Gelombang Harap dan Cemas di Sulawesi
Dari enam provinsi di Sulawesi, dua provinsi mencatatkan pengendalian pandemi yang terbilang baik, dua provinsi menengah, dan dua provinsi jauh di bawah rata-rata nasional. Gelombang harap dan cemas pun bercampur.
Penanggulangan pandemi Covid-19 di Sulawesi memunculkan hasil bervariasi. Di sejumlah provinsi, angka-angka parameter pengendalian epidemiologis tampak telah berada di jalur yang tepat. Namun, di provinsi lain, kondisinya masih jauh dari harapan. Terlepas dari itu, semuanya menyiratkan bahwa kerja keras belum usai.
Berdasarkan hasil pengukuran Litbang Kompas, dari enam provinsi di wilayah ini, per 6 September 2021, dua provinsi mencatatkan pengendalian pandemi yang terbilang baik, dua provinsi menengah, dan dua provinsi jauh di bawah rata-rata nasional. Gelombang harap dan cemas seolah bercampur jadi satu.
Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Sulawesi Tenggara (Sultra) adalah dua provinsi yang menunjukkan pengendalian baik, sementara Gorontalo dan Sulawesi Utara (Sulut) angkanya berada tak jauh dari rata-rata nasional. Adapun Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Sulawesi Barat (Sulbar) menjadi dua provinsi dengan capaian terburuk.
Dua aspek penilaian, yakni manajemen infeksi dan manajemen pengobatan, menjadi kata kunci yang harus terus digenjot. Ini berlaku bukan hanya untuk daerah yang pengendalian pandeminya masih lemah, melainkan juga untuk yang dinilai telah berjalan baik.
Sultra sebagai daerah dengan nilai tertinggi dalam indeks pengendalian pandemi di seluruh Sulawesi juga menyadari hal ini. Selama delapan pekan pencatatan data, provinsi ini menunjukkan grafik menggembirakan pada lima pekan terakhir dengan angka yang selalu berada di atas rata-rata nasional, berdampingan ketat dengan Sulsel di tempat kedua.
Kasus Covid-19 di Sultra mulai melonjak pada Juni lalu, yakni mencapai puluhan hingga di atas 100 kasus dalam sehari. Sebulan berselang, kasus terus melonjak hingga di atas 300 dalam sehari. Pertengahan Agustus, kasus mulai menunjukkan penurunan. Hingga pekan kedua September ini, kasus menurun dengan tambahan di bawah 50 kasus sehari.
Sekretaris Daerah Provinsi Sultra Nur Endang Abbas, di Kendari, Senin (13/9/2021), menuturkan, satu bulan terakhir kasus Covid-19 mulai melandai secara merata di hampir semua kabupaten/kota. Kasus sembuh juga terus meningkat sehingga fasilitas isolasi di banyak daerah mulai kosong.
Kami juga mengarahkan untuk setiap daerah tetap melakukan pengadaan alat PCR agar tes maksimal.
”Hari ini baru ada tiga kasus positif yang tercatat. Jadi, memang terjadi penurunan kasus di semua wilayah. Menurut kami, hal ini dipengaruhi penerapan protokol, juga tingginya animo masyarakat untuk mengikuti vaksinasi. Yang paling utama, masyarakat semakin sadar untuk menjaga kesehatan di tengah ancaman paparan virus korona,” tuturnya.
Namun, dia menambahkan, kondisi ini harus disikapi warga dengan tetap waspada dan menjaga diri dengan protokol kesehatan. Upaya penelusuran kasus juga terus dilakukan meski kasus melandai.
”Kami juga mengarahkan untuk setiap daerah tetap melakukan pengadaan alat PCR agar tes maksimal. Pemprov Sultra pada anggaran perubahan mengajukan pengadaan alat PCR berjalan untuk memudahkan masyarakat. Kami berharap hal ini menjadi upaya maksimal agar kasus di Sultra terus turun,” tutur Endang.
