Sudah puluhan tahun Rasuki mengukir keindahan topeng Cirebon. Kini, dia meneruskan pelestarian karya seni itu tanpa biaya pada semua orang yang tertarik melakukannya.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
Rasuki (52) sudah puluhan tahun membuat topeng cirebon, Jawa Barat. Selama itu pula mantan penjual bubur kacang ijo tersebut mengukir hidupnya sebagai pelestari kerajinan kedok cirebon itu dengan berbagai problematikanya.
”Inilah Pak Rasuki, yang membuat baju, topeng, dan gendang (tari topeng),” kata Camat Gegesik Indra Fitriani kepada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno sembari mengenalkan pria berbaju batik dengan iket kepala. Sore itu, Kamis (9/9/2011), stan Rasuki di Balai Desa Gegesik Kulon kedatangan Sandiaga.
Mengenakan masker hitam di mulutnya, Rasuki tidak banyak bicara. Karyanya, topeng panji, samba, rumyang, tumenggung, dan klana seolah sudah bercakap. ”Ini angkara murka,” kata Sandiaga sambil menunjuk topeng klana berwarna merah dengan mata melotot. Rasuki tersenyum, mengangguk.
”Kearifan lokal dari topeng (cirebon) itu menunjukkan proses kehidupan kita. Dari bayi yang masih putih bersih seperti panji sampai klana yang penuh angkara murka,” papar Sandiaga yang menyematkan Gegesik Kulon sebagai salah satu dari 50 desa dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia 2021.
Pemaknaan terhadap topeng cirebon itu tidak bisa dilepaskan dari peran perajin kedok, seperti Rasuki. Kedok yang ia buat sejak awal 1990-an telah menghiasi dinding banyak rumah, menemani penari topeng cirebon, hingga menjadi bahan ajar di sejumlah sekolah serta kampus di dalam dan luar negeri.
Awalnya, Rasuki adalah penjual keliling bubur kacang ijo di wilayah Kalianyar, Panguragan. Penghasilannya Rp10.000–Rp 15.000 per hari. ”Itu pun kalau enggak ada yang utang,” kenang bapak dua anak ini.
Suatu ketika, ia menyaksikan seorang turis membeli kedok cirebon buatan Sadriya, mendiang pamannya. Sadriya merupakan perajin topeng terkenal yang pameran hingga ke luar negeri. Keluarga besarnya juga akrab dengan seni topeng. Kakek Rasuki, Kadnawi, merupakan pengajar tari topeng. Sementara ibunya, Sekar, menjadi penari topeng.
Rasuki lantas memohon dijadikan murid Sadriya. Bukannya membuat topeng, ia malah diminta mengukir gantungan kunci bermodel topeng. Sebagai amatiran, ia manut dengan gurunya. Entah sudah berapa kali ia kena marah karena hanya menghabiskan kayu, tetapi hasilnya tidak memuaskan.
Setelah mahir memahat gantungan kunci, Rasuki mencoba membuat kedok besar. Ia sampai mengambil tanpa izin sebilah pisau dan pahatan kayu milik Sadriya. Baru setelah jadi, dia menyetor topeng karyanya kepada sang guru.
”Pak Sadriya tidak marah. Malah buatan saya diterima. Saya diangkat jadi asistennya,” katanya.
”Rasuki ini sudah menguasai 60 persen ilmu,” kata Sadriya kala itu.
Nama Rasuki juga tertera di kartu nama Sadriya: Sanggar Purwasari-Sadriya/Rasuki-Jabatan: Seniman ukir kedok topeng dsb-Langsung Dijual-Alamat: Kalilayar 35 Arjawinangun Cirebon Jawa Barat 45163 (Kompas, 3/11/1995).
Rasuki pun larut membikin topeng hingga tak lagi jualan bubur. Dalam sebulan, keduanya pernah mendapatkan pesanan 60-100 topeng dan wayang golek. Saat itu, harga sebuah kedok berkisar Rp 75.000 per unit, belum mencapai Rp 300.000 per unit seperti sekarang.
Rasuki juga turut serta dalam pameran bersama Sadriya di berbagai kota, termasuk di Bentara Budaya Jakarta pada 1995. ”Saya tidak pernah lupa pameran di sana. Perajin diberikan panggung. Sekarang, kalau ada pameran yang berangkat hanya karyanya,” ungkapnya.
Akhirnya, jaringan antar-perajin atau perajin-konsumen tidak berkembang. Perajin seperti Rasuki ujungnya sulit naik daun. ”Kadang ada topeng saya yang hilang atau rusak setelah dipinjam pameran,” katanya pasrah.
Akan tetapi, perjalanan kariernya pernah tidak mulus. Kepergian pamannya beberapa tahun lalu sempat mengganggu pikirannya. Belum lagi penjualan topeng yang merosot. Saat ini, paling banyak ia menghasilkan 15 kedok. Itu pun tidak semuanya terjual. Pandemi Covid-19 semakin memperparah kondisi itu.
Selain akses pemasaran, pengembangan kedok cirebon juga terkendala bahan baku. Pohon kedondong jaran yang selama ini digunakan perajin mulai sulit ditemukan. Ia tidak bisa memastikan pasokan kayu untuk satu atau dua tahun ke depan.
Sebenarnya, ia bisa saja mengganti bahan baku dengan kayu lainnya. Namun, kualitasnya pasti menurun. ”Kalau kayu ini (kedondong jaran) biar muda juga bisa tahan belasan tahun. Antirayap. Saya juga takut konsumen nanti kecewa,” katanya.
Tidak mau menyerah, berbagai hambatan itu tidak menyurutkan tekadnya hidup dari kedok cirebon. ”Perajin dulu banyak. Sekarang, di Gegesik cuma saya sendiri. Mungkin karena hati saya sudah di situ (topeng cirebon),” ungkapnya.
Bahkan, sekitar 15 tahun lalu, ia menjadikan rumahnya di Dusun Krapyak, Gegesik Kidul, tempat Sanggar Cipta Wening. Selain menyediakan servis gendang, ia juga membuka pintu bagi siapa saja yang ingin belajar seni ukir kedok, tanpa biaya.
”Saya sudah ajak orang-orang sini belajar, gratis. Tapi, enggak ada yang kiyeng (tekun). Kalau pelatihan dari pemerintah aja yang mau karena ada duitnya,” ungkapnya sambal menggeleng-gelengkan kepala. Peserta pelatihan, lanjutnya, juga kebanyakan asyik bermain gawai.
”Dulu, saya tekadnya bisa buat topeng. Terserah mau dikasih berapa sama guru. Ibaratnya, lebih gede penghasilan kuli sawah dibandingkan perajin. Tapi, itu dulu. Sekarang, yang dilihat duit dulu,” ujar lulusan sekolah dasar ini.
Ia juga mulai melatih anak keduanya, Raskina (25), memahat topeng. Laki-laki tamatan sekolah menengah atas itu juga mulai mahir membuat gendang. Anak pertama Rasuki tidak meneruskan jejaknya sebagai pembuat kedok karena harus ke Malaysia mengadu nasib.
Kusdono (39), pelukis kaca di Gegesik, menyebut Rasuki sebagai pelestari kedok topeng satu-satunya di Gegesik. ”Dia juga seniman serba bisa karena membuat wayang kulit dan gendang. Tapi, kalau bisa, harus ada regenerasinya,” kata putra almarhum Rastika, maestro lukis kaca itu.
Kesetiaan seniman seperti Rasuki bisa jadi semakin langka di negeri ini. Lebih dari sekadar piawai membuat karya, kemauan untuk belajar apa saja harusnya menjadi inspirasi.