Pemprov Kalteng Klaim Antisipasi Karhutla Tak Terganggu Covid-19
Pemerintah Provinsi Kalteng mengklaim anggaran antisipasi kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah tidak terganggu Covid-19. Salah satu langkah antisipasi kebakaran adalah dengan membasahi lahan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah mengklaim anggaran antisipasi kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah tidak terganggu Covid-19. Salah satu langkah antisipasi adalah dengan membasahi lahan yang berpotensi terbakar.
Hal itu disampaikan Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kalteng Esau A Tambang dalam diskusi daring yang diselenggarakan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat bersama Justice, Peace, and Integrated Creation (JPIC) Kalimantan di Palangkaraya, Sabtu (23/5/2020). Hadir pula sebagai pembicara Sandrayati Moniaga, anggota Komnas HAM.
Menurut Esau, tidak ada pemotongan anggaran untuk mengantisipasi bencana kebakaran hutan dan lahan tahun 2020 ke penanganan bencana non-alam Covid-19. Hal ini dilakukan karena prediksi pemerintah terkait musim kemarau 2020 yang lebih kering dibanding kemarau 2019.
”Ada paket revitalisasi juga, di mana kelompok-kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA) bisa lebih solid dan ready jika kebakaran datang,” kata Esau.
Dari paparannya, Esau menjelaskan pemerintah menyiapkan anggaran untuk pembasahan lahan sebelum kebakaran tiba lebih kurang sebesar Rp 1,096 miliar dalam Operasi Pembasahan Gambut Rawan Kebakaran (OPGRK) dan Rp 572 juta untuk Operasi Cepat Lahan Gambut Terbakar (OPCLGT).
Selain itu, untuk pemeliharaan mesin dan perbaikan pihaknya menyiapkan anggaran lebih kurang Rp 1,8 miliar. Sejak 2017-2019, total terdapat 10.905 unit sumur bor dan 2.875 unit sekat kanal untuk pembasahan dan tata kelola air di lahan gambut yang terdegradasi.
”Pelaksanannya juga oleh kelompok masyarakat, mereka akan membasahi lahan gambut di zona-zona yang dinilai rawan kering atau terbakar,” tambah Esau.
Esau menambahkan, pihaknya membentuk satu kelompok MPA di 103 desa, delapan kabupaten/kota dengan total anggota 2.060 orang. Selain itu, Masyarakat Peduli Tabat (MPT) dibentuk di 60 desa dengan jumlah anggota 600 orang. ”Untuk lahan gambut, mohon maaf memang tidak boleh lagi (dikelola) dengan dibakar,” ujar Esau.
Dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dari 227.304 hektar lahan gambut yang terbakar di tahun 2019 seluruh Indonesia, Kalteng menempati urutan pertama gambut yang paling banyak terbakar dengan total luas sebesar 76.000 hektar atau hampir 1,5 kali luas DKI Jakarta. Ratusan orang juga ditangkap karena membakar ladangnya.
”Masyarakat yang membakar di bawah dua hektar tidak sepenuhnya salah, padahal kalau minta izin bisa saja,” kata Esau.
Melihat hal itu, Sandrayati Moniaga mengungkapkan, banyaknya peladang yang dipidana membuat kearifan lokal termarjinalisasi. Peladang dalam konteks aturan negara merupakan masyarakat hukum adat.
”Negara belum sepenuhnya mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, padahal kebijakan dan undang-undangnya banyak sekali,” kata Moniaga.
Negara belum sepenuhnya mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, padahal kebijakan dan undang-undangnya banyak sekali.
Moniaga menambahkan, ada jutaan komunitas masyarakat adat namun negara sangat lambat memproses pengakuannya. Namun, dalam konteks hak asasi, negara harus mengakui hak masyarakat adat. ”Eksistensi masyarakat adat itu berpengaruh terhadap haknya. Tapi bagaimana mereka menikmati haknya jika keberadaannya belum diakui,” tambah Moniaga.
Hal itulah yang membuat banyak peladang ditangkapi karena membakar lahan yang merupakan kearifan lokal. Namun akhirnya tetap dipidana karena keberadaannya belum diakui.
Di Kalteng, aparat keamanan menangkap setidaknya 121 orang yang membakar di lahan seluas 298 hektar. Sementara dari 20 kasus yang melibatkan korporasi baru dua perusahaan yang dipidana dengan luas lahan terbakar sebesar 468 hektar.
Koordinator Progress Palangkaraya, lembaga lingkungan hidup di Kalteng, Kartika, menyampaikan, penanganan kebakaran hanya sebatas menahan peladang. Hal itu justru berdampak buruk bagi keluarga peladang yang jarang diperhatikan pemerintah.
”Jangan sampai hal yang seperti ini terulang harusnya negara melindungi bukan mencari kambing hitam,” kata Kartika.