Sultra memang belum memenuhi target tes yang ditetapkan pemerintah. Saat kasus melonjak dengan rasio positif di atas 25 persen, jumlah tes masih minim. Pada pekan pertama Agustus 2021, misalnya, jumlah tes, baik itu PCR maupun antigen, hanya 4.100. Jumlah ini hanya 10,1 persen dari target tes satu pekan yang mencapai 40.571 tes.
Epidemiolog Universitas Halu Oleo, Kendari, Ramadhan Tosepu, mengatakan, berdasarkan data, jumlah kasus Covid-19 di Sultra memang jauh melandai dibandingkan dengan sebelumnya. Akan tetapi, dia mengingatkan, data tersebut belum tentu menunjukkan kasus sebenarnya di lapangan.
Menurut Ramadhan, sejak awal, penelusuran kasus di Sultra tidak pernah maksimal. Jumlah sampel yang sangat sedikit, alat yang terbatas di beberapa daerah, hingga masyarakat yang menolak untuk dites masih menjadi kendala. Akibatnya, upaya penelusuran sangat sedikit dan tidak memenuhi target yang ditentukan pemerintah.
Hal ini sangat bergantung dari kemauan daerah untuk menangani pandemi secara maksimal.
Dengan kondisi saat ini, Ramadhan mengungkapkan, pemerintah harusnya mendorong tes yang masif di semua daerah. Namun, polanya diubah, yaitu dengan mengambil sampel di berbagai lokasi, bisa di kantor atau di permukiman.
”Jadi, kasus akan ketahuan. Hal ini sangat bergantung dari kemauan daerah untuk menangani pandemi secara maksimal. Kita tidak ingin kasus kembali melonjak seperti sebelumnya di tengah pembukaan berbagai aktivitas masyarakat saat ini,” ucapnya.
Jika Sultra tak dapat berpuas diri, Sulteng di ujung lain spektrum jelas harus memacu diri untuk mengendalikan pandemi. Selama delapan pekan pengukuran, setiap pekan provinsi itu selalu mencatatkan nilai terendah dari keenam provinsi di Sulawesi. Dalam konteks nasional, nilai Sulteng juga selalu di bawah rata-rata.
Meski saat ini beberapa indikator epidemiologis telah menunjukkan pelandaian, Sulteng masih memiliki setumpuk pekerjaan agar kegawatan seperti pada Juli-Agustus lalu tak terulang. Per Minggu (12/9/2021), jumlah kasus aktif di Sulteng sebanyak 2.553 kasus, telah turun jauh dari 9.976 kasus pada 8 Agustus 2021.
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Tadulako, Palu, Arwan, melihat pemerintah kurang memberikan perhatian terhadap edukasi protokol kesehatan (prokes) dalam 1,5 tahun pandemi. Kebijakan pemerintah selama ini cenderung reaktif terhadap perkembangan penularan, bukan antisipatif dengan edukasi masif prokes.
Baca Juga: Capaian Tes Covid-19 di Sultra 10 Persen dari Target, Penyebaran Semakin Tak Terkendali
”Prokes menjadi proteksi efektif untuk mencegah penularan masif. Hidup di era normal baru, ya, hidup dengan protokol kesehatan,” ujarnya.
Longgarnya penerapan prokes memang terlihat gamblang. Di Palu, ibu kota provinsi, terutama sebelum kasus merebak, pengendara sepeda motor banyak yang tak memakai masker. Pedagang warung di pinggir jalan juga demikian. Pesta atau sejenisnya pun masih sering terlihat, bahkan dengan memblokade jalan.
Menurut Arwan, edukasi protokol kesehatan bisa dilakukan dengan melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat. Dalam kultur kita, mereka patron yang suaranya didengar. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), bagi Arwan, juga bentuk kebijakan yang tanggung. Di Kota Palu, misalnya, PPKM level 4 diperpanjang tiga kali, tetapi penularan juga tak kunjung menurun.
