Antisipasi Karhutla, Warga Pulang Pisau Mulai Basahi Lahan Kering
Warga di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah mengantisipasi kebakaran lahan dengan membasahi lahan kering sekaligus memeriksa kesiapan infrastruktur pembasahan lahan. Sumur-sumur bor dan sekat kanal mulai dicek.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PULANG PISAU, KOMPAS — Sejumlah kelompok masyarakat di wilayah langganan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah memeriksa infrastruktur pembasahan gambut mengantisipasi potensi kebakaran. Meskipun hujan mulai turun di beberapa lokasi, mereka tetap membasahi gambut yang kering secara manual.
Kalimantan Tengah baru saja dilanda banjir selama lebih kurang satu bulan belakangan. Meski demikian, kebakaran lahan masih tetap jadi momok masyarakat saat lahan gambutnya mulai mengering.
Stevanus Parwudi, Ketua Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Kantan Atas, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, mengatakan, dirinya dan 10 anggota kelompok MPA mulai mencari lagi titik-titik sumur bor yang lebih kurang empat tahun sebelumnya dibangun oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) RI.
Selain BRGM, sumur bor dan sekat kanal sebagai infrastruktur pembasahan gambut kering juga dibangun oleh Lembaga Kemitraan. Sumur-sumur itu menjadi andalan saat kebakaran. Namun, sejumlah masalah ditemukan pada infrastruktur tersebut.
”Sekarang ini sumur-sumur dan sekat kanal mulai mengering, kami khawatir kalau nanti ada kebakaran lahan. Di sini, kan, gambutnya dalam, jadi kalau kebakaran akan sulit memadamkannya,” kata Stevanus di Pulang Pisau, Selasa (28/9/2021).
Stevanus menjelaskan, di Desa Kantan Atas, kebakaran hampir selalu terjadi setiap tahun. Untuk mengantisipasi itu, pihaknya terus memantau infrastruktur pembasahan gambut dan mulai membasahi lahan-lahan kering dengan memanfaatkan sumur bor.
”Jadi, sambil periksa sumur bor, periksa lokasi, sekaligus mengecek apakah masih berfungsi atau enggak, kami lakukan pembasahan di sekitar sumur bor saja,” kata Stevanus.
Meski demikian, Ketua MPA Desa Talio Hulu sekaligus Sekretaris Desa Talio Hulu, Widodo, mengungkapkan, perawatan sumur bor di desanya jarang dilakukan lantaran minim anggaran. Pihaknya hanya bisa menganggarkan dana operasional MPA untuk mencegah dan memadamkan kebakaran lahan Rp 10 juta per tahun.
Walakin, Widodo bersama beberapa rekannya tetap melakukan pembasahan di lokasi sumur bor. Sumur bor itu berjarak lebih kurang 2 kilometer dari pusat desa. Mereka harus berjalan kaki setidaknya 200 meter untuk bisa masuk ke lokasi yang saat ini ditumbuhi ilalang dengan tinggi hampir 2 meter tersebut.
”Agak susah memang nyari sumur bornya, ini baru satu. Masih ada puluhan lain yang tersembunyi di dalam semak-semak seperti ini. Kalau tidak ada GPS, susah dapatnya,” kata Widodo.
Pembasahan lahan juga dilakukan di Desa Talio Muara. Kepala Desa Talio Muara Marzuki menjelaskan, pihaknya melalui MPA juga sudah mulai membasahi lahan, khususnya lahan tidur yang tidak digarap pemiliknya. Namun, jangkauannya masih pada wilayah sekitar sumur bor.
Menurut Marzuki, hampir setiap tahun pihaknya selalu menyiapkan anggaran dan membahas dalam musyawarah desa langkah-langkah antisipasi kebakaran lahan. ”Tapi, sekarang sudah tidak terlalu rawan karena memang sudah banyak petani yang beralih dari sawah jadi kebun,” katanya.
Marzuki menjelaskan, dari 600 hektar lahan sawah di desanya, setidaknya hanya tersisa lebih kurang 15 hektar yang masih menjadi persawahan. Sisanya sudah berubah menjadi perkebunan atau sekadar dikosongkan dan tak digarap oleh warga. ”Perubahan itu juga membuat aktivitas warga bertani sawah dengan membakar lahan semakin sedikit,” kata Marzuki.
Kompas mencatat, sejak 2017-2019, BRGM membangun setidaknya 10.905 sumur bor yang tersebar di beberapa kabupaten di Kalteng. Selanjutnya, BRGM juga membentuk 103 kelompok MPA di delapan kabupaten dan kota di Kalteng. Pembangunan sumur bor pun ditambah pada tahun-tahun berikutnya.
Kepala Bidang Pencegahan dan Kedaruratan BPBD Kabupaten Pulang Pisau Tekson mengungkapkan, sebagian besar sumur bor dan sekat kanal yang dibantu pemerintah sudah menjadi aset desa. Dengan begitu, desa seharusnya bisa menganggarkan perawatan dan operasionalnya.
”Meskipun demikian, pemerintah kabupaten bersama pihak lain bisa tetap membantu. Kami juga tetap turun ke lapangan untuk mendampingi dan melatih teknik-teknik pemadaman api,” kata Tekson.