunai.
Beruntung, ia diminta ikut mengerjakan proyek bendungan. ”Dulu, saya ikut survei pembuatan beton di bendungan. Ternyata yang disurvei itu bekas rumah saya. Kadang saya melamun di sana,” ujar lulusan ujian kesetaraan paket C (SMA) itu.
Setelah proyek itu rampung dan waduk mulai digenangi 2015, ia kembali menganggur. Bersama tokoh masyarakat desa, Asep ingin mengembangkan pariwisata di sekitar waduk. Pemerintah setempat lalu menyiapkan tanah kas desa di daerah Tegal Jarong. Di sana banyak jarong, sejenis tanaman liar.
Lahan tandus tersebut lalu disulap menjadi destinasi wisata pada 2016. Berjarak sekitar 16 kilometer dari perempatan Kadipaten, Majalengka, Tegal Jarong menyuguhkan hamparan Waduk Jatigede. Akses jalan dibuat. Batu besar yang menghalangi jalan dipecahkan dengan palu dan cangkul. Belum ada alat berat.
Bukan infrastruktur yang menjadi kendala utama, melainkan respons warga. ”Kadang saya dimarahi sama orang yang lebih tua. Katanya, kita ini enggak bisa dagang. Kita ini petani,” ujar anak petani ini.
Belum lagi tudingan yang tidak berdasar kepadanya. ”Memang saya sadar tidak 100 persen orang suka dengan kita. Apalagi, ada yang menuduh soal uang. Padahal, di sini kami enggak digaji,” kata Asep.
Dilarang mabuk
Gagal menggaet orang tua, Ketua Kelompok Penggerak Pariwisata Tegal Jarong ini tidak menyerah. Ia lalu mengajak sejumlah anak muda mengembangkan wisata. Apalagi, tidak sedikit anak muda yang putus sekolah dan menganggur di sana.
”Saya ajak aja kerja di sini. Kalau enggak, mereka mau jadi apa? Repot juga ngurusin anak-anak. Tahu-tahu saya dipanggil ke polsek karena ada yang berantem atau mabuk,” ujar Ketua Karang Taruna Desa Cijeungjing itu.
Perlahan, ia mengenalkan pariwisata kepada para anak muda tersebut. Misalnya, ia mengajarkan mereka melukis dengan harapan bisa dimanfaatkan di destinasi wisata kelak. Mereka juga membuat lubang sampah organik sedalam 2 meter untuk menyuburkan tanaman.
”Kami juga bikin aturan. Kalau di tempat wisata, tidak boleh minum (minuman keras). Bikin malu kalau mabuk,” kata pria gondrong ini. Pemuda yang berpartisipasi juga diberi upah Rp 50.000 per orang per hari. Meski tidak seberapa, katanya, jumlah itu diharapkan membantu mereka.
Bahkan, ketika sepi pengunjung seperti saat pandemi Covid-19, Asep bersama para pemuda hanya bakar singkong untuk makan siang. ”Dari 2016, sudah tiga generasi anak muda yang ikut. Ada yang sudah kerja dan berdagang sendiri. Sekarang, ada 10 orang yang masih aktif,” ungkapnya.
Semangat Asep dan warga lainnya mengembangkan Tegal Jarong membuahkan hasil. Pada 2018, PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangkit Jawa Bagian Tengah menyalurkan dana pertanggungjawaban sosialnya (CSR) ke lokasi wisata yang dibuat Asep tersebut.
Selain memasang listrik gratis, PLN dan pengelola wisata juga menyulap lahan kosong sekitar 250 meter persegi menjadi taman bermain, saung, dan kolam ikan. Ada pula penanda tempat dengan huruf besar biru bertuliskan Tegal Jarong yang menjadi spot berfoto.
Es kelapa, ikan bakar, dan produk usaha kecil menengah warga dapat dinikmati pengunjung. Sekitar 33 warung berdiri di sana. Toiletnya juga bersih. Begitu pun dengan mushala yang terbuat dari bekas kontainer.
Tidak mengherankan mobil bernomor polisi daerah Cirebon, Bandung, dan Jakarta terparkir di sana. ”Sebelum pandemi, bisa 2.000 orang datang hari Minggu. Sekarang, paling 500 orang. Dulu yang enggak peduli sekarang pada minta dagang di sini,” katanya.
Meskipun belum sempurna, upayanya merintis destinasi Tegal Jarong tidak sia-sia. ”Kalau sadar wisata, bukan kita yang nyari duit ke luar. Di wilayah kita juga ada. Saya capek kerja di luar,” kata Asep yang pernah mengadu nasib di Bandung, Jabar, dan Bali itu.
Mahasiswa STKIP Yasika Majalengka ini berjanji bakal memberdayakan warga untuk wisata Tegal Jarong. ”Sampai kapan pun saya pengin meninggalkan sesuatu yang bermanfaat,” ucapnya.
Rino Yogfa Prayascitta, pendamping CSR PLN Unit Pelaksana Proyek (UPP) Jawa Bagian Tengah 2, mengenal Asep sebagai orang yang gigih mengembangkan wisata di Jatigede. ”Sama warga juga dekat, apalagi kalangan muda. Dia merangkul anak muda yang putus sekolah,” katanya.
Asep Supriadi
Lahir : Sumedang, 21 Juni 1984
Pendidikan :
SDN Cihideung, Kadujaya, Sumedang
SMPN Cijeungjing
Paket C Persamaan di Bandung
STKIP Yasika Majalengka (2021)
Profesi : Ketua Kelompok Penggerak Pariwsata Tegal Jarong