”Seharusnya pemerintah memikirkan kebijakan lain, termasuk karantina wilayah secara total atau lockdown setidaknya 14 hari. Ini terutama ketika semua pihak kewalahan, misalnya, dari segi sumber daya manusia seperti pada puncak kasus kemarin. Tentu dengan konsekuensi masyarakat yang perlu dibantu harus dibantu,” tuturnya.
Baca Juga: Setumpuk Persoalan Sulteng di Hulu Pandemi
Untuk mengantisipasi masih merebaknya penularan ke depan, selain kunci utama pada edukasi prokes, pemerintah harus mempercepat program vaksinasi agar kekebalan kelompok cepat terbentuk.
Nurdin Lasahido, sukarelawan Roa Jaga Roa, jaringan relawan untuk melayani kebutuhan warga isolasi mandiri pada Juli-Agustus di Palu, menyatakan, pemerintah harus belajar dari carut-marut penanganan pandemi Covid-19. Penguatan mitigasi menjadi kunci.
Salah satu bentuknya menyiapkan rencana kontingensi untuk memetakan sumber daya yang ada, proyeksi masalah yang muncul, dan penanganan dengan teperinci. Rencana kontingensi ini tak berjalan dengan baik.
Ia mencontohkan, ketika terjadi kelangkaan oksigen, tak ada solusi yang berarti. Produsen yang menyediakan gas tak bisa dipacu untuk meningkatkan kapasitas produksi. Masalah oksigen baru bisa diatasi karena adanya bantuan dari swasta. ”Kalau rencana kontingensi ini dilakukan dari awal, kami yakin semua bisa diatasi dengan baik dan mestinya tak banyak warga yang meninggal karena Covid-19,” ujarnya.
Baca Juga: Di Balik Angka Indeks Pengendalian Covid-19
Merebaknya penularan Covid-19 di Sulteng pada Juli-Agustus diperburuk dengan masih rendahnya jangkauan vaksinasi. Hingga awal Agustus, cakupan vaksinasi di Sulteng untuk dosis pertama baru 14,30 persen atau 305.497 jiwa dari sasaran 2,1 juta jiwa. Cakupan vaksinasi dosis kedua lebih rendah lagi, 6,98 persen. Dalam sebulan terakhir, cakupan vaksinasi meningkat menjadi 22,2 persen untuk dosis pertama dan 12,37 persen dosis kedua.
Meskipun tak ada data detail, pasien yang meninggal mayoritas belum divaksin. Di Kabupaten Banggai, misalnya, dari total 149 orang meninggal sejak pandemi dilaporkan pada April 2020, hanya dua orang yang sudah divaksin.
Untuk antisipasi peningkatan kasus dan bentuk pengendalian ke depan, Kepala Dinas Kesehatan Sulteng I Komang Adi Sujendra menyatakan, percepatan vaksinasi menjadi kunci. Sulteng diharapkan mencapai jangkauan vaksinasi minimal 80 persen pada Desember 2021. Angka itu ideal untuk proteksi pribadi dan kekebalan komunitas.
Jika sebelumnya distribusi vaksin tak memadai, saat ini ketersediaan vaksin sudah lebih dari cukup meskipun tetap tak ideal. Bersama dengan para pemangku kepentingan lain, pihaknya mendorong agar layanan vaksinasi makin banyak dan beragam tersedia untuk masyarakat.
Baca Juga: Sempat Episentrum Pandemi, Kini Jakarta Cepat Mengendalikan Covid-19
”Kami menyediakan pos-pos layanan vaksinasi massal dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti TNI-Polri dan kelompok keagamaan. Vaksinasi untuk daerah-daerah yang sulit dijangkau bisa dilakukan secara mobile dengan memanfaatkan ambulans atau kendaraan yang memungkinkan,” ujarnya.
Tidak bisa tidak, kerja keras menjadi kunci bagi seluruh Sulawesi agar pandemi dapat benar-benar terkendali.